Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA pun alasannya, pembatalan tugas Kemas Yahya dan Muhammad Salim sebagai koordinator peng-awasan korupsi di kejaksaan perlu kita beri apresiasi. Pembatalan yang dilakukan setelah media massa menyiarkan kritik dan protes masyarakat itu agak melegakan. Tapi pembatalan ini sekaligus menunjukkan ada yang berjalan tak semestinya di Kejaksaan Agung.
Apa boleh buat, batu telah dilempar, kata-kata sudah diucapkan. Pembatalan tak menghapus kenyataan yang merisaukan. Jaksa Agung Hendarman Supandji meng-anggap Kemas dan Salim pantas memikul tugas pengawasan korupsi di lingkungan kejaksaan.
Dari segi fakta hukum, Jaksa Agung boleh jadi tak menabrak apa-apa: Kemas Yahya dan Muhammad Salim tidak terbukti bersalah dalam kasus korupsi yang mengirim jaksa Urip Tri Gunawan dan pengusaha Artalyta ke penjara. Maka Hendarman pun mengangkat Kemas Yahya sebagai koordinator dan Muhammad Salim sebagai Wakil Koordinator Unit I Tim Satuan Khusus Supervisi dan Bimbingan Teknis Penuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Perikanan, dan Ekonomi.
Tugas mereka luas dan penting, yakni mengawasi korupsi di 31 kejaksaan tinggi dan 400 kejaksaan negeri di seluruh Indonesia. Pengangkatan kontroversial ini pantas saja disorot Komisi Kejaksaan dan sejumlah kalangan. Keputusan Jaksa Agung, walau kemudian dianulir, menunjukkan ia kurang sensitif pada rasa keadilan warga negara. Kemas dan Salim dianggap ikut bertanggung jawab dalam kasus korupsi Urip-Artalyta, walaupun keduanya tidak dihukum.
Jaksa Agung tentu belum lupa bahwa dia sendirilah yang mencopot kedua bawahannya itu. Tindakan itu diambil Hendarman setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap jaksa Urip. Salim dia lepaskan dari jabatan Direktur Penyidikan pada Bagian Tindak Pidana Khusus. Kemas dicopotnya dari kursi Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
Tentang jabatan koordinator dan wakilnya, tentu tak salah niat Jaksa Agung untuk mengoptimalkan kemampuan Salim dan Kemas. Posisi tersebut memang tidak memberikan wewenang penyidikan. Tetapi keduanya bisa memberikan rekomendasi atas suatu kasus untuk diteruskan ke pengadilan atau dihentikan. Fungsi ini tentu amat riskan dipegang oleh orang yang pernah ikut bertanggung jawab dalam kasus korupsi jaksa Urip.
Hal penting lain adalah rasa keadilan dan kepatutan korps. Apa kata para bawahan yang akan disupervisi Kemas-Salim? Bukankah rekam jejak supervisor mereka dalam kasus Tri Urip-Artalyta sudah menjadi pengetahuan publik?
Reaksi publik tak bisa dipandang berlebihan. Tapi, mengingat kronisnya penyakit korupsi di lembaga-lembaga penegakan hukum Indonesia, sikap over-kritis publik justru harus dijadikan pengingat. Bahwa tim pemberantas korupsi, apalagi yang wewenangnya memberantas korupsi skala besar yang merugikan negara, harus dipimpin oleh orang yang benar-benar bersih. Sapu kotor tak bisa dipakai membuat bersih.
Untuk mengisi pos penting, disarankan Kejaksaan Agung meminta masukan Komisi Kejaksaan ataupun lembaga-lembaga independen dan kredibel. Terutama, dalam mengangkat pejabat yang bertugas di bidang pengawasan korupsi. Fakta hukum boleh menjadi pegangan sebelum mengambil keputusan. Tapi tuntutan lebih banyak pantas diajukan untuk tokoh sekelas Jaksa Agung: ia mesti punya wisdom, bijaksana, dan kemampuan menimbang rasa keadilan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo