Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SILANG sengketa impor beras yang sedang terjadi sudah seperti serial sinetron tak berkelas. Para "aktor" berusaha mengelakkan tanggung jawab, saling tuding, tapi dengan argumen ala kadarnya. Agak menyedihkan karena keributan begini bukan yang pertama kali. Ketika Kementerian Perdagangan dipimpin Mari Pangestu dan Kementerian Pertanian dikendalikan Anton Apriyantono, kisruh beras juga terjadi. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono terlihat tak punya solusi mujarab.
Munculnya beras Vietnam di pasar mengawali kisruh. Beras kategori medium itu didatangkan importir swasta. Padahal hanya Bulog yang memegang izin mendatangkan beras medium. Itu sebabnya Kementerian Pertanian langsung menyatakan beras Vietnam tersebut ilegal. Kementerian Perdagangan berdalih hanya mengeluarkan izin bagi importir swasta untuk mendatangkan beras Vietnam kategori premium sebanyak 16.500 ton. Kementerian Perdagangan yakin beras yang diributkan itu tergolong premium. Jadi, dalam pandangan Kementerian Perdagangan, pemberian izin untuk swasta tak melanggar aturan.
Ternyata harga beras asal Vietnam yang disebut premium itu lebih murah dibandingkan dengan beras medium lokal. Kementerian Perdagangan tak sanggup menjawab fakta ini. Tentu saja pedagang beras medium lokal menjerit.
Pemerintah mesti bekerja lebih cepat. Pembenahan harus dilakukan pada proses izin dari hulu sampai hilir. Rekomendasi Kementerian Pertanian kepada Kementerian Perdagangan mesti spesifik mencantumkan kategori beras. Kementerian Perdagangan wajib pula menaati rekomendasi itu. Ini penting supaya tak terjadi lagi impor beras yang berbeda, baik jenis maupun jumlahnya. Ketentuan pemberian kode Harmonization System (HS), yang ternyata sama untuk beras impor umum dan khusus, yang diterbitkan sebelum Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengundurkan diri, perlu ditinjau ulang.
Berbagai indikasi penyimpangan dalam kasus ini tak patut dibiarkan. Realisasi impor, umpamanya, jauh melebihi rekomendasi Kementerian Pertanian. Bea-Cukai juga menemukan beras Vietnam medium itu dilaporkan sebagai beras premium. Aparat hukum mesti segera menelisik indikasi jual-beli kuota impor dalam kasus ini. Maklum, harga beras lokal yang jauh lebih mahal dibanding beras di pasar dunia kerap memicu syahwat importir dan birokrat untuk meraup rezeki tak legal dari kuota impor.
Membereskan izin dan menindak importir nakal penting dilakukan. Tapi penataan kebijakan perberasan nasional mesti dimulai dari pembenahan data produksi dan konsumsi yang selama ini tak pernah jelas. Data produksi versi Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) berbeda. Data konsumsi setiap tahun pun ditentukan dengan asumsi berlainan.
Menteri Pertanian menyatakan produksi beras tahun lalu sekitar 40 juta ton, dan tahun ini diprediksi menjadi 43 juta ton. Angka ini meragukan. Soalnya, metode penghitungan "ubinan" Kementerian Pertanian-menghitung jumlah gabah kering pada satu luasan kecil, lalu diekstrapolasikan dalam luasan hektare-rendah akurasinya. Kementerian Pertanian juga melupakan berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi menjadi perumahan atau industri.
Data konsumsi pun bermasalah. Pemerintah menetapkan asumsi konsumsi beras nasional 139 kilogram per kapita per tahun. BPS memakai patokan 113 kilogram. Dengan jumlah penduduk 250 juta, seandainya data produksi beras nasional versi Kementerian Pertanian benar, pengamat pertanian Khudori memastikan Indonesia akan mengalami surplus besar, 4-11 juta ton setahun. Faktanya? Tiga tahun terakhir Indonesia tetap mengimpor beras dalam jumlah besar.
Itu menunjukkan produksi beras nasional tak mampu menutupi konsumsi dalam negeri. Akibatnya, untuk mencegah melonjaknya harga, pemerintah membuka keran impor. Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada 1984 dan 2008, tapi selebihnya menjadi net importer, terutama sejak akhir 1990-an. Mengulang prestasi swasembada tentu membanggakan, tapi tak perlu melakukannya dengan melambung-lambungkan data produksi dan alergi terhadap impor beras.
Dalam jangka pendek, impor bahkan merupakan pilihan terbaik demi menekan harga domestik. Sebab, angka kemiskinan terbukti melonjak pesat ketika harga gabah dan beras dinaikkan. Untuk membantu petani produsen padi, pemerintah bisa memberikan subsidi harga sarana produksi atau perbaikan jaringan irigasi demi meningkatkan produktivitas lahan.
Selain membantu petani, yang rata-rata kepemilikan lahannya mengecil lantaran tradisi waris, pemerintah perlu mencetak semacam rice estate. Bila dibandingkan dengan mengimpor beras, investasi besar pada masa awal tentu tak menguntungkan. Tapi, dalam jangka panjang, sentra-sentra produksi beras itu akan mengurangi atau bahkan menghentikan impor.
Pemerintah harus lebih serius mengurus beras, apalagi menjelang pemilu. Konsumen "komoditas politik" itu bisa sangat menentukan nasib pemerintah.
berita terkait di halaman 76
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo