Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI politik rupanya masih berkutat pada soal jegal-menjegal calon pemimpin seterunya ketimbang menyehatkan iklim demokrasi. Siasat ini makin nyata ketika Komisi Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat hendak mengubah syarat jumlah minimal dukungan bagi calon kepala daerah dari jalur perseorangan. Komisi sudah merancang perubahan syarat itu lewat revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Padahal Mahkamah Konstitusi baru saja mengoreksi peraturan tentang ketentuan calon perseorangan atau calon independen. Kandidat dinyatakan sah jika mampu mengumpulkan kartu tanda penduduk 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap pemilihan umum sebelumnya—bukan dari jumlah penduduk saat ini. Untuk Gubernur DKI Jakarta, misalnya, calon harus didukung sedikitnya 525 ribu penduduk atau 7,5 persen dari 7 juta pemilih terdaftar.
Keputusan Mahkamah yang final dan mengikat ini rasanya sudah cukup adil. Ruang bagi masuknya calon independen tak dipersempit, tapi tidak pula digampangkan. Dengan kata lain, Komisi Dalam Negeri DPR tak perlu lagi repot-repot mengotak-atik persentase persyaratan itu dengan menyodorkan dua opsi kenaikan tanpa pertimbangan saksama. Bagi calon seperti Basuki Tjahaja Purnama, yang mengklaim punya sejuta pendukung, opsi kenaikan itu mungkin tak jadi soal. Namun, bagi calon gubernur, bupati, atau wali kota lain, skema versi legislator di Senayan ini rasanya sangat berat dipenuhi.
Menjadi calon independen bukanlah perkara mudah. Langkah awal berupa pengumpulan KTP pendukung butuh biaya besar. Seorang calon Wali Kota Kupang, misalnya, yang harus diusung 50 ribu orang, perlu biaya Rp 300 juta hanya untuk ongkos meterai. Belum lagi biaya mengunjungi para calon pendukung dan mengecek data mereka. Biaya itu akan membengkak bila syarat sah sebagai kandidat diperbesar. Di luar soal biaya, hak politik rakyat untuk mengajukan diri atau memilih calon di luar jalur partai kudu diberi ruang.
Partai politik seharusnya tak usah galau oleh tampilnya calon independen. Elite politik semestinya melakukan introspeksi mengapa partainya gagal mengusung kandidat yang kuat di hati rakyat. Mereka juga harus mampu berkaca mengapa di beberapa daerah pasangan yang dijagokan partai malah keok melawan calon perseorangan. Patut disayangkan kalau partai batal menggaet figur populer dan berkualitas hanya lantaran mereka terbentur politik transaksional yang bejat: wajib setor uang mahar.
Munculnya relawan pendukung calon independen menunjukkan rakyat makin melek politik. Mereka sukarela membantu, termasuk mencarikan dana politik yang akuntabel buat kandidat pasangan calon kepala daerah. Pada saat bersamaan, citra partai politik justru terpuruk. Korupsi menggerogoti partai dan puluhan kadernya sehingga mereka diganjar penjara. Survei lembaga pemeringkat Populi Center, Januari lalu, menyimpulkan hanya 12,5 persen responden yang percaya kepada partai politik.
Pemerintah seharusnya menolak peraturan yang diskenariokan politikus di Senayan ini. Biarkan para calon bersaing secara sehat meski memilih di luar jalur partai tanpa harus dihambat dengan persyaratan ketat. Kalau partai ingin merebut hati rakyat, hentikan cara-cara tak terpuji dalam menggaet calon kepala daerah. Bertarunglah dengan cara memilih tokoh bersih dan mengakar, bukan sekadar calon yang diusung hanya karena pundi-pundinya menggunung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo