Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAIN musim hujan dan musim diskon barang, sekarang ini sedang berlangsung musim klaim. Musim yang satu ini tak ada kaitannya dengan cuaca, tapi ada bersangkut paut dengan harga. Partai politik berlomba pasang iklan, menyebarluaskan jasa kadernya kepada publik, tentu saja dengan tujuan mendongkrak ”nilai jual” menjelang pemilu legislatif.
Partai Demokrat punya iklan andalan: di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, harga bahan bakar minyak turun tiga kali. Partai berlambang bintang itu tak ragu menyatakan ditetapkannya anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan bukti kerja ”jago”-nya.
Partai Golkar bilang telah menciptakan swasembada pangan. Tak mau kalah, Partai Keadilan Sejahtera ikut menyatakan kadernya di kabinet, Anton Apriyantono, yang menjabat Menteri Pertanian, telah berjasa mewujudkan swasembada pangan.
Saling klaim antarpartai politik ini mungkin terus berlangsung hingga menjelang pemilihan umum legislatif, 9 April mendatang. Partai pendukung pemerintah—antara lain Partai Keadilan Sejahtera, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan tentu saja Partai Demokrat—yang memiliki kader di kabinet, seakan tak ingin kehilangan kesempatan merebut perhatian masyarakat. Selain ”berjualan”, iklan itu juga menangkis kritik partai ”oposisi” seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang getol menyuarakan program sembako murah.
Boleh saja Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai klaim-klaim keberhasilan dari partai pendukung pemerintah adalah wajar. Alasan dia seakan logis, yang dicapai kabinet merupakan hasil kerja bersama presiden, wakil presiden, dan para menterinya. Namun, karena mereka berasal dari partai yang berbeda-beda, menurut Kalla, dalam pemilu legislatif mereka harus melakukan kampanye sendiri-sendiri.
Pendapat begini tepat bila Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer. Dalam sistem itu, semangat kolektif sangat menonjol, karena kabinet didirikan oleh gabungan partai. Perdana menteri sebagai pemimpin pemerintahan lebih berfungsi sebagai ”dirigen” sebuah orkestrasi.
Dalam sistem presidensial yang kita anut sekarang, presiden bertanggung jawab penuh kepada rakyat yang memilihnya. Para menteri, kendati dilibatkan dalam penyusunan program pembangunan, pada dasarnya merupakan pembantu presiden. Tugasnya membantu presiden melaksanakan program yang sudah disusun. Kegagalan atau keberhasilan program itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab presiden. Kendati begitu, partai yang mengusung presiden pun tak etis bila mengklaim seluruh hasil pembangunan, karena presiden tak bekerja sendirian selama ini.
Klaim keberhasilan masing-masing anggota kabinet sekarang ini boleh jadi merupakan konsekuensi dari politik akomodasi yang dilakukan Yudhoyono. Tapi tidak patut memakainya sebagai ”dagangan politik”, karena menteri hanya membantu tugas presiden.
Selama ini kita tak pernah mendengar ada menteri yang mengklaim bertanggung jawab atas kandasnya sebuah program pembangunan. Jangankan mengundurkan diri seperti tradisi politik Jepang, atau setidaknya minta maaf kepada rakyat, menteri yang sudah dianggap gagal pun masih ”anteng” saja bercokol di kabinet.
Jadi, mari kembali kepada etika politik. Tak perlu memakai Machiavellisme—korup, manipulatif, menghalalkan segala cara—dalam mencapai tujuan. Garis etika ini memang tak kasatmata. Namun, bila diterabas, muncul rasa tak nyaman, yang bisa-bisa tumbuh menjadi antipati publik terhadap partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo