Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama, pemerintah melakukan intervensi ekonomi, baik secara soft maupun hard, pada tiga masalah. Pertama, di saat harga PCR dianggap terlalu tinggi, Presiden Jokowi mengeluh dan meminta harga tes PCR diturunkan. Keluhan Jokowi ternyata kurang mampu menekan harga secara signifikan. Harga tes PCR yang sebelumnya berkisar Rp 300 ribu turun menjadi Rp275 ribu. Padahal, jika pemerintah mau dan serius ingin menstabilisasi harga tes PCR sesuai dengan harga keekonomiannya, maka harganya sangat berpeluang untuk turun lebih dari itu, mengingat beberapa hasil investigasi jurnalistik telah membuktikan bahwa harga tes PCR bahkan bisa ditekan sampai level Rp100-150 ribu.
Faktanya, pemerintah bergeming setelah itu. Padahal imbas negatif harga tes PCR cukup besar. Bayangkan saja, pemegang tiket penerbangan seharga Rp1 juta misalnya. Maka harga tes PCR-nya mencapai 27,5 persen dari harga tiket pesawat. Jika harga tiketnya di bawah satu juta, maka dipastikan presentasi beban biaya tes PCR jauh lebih besar lagi. Biaya tambahan tersebut sangat tidak produktif untuk perekonomian masyarakat pengguna angkutan udara tentunya, meskipun menjadi sumber pendapatan “lucrative” bagi pelaku usaha tes PCR dan sejenisnya. Hanya saja, pemerintah, hanya mampu mengeluh di satu perkara lalu berlalu begitu saja atau pindah ke perkara lain, di saat mata publik mulai beralih kepada beberapa pejabat pemerintah yang diduga ikut terlibat di dalam bisnis tes PCR tersebut.
Pemerintah sebenarnya mampu melakukan intervensi dengan efek signifikan ke dalam ekosistem usaha tes PCR karena memiliki “counter-institution” untuk menciptakan kebijakan “paralel pricing” (dual track pricing) yang sangat berpeluang menekan harga tes PCR secara umum. Pemerintah memiliki jaringan rumah sakit negeri mulai dari pusat, provinsi, hingga ke kabupaten dan kecamatan, yang tentunya bisa digunakan untuk menciptakan harga tes PCR baru yang lebih rendah (murah). Jika saja pemerintah mau, pemerintah bisa mengintervensi dengan menciptakan harga baru dengan layanan tes PCR di lembaga-lembaga tersebut. Permintaan baru tes PCR akan terbentuk karena muncul harga yang lebih murah, yang kemudian akan memaksa usaha-usaha tes PCR sektor swasta untuk menyesuaikan harga agar tidak ditinggalkan konsumen.
Kedua, di saat harga komoditas batu bara global naik tajam dan ekspor batu bara juga ikut meningkat tajam belum lama ini yang konon membuat jaminan pasokan untuk listrik nasional (PLN) terancam. Menyikapi itu, pemerintah dengan “tangan besi” melakukan “rem mendadak”. Pemerintah pun melarang ekspor batu bara kepada semua pihak selama kurun waktu satu bulan. Kebijakan main kayu terhadap pasar ini dikabarkan ikut membuat Cina khawatir dan melahirkan jadwal pertemuan mendadak antara Jokowi dengan Xi Jinping belum lama ini. Tentu Cina meradang mengingat Indonesia adalah mitra dagang utama negeri Tirai Bambu, terutama mitra pengadaan komoditas mentah seperti batu bara dan nikel yang sangat berperan dalam menopang industrialisasi masif China selama dua dekade belakangan.
Aksi main kayu pemerintah ini diacungi jempol oleh banyak pihak karena dianggap telah berperan besar dalam menyelamatkan rantai pasok batu bara PLN, yang berarti juga menyelamatkan keberlanjutan pasokan listrik nasional. Tapi di sisi lain, pemerintah juga memaksa para eksportir batu bara untuk melepaskan peluang “cuan besar” dari aktifitas ekspor di saat harga sedang menggila. Dengan kata lain, selama sebulan pemerintah memaksa para kapitalis batu bara untuk bertindak tidak sesuai dengan wataknya sebagai kapitalis (profit hunting), tanpa diikuti kebijakan strategis dalam membenahi tata kelola industri energi nasional yang berkelanjutan untuk masa-masa mendatang.
Pertanyaannya, pertama, jika hal yang sama terjadi lagi di bulan-bulan mendatang, apakah pemerintah akan kembali main kayu dengan kebijakan antipasar tersebut? Kedua, bagaimana kira-kira pandangan para calon investor global yang sedang siap-siap masuk ke Indonesia melihat aksi sepihak Jakarta dalam memelintir hukum pasar? Besar kemungkinan jawabannya adalah “masih besarnya ketidakpastian” usaha di Indonesia di mana pemerintah sewaktu-waktu bisa saja datang berkacak pinggang memaksakan sesuatu secara politik yang berlawanan dengan hukum pasar. Tak pelak, itulah persepsi yang akan dituai oleh pemerintah karena bertindak atas nama kekuasaan, bukan atas dasar aturan main yang diinstitusionalisasikan secara elok sedari dulu.
Yang tak kalah dilematisnya adalah saat pemerintah juga melakukan intervensi secara politik ke dalam pasar komoditas nikel yang justru sangat tidak menguntungkan indonesia. Pemerintah meminta semua eksportir nikel menghentikan aktifitas ekspornya dan menjual hasil tambang nikelnya ke smelter-smelter yang dibanggakan pemerintah. Namun naasnya, pertama, menghentikan ekspor nikel mentah bagi penambang lokal memiliki arti kehilangan margin keuntungan yang besar karena harga di pasar global jauh lebih tinggi ketimbang harga yang berani dibayarkan smelter. Kedua, lebih naas lagi ternyata pemilik smelter-smelter bukanlah pengusaha Indonesia. Mereka biasanya melakukan penambahan nilai nikel di Indonesia untuk diekspor ke negara asalnya.
Artinya, dalam hal itu Indonesia rugi dua kali karena pengusaha tambang nikel kehilangan kesempatan mendapatkan harga yang cantik di satu sisi dan pemilik smelter mengantongi keuntungan dari aktifitas penambahan nilai nikel yang akan dibawanya kembali ke perusahaan induknya di negaranya di sisi lain. Jadi perkara kebijakan menghentikan ekspor komoditas mentah bukanlah perkara mendukung nilai tambah industri nasional, tapi justru menjadi perkara penghentian nilai ekonomi untuk penambang-penambang dalam negeri. Di sini terlihat jelas bahwa pemerintah menarasikan tujuan yang mulia dengan mengambil posisi berdiri yang salah sehingga tujuan mulianya justru dirasakan oleh pihak yang salah pula.
Intervensi selanjutnya adalah di saat harga minyak goreng menggila. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan rem mendadak dengan memaksakan harga satu kilogram minyak goreng menjadi Rp14 ribu, lalu turun lagi menjadi Rp11.500. Tapi pemerintah tidak memiliki institusi pasar untuk memastikan hasil intervensi yang maksimal. Pemerintah hanya bergantung pada perusahaan retail nasional dengan kapasitas terbatas. Walhasil, yang dipajang di minimarket-minimarket hanya label harga versi pemerintah tanpa ada barangnya. Para penjaga minimarket berkilah bahwa stok habis. Dan nyatanya stok memang selalu habis. Hanya segelintir konsumen minyak goreng yang berhasil menggondolnya pulang, sisanya harus membayar di atas harga pemerintah karena stok lama yang dibeli sebelum harga dinyatakan turun, yang rerata mereka dapatkan di kios-kios kecil di dekat kawasan-kawasan pemukiman.
Lalu intervensi mutakhir adalah soal “pemaksaan” kepemilikan kartu JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) untuk dapat menikmati beberapa layanan pemerintah. Namun strategi pemerintah dalam menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan (JKN) dengan menerapkan kebijakan “mandatory keanggotaan JKN” bagi pengguna beberapa layanan penting pemerintah adalah kebijakan gegabah, bahkan konyol.
Pertama, kebijakan seperti ini dari sisi layanan publik justru menjadi kebijakan yang sangat diskriminatif, hanya berlaku bagi pemegang kartu anggota salah satu perusahaan saja, di tengah bejibun pelaku pasar yang berkategori sama. Hanya pemegang kartu JKN saja yang boleh mendapatkan layanan tertentu pemerintah. Bukankah sangat konyol dan blunder.
Kedua, selain diskriminatif dari sisi layanan publik, juga menjadi kebijakan yang sangat monopolistik dari sisi ekonomi. Secara tidak langsung, pemerintah sedang menyingkirkan pelaku usaha yang sama yang bukan badan usaha milik negara. Pemerintah tidak lagi sebagai regulator sekaligus menjadi salah satu pemain, tapi berubah menjadi pengatur dan pemain satu-satunya.
Ketiga, dengan kebijakan ini, pemerintah sedang menebar racun ke dalam ekosistem investasi sektor finansial, terutama asuransi kesehatan. Pemerintah main kekuasaan tanpa memikirkan imbasnya pada BPJS Kesehatan sendiri di satu sisi dan ekosistem bisnis asuransi nasional di sisi lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sisi BPJS Kesehatan sendiri, ada begitu banyak keluhan selama ini walau hanya menguasai sebagian pasar. Lantas bagaimana jika mendadak secara tidak langsung dipaksa menjadi pemain satu-satunya alias pemain tunggal. Perusahaan ini akan semakin kewalahan dan akan semakin rentan pada penyakit kronis KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) karena tidak memiliki kompetitor.
Sementara dari sisi ekosistem investasi finansial, lampu kuning akan menyala bagi para pelaku dan calon pelaku usaha asuransi. Negara dianggap berkemampuan mengintervensi pasar, bahkan mengacak-ngacak pasar, kapanpun dan dengan skala tak terbatas, atas nama satu perusahaan negara. Sinyal peringatan yang sangat kuat bagi industri keuangan agar berhitung ulang untuk tetap bertahan dan berinvestasi di Indonesia
Bahkan bukan hanya pada industri keuangan seperti asuransi, kekhawatiran bahkan bisa melebar ke semua ekosistem investasi. Pemerintah juga akan dianggap berpeluang memaksa penumpang moda transportasi udara untuk membeli tiket Garuda Indonesia, naik kereta PT Kereta Api Indonesia, menggunakan jasa laut kapal-kapal Pelni, membuka rekening bank BUMN, transaksi saham di perusahaan sekuritas pelat merah, dan seterusnya.
Jadi dari beberapa pengalaman intervensi yang dilakukan pemerintah dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama itu, sangat jelas terlihat bahwa kebijakan intervensi pemerintah terkesan tidak direncanakan dan diproyeksikan (projected) dengan baik dan strategis. Intervensi-intervensi pasar tersebut justru menjadi cerminan sikap reaktif non antisipatif pemerintah atas berbagai perkembangan yang terjadi di pasar.
Dan kental terasa bahwa tujuannya bukanlah untuk stabilisasi pasar di satu sisi dan memihak kepada kepentingan masyarakat banyak di sisi lain, tapi justru untuk menyelamatkan muka pemerintah sendiri secara politik karena takut dianggap “tidak” kompeten dalam mengelola sektor perekonomian. Jika demikian adanya tentu sungguh sangat disayangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini