SUATU kali Andi Hakim Nasoetion menceritakan kenangannya kepada TEMPO. Ketika ia menjabat sebagai ketua seleksi penerimaan mahasiswa baru Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1970-an, datanglah seorang tamu berpenampilan lusuh. Sang tamu mengaku lulusan SMA di Kota Curup, Bengkulu. Ijazah dan rapornya yang sudah kusam dibawanya pula. Ia ingin masuk IPB. Sayang, waktu penerimaan mahasiswa sudah habis. Tapi, karena melihat nilai rapornya yang mencorong, Andi mengetesnya. Ternyata siswa itu sanggup mengerjakan soal matematika dengan baik. Melanggar aturan, Andi menerimanya di IPB dengan mengubah tanggal pendaftarannya. Siswa itu adalah Lachmudin Syachrani?sekarang guru besar ilmu kelautan di Universitas Diponegoro. Andi Hakim Nasoetion, mahaguru statistika IPB, memang kerap menabrak aturan karena mempercayai instingnya.
Di sela persiapan perayaan ulang tahunnya yang ke-70 pada 30 Maret dan memasuki masa purnabakti, tiba-tiba Senin malam pekan lalu terdengar kabar Andi Hakim telah menutup usia di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta, karena kanker prostat dan gagal ginjal. Padahal di dalam acara itulah buku biografi pertama tentang dirinya, Profil Seorang Eksperimentalis, akan diluncurkan. Eksperimentalis? Itulah sifat yang selalu ditanamkan Andi Hakim pada dirinya sendiri dan semua mahasiswanya: seorang ilmuwan tak berhenti mencoba.
Ia sosok pendidik yang amat mencintai buku dan matematika. Betapa indahnya menguasai matematika, begitu selalu dikatakannya di depan mahasiswanya. Andi memang lulus sebagai master dan doktor di bidang matematika terapan dengan keahlian kedua dalam soal genetika kuantitatif.
Cinta Andi?yang ketika mahasiswa selalu lulus cum laude?pada matematika ditularkan kepada anggota keluarga dan mahasiswanya. Putri sulungnya, Marlina Dumasari, kini mengajar di Jurusan Statistik IPB. Andi juga berusaha keras membuat semua mahasiswa IPB mampu mengambil keputusan berdasarkan logika matematika. Lahirlah mata kuliah landasan matematika, yang diilhami oleh sebuah bahasa program komputer Basic, yang mengajarkan logika dan peluang, untuk membuktikan bahwa matematika bukan alat hitung semata, tapi juga alat berpikir kuantitatif. Buku Pengantar Ilmu Pertanian karangannya dipenuhi cerita-cerita menarik tentang aplikasi matematika dan statistika dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ia sempat bersedih karena mengaku gagal menjadi ilmuwan statistika ternama. "Habis waktu mengurus mahasiswa," ungkapnya kepada TEMPO setahun lalu.
Walau begitu, banyak eksperimen terobosannya yang memperkaya dunia pendidikan di Indonesia. Untuk menyampaikan gagasannya, ia menulis di banyak koran dan majalah. Pada 1972, misalnya, ia melontarkan gagasan perlunya konsep seleksi masuk perguruan tinggi tanpa tes, yang dimulai lewat Proyek Perintis II pada 1973. Hingga kini, puluhan kampus melakukan seleksi serupa. "Agar anak nelayan dan petani yang pintar bisa masuk perguruan tinggi," katanya.
Awal 1970-an, ia memperkenalkan model pendidikan pascasarjana atau magister sains dan tingkat doktoral. Andi jugalah yang mempersingkat kelulusan sarjana menjadi empat tahun?dari sebelumnya enam tahun?yang sekarang dipakai di hampir semua universitas. Untuk semua eksperimennya itu, kampus IPB dijadikannya proyek percontohan. Syukurlah mulus, dan menyebar ke kampus lainnya. Pendidikan tingkat menengah juga tak luput dari perhatiannya. Tiga puluh tahun lalu sudah ditulisnya betapa berbahayanya penjurusan dilakukan di kelas dua SMU karena lulusannya tak akan menguasai ilmu-ilmu dasar dengan baik. Sarannya, penjurusan cukup setahun terakhir saja. Baru sekitar lima tahun lalu gagasannya dipakai pemerintah, ketika terbukti mutu lulusan SMU merosot. Di luar kampus, Andi Hakim membidani kelahiran lomba karya ilmiah remaja?yang sudah berusia 26 tahun.
Ayah tiga anak dan kakek dua cucu ini hidup sederhana dan membenci dosen yang mencari-cari proyek untuk penghasilan tambahan. Penghidupannya didapat dari gajinya sebagai guru besar dan upahnya menulis di berbagai surat kabar. "Menulislah dan hiduplah dari menulis," katanya seperti diungkapkan Choirul Mulu, koleganya.
Andi Hakim juga memegang teguh prinsipnya soal beda pendapat. Pernah suatu kali ia diminta oleh seorang menteri?yang juga lulusan IPB?untuk menekan seorang dosennya agar tak berbicara soal hama kutu loncat di surat kabar. Andi tak mau, malah balik memarahi menteri itu. Belakangan ia tahu, urusan itu jadi besar karena kutu loncat masuk ke Indonesia bersama pohon lamtoro gung yang dibawa Soeharto dari luar negeri. Meskipun pernah menjadi Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia dan aktif berdemonstrasi pada 1966, Andi tak mau politik masuk ke kampusnya. Pasca-Malari, ketika ia menjabat rektor pada 1978, semua aktivis mahasiswa dimintanya kembali ke bangku kuliah. "Yang tak mau, silakan ke luar IPB," ungkapnya. Soal pemilihan dirinya saat itu, Andi Hakim menyindir pemerintah, "Mereka perlu saya saat kacau-balau saja."
Mahaguru yang sarat gagasan itu kini beristirahat abadi. Di pekuburan Blender, Bogor, ketika peti mati tertumpuk tanah basah, tertunduk dengan penuh air mata ratusan mahasiswa, para petinggi dan mantan petinggi negeri yang pernah dididiknya, sahabat-sahabatnya, keluarganya, serta orang-orang yang mencintainya dan mengagumi keteguhan pilihan hidupnya.
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini