Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAU mau menghukum Persija Jakarta, Gubernur Sutiyoso sebagai pembina utama klub sepak bola Ibu Kota itu seharusnya memilih cara lain. Mungkin dia bisa mengurangi dana subsidi untuk Persija, yang tahun ini gagal masuk semifinal kompetisi Liga ”Djarum” Indonesia. Tapi Sutiyoso tidak bisa begitu saja merobohkan Stadion Menteng, yang selama ini menjadi ”rumah” klub yang membela nama Jakarta itu.
Penggusuran stadion yang dulu dikenal sebagai Viosveld itu berpotensi melanggar Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nomor 3 Tahun 2005. Aturan hukum itu melarang orang mengalihfungsikan prasarana olahraga milik pusat atau daerah tanpa rekomendasi Menteri (Pemuda dan Olahraga) dan tanpa izin yang berwenang sesuai dengan undang-undang.
Soalnya terletak pada kata ”rekomendasi” dalam undang-undang itu. Pihak Persija berpendapat rekomendasi itu sifatnya ”wajib”. Artinya, sebelum rekomendasi menteri turun, stadion tak bisa dibongkar. Tapi Pemerintah DKI berpendapat sebaliknya.
Untuk menguatkan posisi, pihak DKI sudah siap dengan argumen bahwa yang terjadi bukan alih fungsi seperti yang dilarang undang-undang, melainkan penambahan fungsi olahraga. Pembangunan lapangan futsal, jogging track, dan selasar serbaguna untuk berbagai cabang olahraga—selain taman kota—boleh dibilang cara lihai Pemerintah DKI berkelit dari tudingan pelanggaran undang-undang.
Adu pendapat hukum begini banyak gunanya jika stadion belum diruntuhkan. Dialog antara Gubernur Sutiyoso dan Menteri Olahraga Adhyaksa Dault pekan ini, yang direncanakan akan berlangsung di kantor Wakil Presiden, menurut kami terlambat dilakukan. Stadion Menteng sudah jadi bangkai.
Mereka yang masih ingin mempertahankan Stadion Menteng masih bisa menyoal surat keputusan Gubernur DKI yang dikeluarkan pada tahun 1975, yang menetapkan kawasan stadion itu sebagai kawasan pemugaran yang tak boleh dibongkar. Tentu perlu waktu, tenaga, bahkan dana, tapi seharusnya ada yang melakukan pembelaan pada ba-ngunan bersejarah itu.
Kalau pembelaan tidak kunjung datang, dari masyarakat ataupun birokrasi pemerintah, kita memang harus mengubur Stadion Menteng dalam ingatan. Ensiklopedia gratis di Internet, Wikipedia, juga perlu disarankan menambah kata ”telah digusur” pada profil ”Menteng Stadium” yang tersimpan dalam database mereka.
Banyak yang akan merasa kehilangan. Anjas Asmara, Iswadi Idris, dan banyak pemain nasional yang pernah ”berumah” di Menteng, mungkin menangis, tapi siapa yang peduli? Jakarta tidak merasa perlu memiliki banyak stadion olahraga, padahal Singapura yang begitu sempit saja punya 18 stadion olahraga. Jakarta seperti terganggu punya stadion yang begitu bersejarah, padahal Madrid, Roma, London justru menjadikan stadion-stadionnya kebanggaan kota.
Memperluas taman kota bukan ide tercela, tapi menggusur stadion untuk keperluan itu terasa absurd. Mengapa tidak merelakan satu-dua pusat belanja yang jumlahnya luar biasa banyak di Jakarta? Kalau satu per satu stadion pergi tanpa ganti, prestasi olahraga pasti juga sepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo