Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tujuan perang Israel di Palestina kali ini hendak melumpuhkan seluruh infrastruktur Hamas di Gaza.
Dampak perang sudah sangat jelas, yakni kehancuran dan tragedi kemanusiaan.
Seberapa lama Hamas dan Israel berperang kali ini akan menentukan hasil akhirnya.
Ibnu Burdah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum ada tanda-tanda perang Hamas-Israel akan segera berakhir, padahal dampaknya sudah sangat jelas, yakni kehancuran dan tragedi kemanusiaan, terutama bagi penduduk sipil. Perang di Palestina ini diperkirakan berlangsung jauh lebih lama daripada perang-perang sebelumnya. Sebab, tujuan perang Israel kali ini tidak main-main: melumpuhkan seluruh infrastruktur Hamas di Gaza, di samping mengembalikan orang-orang yang disandera Hamas dalam keadaan selamat.
Sejauh ini, Gaza sudah dikepung dari darat, laut, dan udara oleh tentara Israel. Serangan darat dari tiga front perbatasan digencarkan, yaitu dari utara bagian barat untuk masuk di sekitar Jabaliya, dari front utara bagian timur di Bait Hanun, dan daerah tengah dari selatan Kota Zaytun melalui daerah-daerah pertanian. Dalam beberapa hari terakhir, serangan bertambah dari lima front. Kontrol tentara Israel itu kemudian membentuk garis persegi panjang yang beberapa kilometer lagi dapat memisahkan Gaza utara dan selatan serta memutus jalan protokol Salahudin dan lainnya.
Dengan cara itu, Israel ingin memutus suplai untuk Hamas sekaligus menghadang gerakan para aktivisnya untuk keluar dari kepungan itu. Israel juga ingin menghabisi Hamas dengan memperkecil korban masyarakat sipil dengan cara pemisahan ini. Penduduk sipil sudah didorong untuk eksodus ke daerah selatan sejak awal, meskipun konon masih ada puluhan ribu penduduk di utara. Proses eksodus ini juga berbahaya. Banyak anak-anak dan perempuan jadi korban yang sungguh mengenaskan dalam serangan Israel di Gaza utara dan jumlahnya terus bertambah secara signifikan.
Israel juga mengkampanyekan keberhasilannya dalam memburu aktivis dan para petinggi Hamas. Mereka perlu meyakinkan publik Israel bahwa operasi ini membawa hasil. Tentara Israel sepertinya ingin membayar kesalahannya saat gagal mendeteksi serangan besar Hamas pada 7 Oktober lalu, yang berakibat kegamangan rakyat Israel terhadap kemampuan negara melindungi mereka. Tentara Israel juga sering memberikan penjelasan tentang proses invasi darat yang pelan dan hati-hati karena terkait dengan proses penyelamatan para sandera dan hal-hal teknis lainnya.
Kapasitas
Meskipun dibombardir selama satu bulan ini, Hamas pada kenyataannya masih memiliki kapasitas untuk melakukan perlawanan dan serangan. Bahkan kemampuan itu seolah-olah tidak banyak mengalami penurunan. Mereka dalam kesempatan tertentu berani berhadapan langsung dengan tentara Israel, yang dilengkapi senjata-senjata canggih, baik di utara bagian barat maupun di Gaza Tengah. Titik-titik pertempuran semakin hari semakin banyak setelah beberapa hari pasukan Israel masuk ke Gaza tapi tampak tanpa perlawanan. Penetrasi Israel di awal invasi darat memang menekankan daerah yang rendah populasinya. Hamas juga masih mampu memberondongkan roket-roket jarak dekat dan jauh yang menyasar desa-desa di Ghilaf Gaza (kawasan sekitar perbatasan Gaza) dan kota-kota Israel.
Kenyataan ini tidak bisa dipandang enteng. Klaim keberhasilan tentara Israel patut dipertanyakan. Hamas masih punya kapasitas dan mampu memberikan perlawanan, terutama melalui “kota bawah tanah” di kota super-padat itu. Upaya untuk menghancurkan terowongan-terowongan di Gaza juga belum menunjukkan hasil signifikan. Bahkan, di dalam negeri Israel sendiri ada semacam kekhawatiran terhadap nasib tentara itu jika mereka masuk jebakan yang memang dipersiapkan dengan sangat rinci oleh Hamas jauh-jauh hari untuk perang ini.
Pertanyaan lain juga muncul: berapa lama para aktivis Hamas tersebut akan mampu bertahan di terowongan dalam kondisi terkepung tanpa ada jalur suplai itu? Jika Israel memiliki kemampuan berperang dalam waktu lama, peluang untuk melumpuhkan Hamas cukup besar. Namun perang ini memerlukan sumber daya dan ongkos yang sangat besar dari negara yang memiliki wilayah sangat sempit dan penduduk sedikit tersebut.
Kekacauan
Perang ini membawa kekacauan dalam kehidupan masyarakat Israel. Sumber daya manusia negara itu sangat terbatas. Pengerahan Angkatan Bersenjata Israel (IDF) dan tentara cadangan dalam pertempuran ini serta naiknya kebutuhan tenaga keamanan di seluruh Israel dan Palestina membuat sumber daya manusia Israel tersedot untuk kebutuhan perang. Dampaknya adalah kurangnya tenaga dalam kegiatan ekonomi dan sektor-sektor lainnya. Tak pelak, ini adalah pukulan besar, tidak hanya bagi industri dan perusahaan Israel, tapi juga bagi ekonomi negara itu secara umum. Padahal biaya perang ini sangat tinggi.
Biaya perang yang tinggi jelas membebani negara. Satu rudal dari Iron Dome untuk menahan atau mencegat satu roket Hamas konon biayanya mencapai US$ 100-150 ribu, sedangkan Israel dihujani lebih dari 5.000 roket Hamas pada 7 Oktober saja. Belum lagi biaya baterai dan sistem operasi Iron Dome yang sangat mahal. Apalagi ini adalah perang gabungan udara, laut, dan darat dengan tingkat kesulitan dan kompleksitas operasi sangat tinggi. Ini semua jelas sangat membebani keuangan Israel.
Karena itu, seberapa lama Israel akan mampu bertahan dalam situasi seperti ini layak dipertanyakan. Durasi perang sangat menentukan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat Israel. Biasanya, dalam perang-perang yang dijalankan Israel, Israel menggencarkan perang hanya sekitar satu bulan, 35 hari, atau 40 hari karena dilema sumber daya manusia ini. Bahkan, perang melawan Hamas dua tahun lalu berlangsung hanya dalam 11 hari. Jika benar data Reuters bahwa Israel menghabiskan US$ 246 juta setiap hari dalam perang ini, berapa biaya yang harus dikeluarkan negara itu untuk berperang dalam dua bulan saja? Perang panjang jelas menghancurkan ekonomi negara itu. Berbeda dengan negara besar seperti Rusia, yang memiliki jumlah penduduk melimpah dan wilayah luas, Israel tidak punya kemampuan untuk menggelar perang dalam waktu panjang, apalagi perang mahal seperti sekarang ini.
Namun saya membandingkan suasana kemarahan di dalam negeri Israel saat ini yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ada semacam rasa kemarahan maksimum, kekecewaan besar terhadap kegagalan negara melindungi rakyatnya yang bercampur aduk menjadi tekad kuat untuk melumpuhkan Hamas, apa pun risikonya dan berapa pun ongkosnya. Kemarahan seperti ini malah bisa membuat mereka akan mengalami kerugian-kerugian penting dalam pertempuran.
Ketahanan Hamas dan Israel akan menentukan jalan dan akhir dari perang ini. Jika Israel memiliki ketahanan dalam perang hingga waktu panjang, potensinya untuk mencapai tujuan perang ini jadi lebih besar. Namun, jika Israel tak memiliki ketahanan itu dan Hamas mampu bertahan dalam isolasi dalam waktu lama, potensi kegagalan Israel semakin besar. Hamas kemudian biasanya akan mendeklarasikan kemenangan dan larut dalam euforia dengan pidato berbusa-busa ketika pertempuran berakhir, meskipun Gaza sudah luluh lantak dan rakyatnya dalam kondisi mengenaskan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo