Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBATANG pohon mangga menyelamatkan Ismail dan istrinya. Minggu pagi, 26 Desember 2004, gelombang tsunami meratakan sebagian besar pesisir Aceh. Ketika itu, mereka berdua tengah berada di halaman rumah yang tak jauh dari pantai. Tiba-tiba Ismail mendengar ledakan dari arah laut. Tak berapa lama, air laut sudah membanjiri kampungnya, Kuala Cangkoi, Tanah Pasir, Kabupaten Aceh Utara.
Ismail, 55 tahun, bergegas menyambar tangan istrinya dan berlari menjauhi laut. Tapi air cepat sekali naik hingga batas leher. Sebagian tetangga nya terhanyut oleh derasnya bah. Saat itu, Ismail dan istrinya sudah pasrah. Beruntung, sebatang pohon mangga terseret air melintas di dekatnya. Ismail langsung menyambarnya. Batang itulah yang akhirnya menyelamatkannya. Tapi lebih dari 130 ribu nyawa warga Aceh dan Kepulauan Nias melayang.
Sebagai tetenger betapa dahsyatnya bencana itu, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias ber sama Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemerintah Kota Banda Aceh, dan Ikatan Arsitek Indonesia berniat membangun museum tsunami. Sebelum membangun monumen yang dirancang menghabiskan Rp 70 miliar itu, panitia akan memasyarakatkannya dan menunggu persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah setempat.
Lokasinya sudah ditentukan, yakni tanah kosong di Jalan Iskandar Muda, Banda Aceh, hanya 300 meter dari Masjid Raya Baiturrahman. Sayembara arsitektur museum telah digelar dan pemenangnya juga sudah dipilih pada 17 Agustus lalu, yakni M. Ridwan Kamil, arsitek PT Urbane Indonesia, yang berkantor pusat di Bandung. ”Akan kami jadikan museum ini sebagai landmark Banda Aceh kedua, setelah Masjid Raya,” kata Aulina Adamy, juru bicara panitia sayembara.
Museum itu menjadi peringatan dan sekaligus memberikan pesan kepada generasi berikutnya tentang bencana tsunami. Bukan cuma ”kemenangan” dan ”kebesaran” yang layak diabadikan, tragedi kemanusiaan pun harus dikenang. Museum dan monumen seperti tersebar di seluruh penjuru dunia. Ada taman kota di Nagasaki dan Hiroshima, monumen Perang Vietnam di Washington, DC, atau museum dan monumen Holocaust, pengingat pembantaian bangsa Yahudi (lihat ”Agar Masa Lalu Tak Dilupakan”).
Rancangan Emil—panggilan Ridwan Kamil—dengan konsep Rumoh Aceh Escape Hill menyisihkan 68 karya arsitek lain, di antaranya Baskoro Tejo dan Achmad D. Tardiyana, rekan Emil di Urbane. ”Dia hampir memenuhi semua kriteria penjurian. Tidak hanya suatu monumen, tapi bangunan yang mampu mengekspresikan peristiwa 26 Desember,” kata ketua dewan juri sayembara ini, Kamal Abdullah Arief.
Bagi Emil, 36 tahun, ini bukan pertama kalinya dia menjuarai sayembara arsitektur. Dialah arsitek kompleks prestisius Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan, dan pemenang sayembara pintu gerbang kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Bironya, Urbane, juga se ring menerima alih kontrak dari biro arsitek besar luar negeri, seperti EDAW Asia, SOM Hong Kong, dan SAA Si ngapura.
Emil merancang Museum Tsunami laksana menuliskan Aceh, dengan titik awal cerita petaka yang meluluhlantakkan provinsi di pucuk Sumatera itu. Karena itu, menurut Emil, merumuskan ”alur cerita” desainnya adalah yang paling sulit. ”Mengkhayalkannya paling susah, pergulatan batinnya agak panjang. Ini proyek paling sulit seumur hidup saya. Bukan soal teknis desain, tapi bagaimana memahaminya,” ka tanya.
Dalam bayangan Emil, pengunjung museum digiring mengikuti jatuh-ba ngun rakyat Aceh merangkai kehi dupan dari berbagai serpihan pascatsunami. Pertama kali menjejak museum, mereka akan melewati Space of Fear, ruang ketakutan, yang disebutnya Tsunami Passage atau Lorong Tsunami. Di sini, pengunjung diharapkan turut merasakan pagi jahanam tiga tahun lalu itu.
Tempat tersebut berupa lorong melengkung dengan pencahayaan temaram, hanya agar pengunjung mampu melihat jalan. Lorong sengaja dirancang melengkung untuk memberikan efek dramatis: seperti tak berujung. Di kedua sisi dindingnya akan diperde ngarkan suara air bergemuruh mengingatkan pengunjung pada bah yang menyerbu Aceh dari arah laut.
Ujung ruang ketakutan adalah Space of Sorrow, ruang kesedihan, yang dinamai Memorial Hall. Di ruang kenangan bawah tanah ini, dikumpulkan berbagai foto dan video tentang tsunami yang bebas diakses siapa pun. Pencahayaan ruang ini juga minim, hanya bersumber pada lubang kaca di la ngit-langit. Cahayanya pun tidak statis karena ber asal dari kolam yang berada tepat di atas Memorial Hall itu, sehingga sinar yang menerobos ke ruangan terus berpendar seiring dengan riak permukaan air.
Melintasi Memorial Hall, pengunjung dihadapkan pada menara cerobong setinggi 26 meter yang disebut Lights of God. Di dinding dalam cerobong, tertulis deretan nama korban tsunami, melingkar mengikuti tangga hingga mencapai tutup cerobong. Di sana, nama Allah disematkan dalam tulisan Arab. Dari tutup transparan inilah cahaya menyorot ke dasar cerobong. Jika pengunjung mendongak, seolah-olah mereka tengah berhadapan dengan Tuhan.
Keluar dari menara cerobong, ”tapak jejak” tsunami ini ditutup di Space of Relief, ruang terbuka terang-ben derang, mewakili harapan. ”Inilah ma sa depan Aceh,” kata Emil.
Secara keseluruhan, bentuk karya Emil ini bak kapal besar melayang—ka rena disangga tiang-tiang. Pada sketsa, si perancang menggambar air membanjir di sekeliling bangunan museum, sehingga sosoknya lebih mirip sebuah bahtera besar. ”Kapal” itulah yang menjadi perlambang penyelamat warga Aceh.
Untuk itulah dosen arsitektur Institut Teknologi Bandung ini mengusulkan Museum Tsunami rancangannya dibangun di atas tanah yang ditinggikan sekitar empat meter. Tujuannya agar ”monumen” itu juga berfungsi sebagai Escape Hill, bukit penyelamatan, jika air laut kembali meluapi Kota Banda Aceh.
Dia membayangkan, jika tinggi tsunami ”hanya” tiga meter, lantai dasar menjadi bukit penyelamatan. Kalau bah sudah lewat 10 meter, atap museumlah yang menjadi tempat pe ngungsian terakhir. Karena itu, Emil merancang atap museum bertrap-trap melingkar dari bagian rendah hingga paling tinggi sebagai ”puncak” bukit penyelamatan.
Jadi, seandainya air laut pasang, inilah ”bahtera Nabi Nuh” bagi Ismail dan warga Banda Aceh lainnya.
Sapto Pradityo, Ahmad Fikri (Bandung), Adi Warsidi (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo