Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Siapa Menang?

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa yang dimenangkan, ketika akhirnya Akbar Tandjung yang Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu ditahan Kejaksaan Agung mulai Kamis malam pekan lalu? Pertanyaan semacam ini keliru diajukan, karena penahanan seorang tersangka pelaku tindak pidana bukanlah hasil suatu kontes antara pihak yang bertentangan. Setidak-tidaknya seharusnya bukan begitu, kalau secara primer kita memandang hal itu sebagai bagian dari proses hukum. Siapa menang atau merasa menang, dan sebaliknya, hanya bisa dirasakan apabila peristiwa penahanan itu ditempatkan di luar lingkup yuridis. Nyatanya itu memang terjadi, karena semua pihak telanjur meletakkannya dalam wilayah pertikaian kepentingan politik. Semua pun sadar, tak ada masalah besar dalam kehidupan masyarakat di zaman ini yang bisa berjalan murni dan dibiarkan bebas dari pengaruh politik. Khususnya dalam soal penegakan hukum, apalagi kalau ada tokoh tingkat tinggi yang terlibat di dalamnya. Tak banyak gunanya mengeluh tentang soal itu lagi, atau pura-pura menyangkalnya. Yang harus diuraikan dan dipisahkan ialah apakah di sini politik telah jadi penentu satu-satunya atau sebagaimana biasanya, kepentingan politik yang senantiasa mencoba memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Batas antara yang masih pantas dan tidak, sulit menentukannya. Apalagi kalau diingat bahwa selalu ada aksi dan reaksi, yang sama-sama memakai tekanan politik sebagai alatnya. Yang jadi sasaran dituduh kena intervensi ialah kejaksaan (atau polisi), yang juga kebetulan punya reputasi belum dipercayai masyarakat. Maju kena mundur kena, tergantung dari arah mana melihatnya. Bahwa nyatanya ada faktor desakan politik, itu tak meniadakan kenyataan lain yang sudah ada lebih dahulu bahwa ada perkara hukum yang harus ditanganinya. Fakta bahwa Akbar Tandjung disangka terlibat suatu perkara pidana tidak bisa di-batalkan hanya karena?misalnya ini benar?ada desakan pada kejaksaan untuk melakukan penahanan pada dirinya. Yang menjadi pembeda ialah apakah desakan itu masih sejajar arahnya dengan keperluan menegakkan hukum, untuk mem-berantas korupsi misalnya, atau tidak. Cukup sah, untuk membedakan antara tekanan agar sebuah perkara dipetieskan dengan desakan agar lebih tegas dalam menyidik dan melancarkan tuntutan ke pengadilan. Kejaksaan, sebagai penuntut umum, tugasnya adalah melayani kepentingan umum dalam menegakkan keadilan. Kalau desakan dari luar itu bersifat positif untuk memperkuat proses hukum di tingkat penyidikan kejaksaan, maka kurang tepat untuk menamakannya intervensi, yang punya arti kurang baik itu. Lain halnya kalau campur tangan dilakukan terhadap hakim di tingkat proses peradilan, yang mutlak dilarang oleh undang-undang. Tekanan politik, termasuk yang merupakan reaksi terhadap yang dianggap dimulai oleh pihak lawannya, ditampilkan dalam berbagai bentuk dan cara. Hampir semuanya membuat kita prihatin, karena menimbulkan kesan kurangnya penghargaan pada proses dan lembaga hukum. Misalnya para tokoh partai politik yang secara demonstratif menyampaikan solidaritasnya kepada para tahanan perkara pidana, yang dijadikan tersangka oleh lawan politiknya. Pada masa pemerintahan Gus Dur, seteru politiknya berbondong menyampaikan simpati pada Syahril Sabirin dan Ginandjar Kartasasmita. Sekarang, giliran Rahardi Ramelan mendapat kunjungan pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa di Penjara Cipinang, yang membuat orang tak habis pikir mencari apa alasannya. Terakhir, Akbar Tandjung diantar beramai-ramai, didoakan, dan diberi simpati oleh pejabat-pejabat Golkar dan mereka yang dalam kasus ini berseberangan dengan partai Presiden Megawati. Tidak ada yang dimenangkan dengan cara menunjukkan rasa setia kawan yang keliru itu, bahkan ada yang dikalahkan: yaitu usaha awal untuk mengembalikan kepercayaan pada proses hukum. Aparat penegak hukum memang masih lemah. Simpang-siur faktor kepentingan politik juga mengacaukan. Tapi peristiwa penahanan Akbar Tandjung layak untuk dinilai tersendiri. Ini bisa jadi tanda bahwa Kejaksaan Agung mulai bersungguh-sungguh menjalankan perannya dalam proses hukum, dan mengharap pulihnya kepercayaan masyarakat pada lembaga ini. Mungkin saja gejala itu merupakan suatu hasil kebetulan, sehingga belum cukup dasar untuk meyakini tekad para jaksa itu. Tapi sebaliknya perkembangannya pasti akan patah, kalau langsung digilas tingkah laku politisi yang tak menghiraukannya sama sekali. Satu hal lain yang mungkin sekali tidak dimenangkan dengan penahanan Akbar Tandjung ialah pembentukan Panitia Khusus DPR untuk menyelidiki penyelewengan dana nonbujeter Bulog, yang akan diputuskan pada 18 Maret ini. Memang benar, panitia penyelidikan gaya sistem parlementer ini dikenal sebagai panitia khusus, jadi seakan-akan berlebihan tatkala proses hukum terhadap Akbar Tandjung dll. sudah dijalankan semestinya. Tapi di sisi lain benar juga pikiran yang menempatkan perlunya panitia khusus ini diadakan bersamaan dengan proses yustisial yang tengah berjalan. Selain sebagai dorongan politik yang memang dibutuhkan?walau tidak diakui dengan terbuka?oleh pihak penegak hukum, juga panitia khusus bisa berfungsi untuk membuka masalahnya menjadi lebih lebar dan mendalam. Masalah dana nonbujeter Bulog, sebagaimana telah diungkap dalam berbagai kesempatan, jauh lebih besar dari soal yang menyangkut perkara Rahardi Ramelan dan Akbar Tandjung sendiri. Lagi pula, melalui panitia khusus ini, pihak Partai Golkar sendiri sebetulnya bisa diuntungkan untuk melakukan klarifikasi demi kepentingannya sendiri. Kemungkinannya kecil untuk diterima, tapi masih bisa dipikirkan. Yang disebut sebagai tekanan politik, pembentukan panitia khusus, semua bentuk manifestasi di bidang politik lainnya, bukan tak mungkin telah jadi faktor dinamika?tanpa sengaja?yang menggiatkan proses penegakan hukum sendiri, baik bagi kejaksaan maupun dalam tahap peradilan nanti. Jadi, tanpa repot memahami siapa yang menang dalam penahanan Akbar Tandjung, kita harus tetap tekun mengikuti perkembangan yang masih panjang, rumit, tapi terbuka ke berbagai arah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus