Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah benar sikap tegas Menteri Dalam Negeri dalam menindaklanjuti kasus tertangkapnya Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Nofiadi, yang terbukti memakai narkotik. Setelah Nofiadi ditangkap pada Ahad malam, Rabu pekan lalu Menteri Tjahjo Kumolo menandatangani surat pemecatannya.
Nofiadi punya banyak rekor. Ia bupati termuda dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember tahun lalu. Kader Golkar yang juga diusung PDI Perjuangan, Hanura, PPP, dan PKS ini masih berumur 28 tahun. Ia kaya. Harta yang dilaporkannya mencapai Rp 20 miliar lebih. Hartanya antara lain 10 mobil Mercedes-Benz, Jeep Wrangler, Range Rover, dan Honda CR-V. Kini ia punya rekor baru: bupati dengan masa jabatan terpendek, dilantik pada 17 Februari dan dicopot 16 Maret.
Pemeriksaan dan tes oleh Badan Narkotika Nasional menemukan Nofiadi sudah lama terjerat narkotik, jauh sebelum ia mencalonkan diri. Bahkan ada yang menyebut dia sudah jadi pecandu saat masih kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Ciri-ciri itu terlihat dari keadaan giginya yang rusak. Pertanyaannya, mengapa dia bisa lolos tes kesehatan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum Ogan Ilir.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang dipakai sebagai rujukan pada pemilihan kepala daerah serentak tahun lalu memang tak secara eksplisit mencantumkan calon bupati dan wakilnya harus bebas narkotik. Pasal 7 ayat f undang-undang itu hanya menyebutkan "mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter".
Tidak ada penjelasan apa pun terhadap pasal itu. Namun asumsi yang dilakukan oleh KPU di daerah-daerah lain, kata "menyeluruh" termasuk soal bebas narkotik. Apakah KPU Ogan Ilir memastikan ada hasil pemeriksaan tim dokter yang memasukkan unsur narkotik kepada Nofiadi?
Pada saat Nofiadi mencalonkan diri, ayahnya, yaitu H Mawardi Yahya, adalah bupati yang sedang menjabat. Bisa jadi tes kesehatan yang dilakukan kepada Nofiadi hanya basa-basi. Ini harus diusut tuntas kenapa sampai ada calon bupati pemakai narkotik bisa lolos.
Saat ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 akan segera direvisi untuk dipakai dalam pemilihan kepala daerah serentak pada 2017. Ketimbang DPR bernafsu memperberat persyaratan calon perorangan, lebih baik soal kesehatan calon itu dirinci lebih jelas. Narkotik yang kini jadi musuh bersama dan merambah ke mana-mana, termasuk ke Senayan, perlu dicantumkan dalam undang-undang hasil revisi itu.
Sulit membayangkan seorang bupati dan gubernur mengambil keputusan dalam keadaan sakaw karena narkotik. Ada saksi yang melihat Nofiadi gemetar tangannya tatkala bertugas sebagai bupati. Dia pecandu berat, dua kali seminggu mengisap sabu-sabu yang dipasok seorang pegawai negeri sipil. BNN tengah menyelidiki apakah "bupati narkoba" ini sekadar pemakai atau ikut sebagai pengedar.
Sudah tepat, sanksi untuk pejabat publik pemakai narkotik harus berat. Bahkan, jika pun nanti sembuh dari rehabilitasi—kalau betul cuma pemakai—harus tetap tertutup kemungkinan mereka kembali menjadi pejabat publik. Sikap tegas Menteri Tjahjo Kumolo harus diapresiasi, termasuk diberikannya izin kepada BNN untuk menyelenggarakan tes urine kepada semua pejabat sipil di daerah. Ini berbeda dengan sikap pimpinan DPR, yang masih terbelah dan ada yang tak setuju jika semua anggota parlemen dites urinenya.
Negeri ini sudah darurat narkotik, saatnya kita satu kata untuk melawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo