Mengenaskan peristiwa ini. Polisi salah tembak ketika menangkap pengedar narkoba di kawasan padat Tamansari, Jakarta Barat. Pengedar narkoba yang akan ditangkap kabur, sementara dua gadis kecil, Surtianah, 12 tahun, dan Eli, 3+ tahun, tewas oleh peluru yang dimuntahkan polisi. Ibu Eli, Mela, 24 tahun, luka dan dirawat di rumah sakit. Apakah bernama kecerobohan, kecelakaan, atau polisi yang tidak terampil memainkan senjatanya, ini sebuah tragedi. Karena itu, pengusutan yang tuntas harus segera dilakukan.
Tujuh polisi anggota buru sergap dari Kepolisian Resor Jakarta Barat dengan berpakaian sipil menyusun strategi untuk menangkap pengedar narkoba. Seorang polisi menyaru sebagai pembeli dan berhasil berhadapan dengan pengedar narkoba itu. Bahkan transaksi hampir dilakukan, sang polisi sudah mengeluarkan duit Rp 5 juta. Tetapi kawanan pengedar narkoba segera tahu bahwa mereka dijebak dan berusaha kabur dengan meneriaki polisi sebagai maling.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari sudut ini? Mungkin strategi polisi kurang jitu. Transaksi dilakukan di tempat keramaian. Lalu, penyamaran polisi yang kurang berhasil bisa jadi karena kawanan pengedar narkoba itu sudah hafal dengan reserse narkoba yang selama ini aktif melakukan penggerebekan. Dari sudut ini kita segera bisa memberikan saran, polisi jangan terlalu lama beroperasi di wilayah yang sama. Ia harus sering dipindah-pindah ke wilayah operasi yang baru. Betapapun rapinya penyamaran itu, kalau wajahnya sudah berkali-kali muncul, apalagi dengan gaya penyamaran yang sama, "musuh-musuh polisi" tentu mudah mengingatnya.
Kemudian tentang mudahnya peluru itu ditembakkan. Prosedur yang selama ini baku adalah polisi meletuskan peluru jika buruannya melarikan diri, itu pun dengan didahului tembakan peringatan ke atas. Lalu menembak bagian yang tidak mematikan, misalnya kaki, untuk melumpuhkan. Dalam kasus di Tamansari itu, kepadatan penduduk mestinya menjadi pertimbangan polisi untuk memuntahkan peluru atau tidak. Apalagi polisi yang berpakaian sipil ini sudah sempat diteriaki maling sehingga kondisi orang-orang di sekitarnya terbelah antara mempercayai teriakan maling dan percaya bahwa itu betul-betul polisi yang menangkap buruannya. Keadaan bisa dikatakan runyam dan seharusnya polisi cepat menangkap situasi ini untuk mengurungkan menarik pelatuk pistol.
Kapolda Metro Jaya Irjen Makbul Padmanagara menyebut kejadian itu murni kecelakaan. Ia datang ke rumah korban dan menyampaikan belasungkawa. Ada benarnya ucapan Kapolda mengingat selama ini tim buru sergap polisi memang ada yang berhasil menembak mati sejumlah perampok yang beraksi di tempat keramaian. Namun, kalau kita menyebut kasus Tamansari itu sebuah kecerobohan—setidak-tidaknya di luar perhitungan yang matang—juga ada benarnya. Bagaimana mungkin peluru berkali-kali diletuskan di tempat yang sudah gaduh, apalagi polisi yang diteriaki maling itu memang kenyataannya sedang menggenggam uang dan berceceran pula. Bahkan sudah muncul risiko di sini, seorang polisi tertangkap massa dan sempat dikeroyok.
Ada satu hal lagi di luar kata ceroboh dan kecelakaan murni, yakni keterampilan polisi memainkan pistolnya. Ini perlu digugat, sejauh mana para reserse di lapangan itu punya keterampilan yang selalu diasah setiap saat. Rutinitas pekerjaan, apalagi jumlah polisi yang kurang, tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan hal ini. Polisi harus terus meningkatkan profesionalismenya, termasuk dalam urusan menggunakan senjata.
Pada akhirnya, setiap kelalaian yang menimbulkan korban tak berdosa seperti ini haruslah diusut tuntas sesuai dengan prosedur hukum yang transparan. Dari proses hukum ini polisi akan banyak belajar bagaimana meningkatkan profesionalisme dan menegakkan citra sebagai pengayom masyarakat, bukan pembunuh masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini