Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Soekarno-Hatta Antara Mitos Dan ...

Kerja sama dwitunggal sukarno-hatta diakhiri dengan perselisihan dan perbedaan pendapat antara sukarno & hatta-syahrir. sekarang dwitunggal dihidupkan kembali melalui nama jalan, kota dan bandara.

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sujatmiko Pujomartono, 47 tahun, bekas guru sejarah dan kini bekerja pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia Jakarta. Tulisannya ini kami muat, di tengah suasana "rindu Bung Karno-Bung Hatta" dewasa ini. -- Redaksi. TENGAH hari tanggal 9 Juli 1942. Sebuah perahu motor panjang 8 meter bermesin cartepillar memasuki pelabuhan Pasar Ikan Jakarta. Penumpangnya Soekarno, Inggit dan anak angkatnya. Mereka dikawal seorang kapten dan dua orang prajurit Jepang. Hari itu Soekarno kembali ke Jakarta, setelah 9 tahun dalam pembuangan di Bengkulu. Satu jam kemudian Hatta yang telah beberapa bulan lebih dulu ada di Jakarta, datang menjemput. Untuk sementara keluarga Soekarno menginap di rumah Hatta di Jalan Diponegoro. Malam harinya diadakan perundingan antara Soekarno, Hatta dan Syahrir mengenai siasat perjuangan kemerdekaan, serta caranya menghadapi tentara pendudukan Jepang. Mereka bersepakat Soekarno-Hatta akan bekerja sama dengan Jepang, sedangkan Syahrir bergerak di bawah tanah. Demikianlah menurut otobiografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams. Dalam otobiografi itu pula Soekarno mengatakan bahwa sejak pertemuan itu terjalin kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. Sambil berjabat tangan keduanya berjanji: "inilah janji kita sebagai dwitunggal. Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan terpecah hingga negeri ini mencapai kemerdekaannya." Pertemuan ini adalah perjumpaan mereka kembali sesudah berpisah 9 tahun lamanya. Sembilan tahun yang lalu, pertemuan semacam itu terjadi di Bandung, tetapi diakhiri dengan perselisihan dan perbedaan pendapat antara Soekarno dengan Hatta-Syahrir. Perselisihan mereka bermula dari perbedaan paham tentang asas perjuangan dalam mencapai kemerdekaan. Tatkala. Soekarno dan kawan-kawannya ditangkap tahun 1929, Sartono membubarkan PNI dan mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Hatta melancarkan kritik terhadap Partindo. Menurut Hatta membentuk partai baru saja tidaklah memecahkan persoalan. Untuk menghadapi bahaya harus ditempuh jalan yang berbeda, yaitu dengan mendidik sejumlah besar pemimpin, sehingga penahanan pemimpin tidak akan menghancurkan partai. Hatta sekembalinya dari negeri Belanda memilih bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia-nya Syahrir. Menurut Hatta yang harus didahulukan bukannya mengobarkan semangat rakyat, tetapi mendidik kader-kader, yang selanjutnya akan mendidik rakyat -- sehingga rakyat tahu akan hak dan harga dirinya. Kata Hatta: "Selama ini rakyat hanya menyerahkan saja nasibnya kepada pemimpin, dan segala keputusan dari pemimpin diterima saja dengan besar hati. Sebab itu di dalam riwayat PNI lama terdapat satu lakon sedih: pemimpin jadi tukang lawak di atas podium, rakyat yang menonton jadi tukang sorak." Hatta tidak menganggap penting dukungan dan tindakan massa rakyat. Dia lebih mementingkan organisasi. Sedangkan bagi Soekarno, yang penting bukan partai tetapi gerakan rakyat. Baginya politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending -- pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan. "Mendidik rakyat supaya cerdas akan memedukan waktu bertahun-tahun, jalan yang akan ditempuh Hatta baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat," katanya. Dua tokoh ini memang berbeda. Berkomentar tentang Hatta, pada tahun 30-an Soekarno berkata: "Ah, susah orangnya. Kami tak pernah sependapat mengenai sesuatu persoalan. Hatta dan aku tak pernah berada dalam getaran gelombang yang sama." Yang Analitis dan Yang Emosional Perbedaan antara Soekarno dengan Hatta tidak saja dalam prinsip asas perjuangan. Juga pribadi dan latar belakang mereka berbeda. Hatta seorang moderat yang tenang, analistis, saksama dan tidak mudah dipengaruhi perasaan. Pendidikannya di Eropa mendekatkan pandangannya kepada demokrasi Barat. Dia tidak dapat menggerakkan massa rakyat dan barangkali akan merasa berdosa kalau memainkan emosi massa dengan retorik. Sebaliknya Soekarno adalah orang yang emosional, gampang di pengaruhi keadaan. Kata-kata dan ide baginya adalah alat untuk menggerakkan semangat, yang dipergunakannya untuk menjalankan aksi massa menentang kapitalisme dan imperialisme. Setelah gagal mempersatukan Partindo dengan PNI baru, Soekarno masuk Partindo. Tanggal 31 Juli 1933 dia ditangkap untuk kedua kalinya. Ketika dia akan dibuang dan mengajukan permintaan maaf kepada pemerintah Hindia Belanda, serta menyatakan diri keluar dari Partindo, Hatta menulis artikel di Daulat Rakyat tanggal 30 Nopember 1933 berjudul "Tragedi Soekarno". Dengan kata-kata sedih menyengat Hatta berkata: "Belum sepuluh bulan berselang ia menampar dada dan menyebutkan tuah sambil berkata, bahwa non-cooperation menolak kerjasama dengan kaum pertuanan di atas segala lapangan dan menuntut adanya perjuangan yang tak kenal damai, suatu onverbiddelijke strijd dengan kaum pertuanan itu. Sekarang ia sendiri yang menempuh jalan damai dan tunduk. Adakah kesedihan yang lebih sedih daripada itu ..? Soekarno bakal lenyap dari kalangan rakyat." Soekarno dibuang ke Endeh, Flores dan selanjutnya dipindahkan ke Bengkulu. Menyusul kemudian Hatta dan Syahrir ditangkap dan dibuang ke Digul, dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir, sesaat sebelum Jepang mendarat di Indonesia, dipindahkan ke Sukabumi. Tentara pendudukan Jepang mempersatukan mereka sembilan tahun kemudian. Sejak itu mereka berjuang bahu membahu, bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang. Bersama-sama mereka memimpin Putera, Jawa Hokokai, ke Tokyo -- dan menerima Bintang Ratna Suci dari Tenno Heika. Bersama pula mereka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, dan para tanggal 17 Agustus 145 memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Selama revolusi kemerdekaan, Dwitunggal Soekarno-Hatta telah tumbuh menjadi mitos yang identik dengan perjuangan kemerdekaan serta persatuan Indonesia. Peranan dan kesaktian dwitunggal kelihatan menonjol di saat revolusi dan persatuan Indonesia dalam keadan kritis:  Menjelang proklamasi terdapat berbagai pendapat yang berbeda mengenai waktu dan caranya. Perbedaan telah memuncak menjadi pertentangan penuh ketegangan. Tetapi semua golongan harus menerima dan mengakui satu kenyataan: hanya Soekarno-Hatta yang dapat melakukan proklamasi atas nama bangsa Indonesia.  Dalam "peristiwa 3 Juli 1946" revolusi Indonesia berada dalam titik kritis yang membahayakan kesatuan bangsa. Perdana Menteri Syahrir diculik dan kelompok Tan Malaka berusaha melakukan kudeta. Untuk kedua kalinya pengaruh dan kewibawaan dwitunggal dapat menyelamatkan bangsa Indonesia dari perpecahan.  Pada sidang KNIP di Malang bulan Maret 1947 terjadi konflik antara pemerintah dengan KNIP. KNIP menolak meratifikasi perjanjian Linggajati. Juga keputusan Presiden yang menambah jumlah anggota KNIP dari 200 orang menjadi 514 orang mendapat tantangan keras. Wakil Presiden Hatta dalam suatu pidato penuh emosi mengancam, Soekarno-Hatta akan meletakkan jabatan kalau KNIP tetap menolak. KNIP menyerah. Dwitunggal Soekarno-Hatta masih mutlak diperlukan untuk memimpin Republik Indonesia.  Kesaktian dwitunggal sebagai pemersatu bangsa juga mendapat ujian ketika PKI melakukan pemberontakan Madiun September 1948. Rakyat harus memilih. Mereka memilih Soekarno-Hatta. Dwitunggal sudah menjadi suatu mitos yang mempengaruhi jalan pikiran bangsa kita. Dalam alam pikiran rakyat, segala kesulitan akan dapat diatasi selama dwitunggal itu berada di atas pucuk pimpinan negara. Karena itu ketika terjadi pemberontakan PRRI/Permesta ada permintaan agar dwitunggal kembali guna mempersatukan bangsa. Kerjasama dan Kecurigaan Tetapi bagaimana kenyataannya? Perbedaan dan pertentangan antara Soekarno dengan Hatta dan Syahrir tahun 1932 tetap saja mewarnai kerjasama mereka dalam tahun-tahun perjuangan kemerdekaan. Suatu jalinan hubungan kerjasama bercampur kecurigaan, suatu hubungan antara dua pendirian yang berbeda satu sama lain yang diliputi suasana tegang. Mengenai proklamasi, dalam otobiografinya Soekarno mengecilkan arti dan peranan Hatta. Kata Soekarno: "Peranannya yang tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah tidak ada." Di masa revolusi, pertentangan dan perbedaan itu mulai tampak hanya 8 minggu setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Syahrir dengan mendapat dukungan penuh dari Hatta telah memojokkan kekuasaan Soekarno. Tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X yang memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP. Juga dibentuk Badan Pekerja untuk menjalankan tugas KNIP sehari-hari. Soekarno sedang di luar kota Jakarta waktu itu. Peristiwa ini merupakan permulaan berakhirnya "kekuasaan absolut" Soekarno. Sebab Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 yang ditandatangani Hatta, tentang diizinkannya mendirikan partai-partai politik, makin menjauhkan sistem pemerintahan dari sistem demokrasi yang diinginkan Soekarno. Langkah selanjutnya, pertengahan Nopember 1945, Badan Pekerja KNIP mengusulkan pembentukan kabinet yang bertanggung jawab kepada KNIP. Saat itu Soekarno tidak ada di Jakarta. Hatta menyetujui usul itu dan meminta Syahrir membentuk kabinet. Kabinet lama menolak keputusan tersebut. Selama satu dua hari Republik Indonesia mempunyai dua kelompok menteri yang masing-masing mengaku sebagai pemerintah yang resmi. Soekarno diminta keputusannya. Soekarno menerima dan menyetujui Kabinet Syahrir . . . Dalam waktu hanya 4 minggu Syahrir dengan dukungan Hatta telah menurunkan Soekarno dari seorang presiden yang punya kekuasaan absolut menjadi presiden pajangan saja. Soekarno membiarkan perubahan kekuasaan dan hancurnya cita-citanya tanpa perlawanan, karena keadaan yang amat kritis terhadap dirinya. Ada ancaman ia ditangkap Sekutu sebagai kolaborator Jepang. Belanda juga tidak mau berunding dengan dia. Soekarno mungkin juga menyadari adanya golongan lain yang ingin menyingkirkannya sama sekali dari jabatan presiden. Syahrir bagaimanapun juga masih tetap menghendaki dia sebagai presiden. Semua pihak waktu itu sepakat: yang harus didahulukan adalah keselamatan Republik Indonesia. Selama empat tahun perang kemerdekaan peranan terpenting baik sebagai administrator maupun negotiator dikuasai sepenuhnya oleh Hatta dan Syahrir. Pada waktu Konperensi Meja Bundar tahun 1949, Hatta mewakili R.I. dan dengan terbentuknya RIS Hatta memegang kekuasaan penuh sebagai Perdana Menteri. Sesudah kembali ke negara kesatuan tahun 1950, walupun Soekarno, Hatta tetap menjadi presiden dan wakil presiden, hubungan antara keduanya sudah merenggang. Seperti dikatakan oleh Hatta, mulai saat itu tamatlah pada hakekatnya sejarah dwitunggal dalam politik Indonesia. Pengaruh Hatta berangsur-angsur surut sedangkan kekuasaan Soekarno bertambah besar. Dengan Manifesto Politik 1959, Soekarno kembali memegang tampuk pemerintahan dengan kekuasaan tak terbatas. Dalam risalahnya, Demokrasi Kita, Hatta memberikan penilaian: "Bagi saya yang sudah lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan." Tanggal 1 Desember 1956 Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Sekarang banyak suara yang ingin menghidupkan kembali nama dwitunggal Soekarno-Hatta. Diusulkan diabadikan untuk nama jalan, nama kota, nama lapangan terbang. Sebuah Yayasan Soekarno-Hatta juga telah dibentuk. Mengapa mereka menginginkan semua itu? Adakah ini sekedar penghargaan, ataukah pertanda suatu kerinduan kepada bentuk kepemimpinan mereka?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus