Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketidaktegasan merupakan musuh besar dalam memberantas korupsi. Sikap ”pilih-pilih bulu” dalam aksi melawan korupsi, yang kerap disindir media sebagai ”politik tebang pi-lih”, bagaikan kemoterapi yang dilakukan tidak rutin atau asal-asalan. ”Kanker ganas” yang menggerus uang negara tetap saja tak terobati.
Sikap setengah hati itu cenderung ber-ulang. Dalam urusan suap perkara pembobolan BNI, hanya segelintir pentolan polisi yang digiring ke pengadilan. Pejabat tinggi polisi yang diduga kuat ikut ”bermain” sampai sekarang masih leha-leha. Perlakuan kurang adil muncul pula dalam kasus percobaan penyuapan Ketua Mahkamah Agung. Cuma pegawai lembaga tinggi ini yang dibawa ke meja hijau. Sang Ke-tua gagal dihadirkan di pengadilan kendati hanya se-bagai saksi. Hakim yang berkeras meminta kehadiran Ke-tua akhirnya justru diperiksa hakim pengawas.
Deretan contoh itu kini bertambah satu lagi: perkara korupsi pengadaan segel sampul surat suara pada pemilihan presiden 2004. Bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Daan Dimara, menjadi terdakwa. Dialah yang dulu menjadi ketua panitia pengadaan segel. Begitu pula rekanan KPU, Untung Sastrawijaya dari PT Royal Standard, yang mencetak segel. Menjadi pesakitan di Pengadilan Korupsi Jakarta Pusat, mereka dituduh menyebabkan negara rugi Rp 3,5 miliar karena harga segel terlalu tinggi. Pengadaannya juga bukan melalui tender, melainkan penunjukan langsung.
Kontroversi mencuat lantaran Hamid Awaludin, rekan Daan di KPU, hingga kini tidak dijerat. Padahal indikasi keterlibatan figur yang sekarang jadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini cukup benderang. Lima orang telah bersaksi di Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka kompak menyebut: Hamid hadir pada pertemuan 14 Juni 2004 untuk menentukan harga segel bersama bos Royal. Tiga dari mereka sudah bersaksi di pengadilan. Kesaksian ketiganya tidak berubah. Bahkan seorang di antara mereka menyatakan Hamid tak sekadar hadir, tapi dialah yang memimpin rapat.
Sang Menteri terpaksa buka suara. Setelah di-panggil sampai tiga kali, akhirnya Hamid bersedia bersaksi di pengadilan. Tapi keterangan yang disodorkan sama seperti yang pernah ia sampaikan di KPK. Dia menyatakan: tidak pernah menghadiri rapat, apalagi ikut menentukan harga segel sampul surat suara.
Artinya, ada dua versi tentang kehadiran Hamid di rapat 14 Juni 2004. Lima saksi bilang Hamid hadir, sedangkan Hamid bilang tak hadir. Semua kesaksian itu diucapkan di pengadilan dan di bawah sumpah. Tak mungkin semua benar, pasti ada yang berbohong. Terhadap yang berbohong, hakim dapat menyeretnya sebagai tersangka baru kasus sumpah palsu dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun. Kebenar-an ucapan para saksi, juga Menteri Hamid, di pengadilan perlu diperiksa oleh polisi atau jaksa agar tidak menyesatkan jalannya persidangan.
Kesaksian yang simpang-siur ini tidak perlu muncul jika Komisi Pemberantasan Korupsi dulu cepat tanggap dan mengungkap tuntas sebuah fakta penting. Yaitu, ada bukti surat penawaran harga dari PT Royal Standard yang ditujukan kepada Hamid sebelum perusahaan ini ditunjuk sebagai pencetak segel. Kalau ada yang mencurigakan dari sederet kesaksian yang ada, KPK bisa segera menetapkan Hamid sebagai tersangka. Buat melengkapi bukti, KPK bisa melakukan penggeledahan, juga penyadapan. Bahkan, komisi ini bisa meminta Presiden memberhentikan sementara sang Menteri jika jabatannya mempersulit pemeriksaan.
Duet pemimpin negara ini, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, tak perlu mati-matian melindungi Hamid. Mereka yang waras tak akan bertepuk tangan jika seorang menteri tak bersalah masuk penjara. Bahkan kalau menteri yang bersalah pun masuk penjara, kita pantas bersedih untuknya. Memberhentikan sementara seorang menteri, walaupun baru diduga terlibat korupsi, justru akan menunjukkan keseriusan pemerintah membersihkan diri sendiri. Ini rapor yang baik di mata publik.
Dengan cara seperti itu, ketidaktegasan dalam mene-gakkan hukum bisa dihindari. Sikap ragu-ragu akan mem-berikan kesan pemerintah kurang sungguh-sungguh melaksanakan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi-. Pemerintah juga bisa dinilai tidak sungguh-sungguh me-nerapkan Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi.
Langkah tegas itu bisa dimulai dengan menuntaskan kasus yang sudah terpapar di muka publik seperti korupsi segel sampul surat suara ini. Kalau terus mendua, kelak pemerintahan ini akan selalu dipertanyakan: siapa yang -sebenarnya berbohong di pengadilan, Daan, beberapa saksi, ataukah Menteri Hamid?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo