BAGAIMANA melihat Soeharto sekarang ini? Sebuah buku ditulis oleh seorang profesor di Universitas Griffith, Australia, yang oleh peneliti LIPI, Asvi Warman Adam, dipertanyakan: adakah buku itu mencoba memahami Soeharto, atau memuji-muji? (Lihat rubrik Iqra.)
Di tengah zaman reformasi?apa pun maknanya?sekarang ini Soeharto memang diuntungkan. Itu berbeda benar dengan nasib pendahulunya, Sukarno, di masa sesudah tak lagi berkuasa. Yang jelas, pemerintah tak membatasi kebebasannya, walau ada hal-hal yang berkaitan dengan Soeharto di masa ia berkuasa perlu diusut secara hukum.
Taruhlah sikap lunak pemerintah itu karena yang bersangkutan sakit. Dalam hal ini, nasib Soeharto memang mujur. Ia punya uang hingga bisa mempunyai tim dokter, dan rumah sakit pun akan menerimanya dengan sepenuh perhatian (tentu, pihak rumah sakit yakin bakal dibayar penuh). Ini berbeda benar dengan orang- orang sakit yang telantar karena harus menunggu keluarganya me-ngumpulkan ongkos guna membayar uang tanggungan rumah sakit.
Dalam suasana yang demikian itu, mengungkapkan kenyataan obyektif tentang Soeharto tanpa sikap kritis bisa terkesan memuji-muji, bahkan membelanya. Itu tentu sah saja, apalagi bila tindakan Soeharto di masa berkuasa yang perlu diungkapkan terlupakan. Juga sah-sah saja?seperti diceritakan oleh Asvi, yang membahas buku baru tentang Soeharto itu?bila seorang sopir taksi mengeluh: rasanya hidup di zaman Soeharto lebih enak; ekonomi tak sesulit sekarang.
Tapi keluhan itu berbahaya bila melupakan yang lain-lain. Misalnya, betapa aparat keamanan menjadi alat kekuasaan di masa "hidup lebih enak" itu.
Karena itu, buku ini mengingatkan kita agar meminta pemerintah (aparat hukum) aktif kembali mengusut pelanggaran-pelanggaran di masa Soeharto berkuasa. Ada hal-hal yang sulit, bahkan mustahil diusut secara hukum. Umpamanya, dalam sebuah tulisan yang belum terbit, Ignas Kleden membahas bagaimana ketakutan dikonstruksikan ke masyarakat sehingga Soeharto bisa berkuasa 30 tahun.
Namun, untuk hal-hal yang hasil konkretnya bisa diusut, kekayaan dan berbagai yayasan yang didirikan Soeharto misalnya, hukum memberikan jalan pengusutan. Aneh kalau penyelenggara negara kini harus mengisi daftar kekayaan (apa pun kualitasnya dan seberapa pun yang ikhlas dan jujur mengisi), sedangkan pengusutan yayasan-yayasan Soeharto tak dilanjutkan. Juga berbagai keputusan presiden atau keppres terbuka untuk ditelusuri, adakah itu melanggar undang-undang atau tidak. Dalam tulisan yang juga belum dipublikasikan, pakar hukum tata negara Sri Sumantri menunjukkan beberapa pelanggaran Soeharto terhadap UUD 1945. Misalnya, konsensus menyatukan pemimpin MPR dan DPR yang berakibat amandemen UUD 1945 dihalangi, sehingga memungkinkan Soeharto berkali-kali terpilih menjadi presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini