Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUSUF Kalla siap menjadi calon presiden, pemilihan presiden pun mendapatkan kembali daya tariknya. Ketua Umum Partai Golkar itu memang bukan muka baru, tapi pencalonannya membuat bursa calon kuat Presiden Republik Indonesia tak lagi hanya berisi dua nama: Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Kalla memberi publik tambahan pilihan, di antara stok calon presiden yang sangat terbatas. Lagi pula, mengingat ia sekarang 67 tahun, pemilu tahun ini merupakan kesempatan terakhir baginya.
Dukungan Partai Golkar agaknya mudah ia dapatkan—meskipun tidak ”bulat” benar. Soalnya tinggal kesungguhan Jusuf Kalla sendiri. Sebelum menyatakan siap maju, ia terkesan belum ingin berpisah dengan Yudhoyono. Malah ada anggapan ia sedang bersiasat demi nilai tawar diri dan partainya. Pasang-surut hubungan petinggi Republik itu belakangan—misalnya sepulang dari Amerika Wakil Presiden perlu menunggu lima hari untuk diterima Presiden—diduga ikut mempengaruhi pencalonan Jusuf Kalla.
Sejak awal hubungan SBY-JK cukup unik. Sebagai wakil presiden, Kalla tidak didukung Partai Golkar tapi ”diajak” oleh koalisi partai yang dimotori Partai Demokrat yang mengusung Yudhoyono. Setelah menjadi wakil presiden, Kalla merebut kepemimpinan Partai Golkar. Jadilah ia wakil presiden pertama dengan partai yang memiliki kursi Dewan Perwakilan Rakyat dua kali lebih banyak daripada kursi partai pendukung presiden. Barangkali, menyadari posisi tawar yang kuat itu Kalla kemudian mengantongi ”konsesi” untuk mengawal sejumlah program, termasuk ”memimpin” tim ekonomi.
Meski menjadi ketua umum partai, Jusuf Kalla bukanlah figur sentral. Ada banyak tokoh berpengaruh di Beringin yang memiliki kepentingan bertolak belakang dengannya. Salah satunya adalah Akbar Tandjung, mantan ketua umum yang pada 2004 pernah memecat Jusuf Kalla sebagai penasihat dewan pimpinan pusat partai. Belakangan muncul Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga berminat menjadi calon presiden. Dengan keduanya Kalla pernah terlibat polemik sengit masalah pencalonan presiden dari Partai Beringin itu.
Ingar-bingar pencalonan presiden sangat mempengaruhi Beringin. Ketika Partai Demokrat mulai bicara tentang nama pendamping Yudhoyono selain Kalla, muncul desakan dari pengurus daerah Partai Golkar agar partai memunculkan calon presiden sendiri. Walaupun beberapa sigi menganggap kans Kalla di bawah Yudhoyono dan Megawati, sejumlah petinggi Beringin berkeras mendorong ketua umum partainya ikut berebut tiket ke Istana Presiden.
Sangat mungkin pilihan Kalla tidak selaras dengan partainya. Orang Makassar yang mencoba menolak anggapan bahwa Jawa—non-Jawa merupakan komposisi ideal pucuk pimpinan Republik ini sebenarnya berpikir rasional. Jabatan presiden bagi Kalla barangkali bisa ”dipandang dekat, dicapai tak dapat”. Lebih aman mempertahankan jabatan wakil presiden yang nyaris sudah di tangan. Ia kelihatannya yakin, Beringin akan ikut untung dengan pilihan ini. Pernah ia mengatakan, ”Jika berpasangan dengan saya, SBY bisa menang dalam satu putaran.” Tapi keputusan mempertahankan duet pemenang Pemilu 2004 itu, apa boleh buat, tidak berada di tangan Jusuf Kalla.
Bisa jadi, keputusan juga tidak digenggam Yudhoyono. Semua tergantung perolehan suara Golkar dan Demokrat dalam pemilu legislatif pada 9 April nanti. Seandainya Beringin menang, desakan untuk Kalla maju ke perebutan kursi presiden pasti akan lebih kencang.
Tak ada yang aneh dengan desakan itu. Partai politik memang didirikan untuk mencapai tujuannya melalui berbagai program. Dalam sistem pemerintahan presidensial, hanya presiden yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan berbagai program—sebagian dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Wakil presiden sebenarnya hanyalah ban serep. Jadi, tak ada yang salah bila partai berjuang menempatkan kadernya sebagai presiden.
Jusuf Kalla mesti kembali kepada fatsun politik itu. Peluangnya memang masih kecil dibandingkan dengan SBY atau Megawati. Tapi ia memiliki mesin politik tangguh yang telah teruji memenangi pemilu legislatif lalu. Lagi pula, sekitar 170 juta pemilih masih menunggu satu hal menentukan: kandidat wakil presiden tiga calon presiden itu. Dengan memilih calon wakil yang ”menjual”, Kalla diramalkan bisa cukup diperhitungkan dalam pemilihan nanti. Dengan mengurangi keterlibatannya dalam bisnis keluarga, juga keberaniannya ”melabrak” aturan, barangkali ia bisa menjadi presiden yang efektif.
Tak ada harga mati dalam politik. Jika kelak Golkar kalah tapi Demokrat juga tak merebut 20 persen kursi, sangat mungkin kedua partai berkoalisi mengusung SBY-JK lagi. Tapi sekarang sebaiknya JK tidak maju-mundur lagi—demi memberikan alternatif lebih banyak pada pemilih, demi pemilu yang lebih menarik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo