Setelah membaca tulisan "Balada Bejo dan Babi" (TEMPO, 5 Oktober 1991, Pendidikan), saya menjadi prihatin atas tingkah laku rekan mahasiswa terhadap bapak-bapak pejabat negara. Ini memalukan, apalagi kalau dilihat bahwa mereka yang hadir adalah mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia, kaum intelektual dan calon pemimpin, tapi sayang tindakan mereka terlihat kurang mumpuni. Kita memang mengakui, dalam hati nurani sebagian mahasiswa, pasti tersimpan rasa kurang "sejalan" dengan kebijaksanaan birokrasi Pemerintah. Tapi jika unek-unek itu dilampiaskan secara emosional dan kurang wajar, itu akan mengaburkan kesan mahasiswa sebagai pembela kebenaran-keadilan, dan mengarah ke tindakan vulgar. Mahasiswa sebenarnya tidak dididik untuk bersikap "akulah yang benar", arogan, atau memonopoli kebenaran, tapi mereka dituntut untuk menyalurkan aspirasi akademik, sosial, dan politik secara terarah dan benar. Amat berbahaya jika emosi ditonjolkan. Ia akan mengaburkan akal sehat sehingga sosok mahasiswa akan semakin hilang berubah menjadi jiwa kekanak-kanakan dan liar. ARIF JULIANTO SRI N. Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini