Sujatmiko Pujomartono, 47 tahun, bekas guru sejarah dan kini
bekerja pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia, Yayasan
Tenaga Kerja Indonesia Jakarta. Tulisannya ini kami muat, di
tengah suasana "rindu Bung Karno-Bung Hatta" dewasa ini. --
Redaksi.
TENGAH hari tanggal 9 Juli 1942.
Sebuah perahu motor panjang 8 meter bermesin cartepillar
memasuki pelabuhan Pasar Ikan Jakarta. Penumpangnya Soekarno,
Inggit dan anak angkatnya. Mereka dikawal seorang kapten dan dua
orang prajurit Jepang.
Hari itu Soekarno kembali ke Jakarta, setelah 9 tahun dalam
pembuangan di Bengkulu. Satu jam kemudian Hatta yang telah
beberapa bulan lebih dulu ada di Jakarta, datang menjemput.
Untuk sementara keluarga Soekarno menginap di rumah Hatta di
Jalan Diponegoro. Malam harinya diadakan perundingan antara
Soekarno, Hatta dan Syahrir mengenai siasat perjuangan
kemerdekaan, serta caranya menghadapi tentara pendudukan Jepang.
Mereka bersepakat Soekarno-Hatta akan bekerja sama dengan
Jepang, sedangkan Syahrir bergerak di bawah tanah. Demikianlah
menurut otobiografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams.
Dalam otobiografi itu pula Soekarno mengatakan bahwa sejak
pertemuan itu terjalin kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta.
Sambil berjabat tangan keduanya berjanji: "inilah janji kita
sebagai dwitunggal. Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja
berdampingan dan tidak akan terpecah hingga negeri ini mencapai
kemerdekaannya."
Pertemuan ini adalah perjumpaan mereka kembali sesudah berpisah
9 tahun lamanya.
Sembilan tahun yang lalu, pertemuan semacam itu terjadi di
Bandung, tetapi diakhiri dengan perselisihan dan perbedaan
pendapat antara Soekarno dengan Hatta-Syahrir.
Perselisihan mereka bermula dari perbedaan paham tentang asas
perjuangan dalam mencapai kemerdekaan. Tatkala. Soekarno dan
kawan-kawannya ditangkap tahun 1929, Sartono membubarkan PNI dan
mendirikan Partai Indonesia (Partindo).
Hatta melancarkan kritik terhadap Partindo. Menurut Hatta
membentuk partai baru saja tidaklah memecahkan persoalan. Untuk
menghadapi bahaya harus ditempuh jalan yang berbeda, yaitu
dengan mendidik sejumlah besar pemimpin, sehingga penahanan
pemimpin tidak akan menghancurkan partai.
Hatta sekembalinya dari negeri Belanda memilih bergabung dengan
Pendidikan Nasional Indonesia-nya Syahrir. Menurut Hatta yang
harus didahulukan bukannya mengobarkan semangat rakyat, tetapi
mendidik kader-kader, yang selanjutnya akan mendidik rakyat --
sehingga rakyat tahu akan hak dan harga dirinya.
Kata Hatta: "Selama ini rakyat hanya menyerahkan saja nasibnya
kepada pemimpin, dan segala keputusan dari pemimpin diterima
saja dengan besar hati. Sebab itu di dalam riwayat PNI lama
terdapat satu lakon sedih: pemimpin jadi tukang lawak di atas
podium, rakyat yang menonton jadi tukang sorak."
Hatta tidak menganggap penting dukungan dan tindakan massa
rakyat. Dia lebih mementingkan organisasi. Sedangkan bagi
Soekarno, yang penting bukan partai tetapi gerakan rakyat.
Baginya politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending --
pembentukan kekuatan dan pemakaian kekuatan. "Mendidik rakyat
supaya cerdas akan memedukan waktu bertahun-tahun, jalan yang
akan ditempuh Hatta baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat,"
katanya.
Dua tokoh ini memang berbeda. Berkomentar tentang Hatta, pada
tahun 30-an Soekarno berkata: "Ah, susah orangnya. Kami tak
pernah sependapat mengenai sesuatu persoalan. Hatta dan aku tak
pernah berada dalam getaran gelombang yang sama."
Yang Analitis dan Yang Emosional
Perbedaan antara Soekarno dengan Hatta tidak saja dalam prinsip
asas perjuangan. Juga pribadi dan latar belakang mereka berbeda.
Hatta seorang moderat yang tenang, analistis, saksama dan tidak
mudah dipengaruhi perasaan. Pendidikannya di Eropa mendekatkan
pandangannya kepada demokrasi Barat. Dia tidak dapat
menggerakkan massa rakyat dan barangkali akan merasa berdosa
kalau memainkan emosi massa dengan retorik.
Sebaliknya Soekarno adalah orang yang emosional, gampang di
pengaruhi keadaan. Kata-kata dan ide baginya adalah alat untuk
menggerakkan semangat, yang dipergunakannya untuk menjalankan
aksi massa menentang kapitalisme dan imperialisme.
Setelah gagal mempersatukan Partindo dengan PNI baru, Soekarno
masuk Partindo. Tanggal 31 Juli 1933 dia ditangkap untuk kedua
kalinya. Ketika dia akan dibuang dan mengajukan permintaan maaf
kepada pemerintah Hindia Belanda, serta menyatakan diri keluar
dari Partindo, Hatta menulis artikel di Daulat Rakyat tanggal 30
Nopember 1933 berjudul "Tragedi Soekarno".
Dengan kata-kata sedih menyengat Hatta berkata: "Belum sepuluh
bulan berselang ia menampar dada dan menyebutkan tuah sambil
berkata, bahwa non-cooperation menolak kerjasama dengan kaum
pertuanan di atas segala lapangan dan menuntut adanya perjuangan
yang tak kenal damai, suatu onverbiddelijke strijd dengan kaum
pertuanan itu. Sekarang ia sendiri yang menempuh jalan damai dan
tunduk. Adakah kesedihan yang lebih sedih daripada itu ..?
Soekarno bakal lenyap dari kalangan rakyat."
Soekarno dibuang ke Endeh, Flores dan selanjutnya dipindahkan ke
Bengkulu. Menyusul kemudian Hatta dan Syahrir ditangkap dan
dibuang ke Digul, dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir,
sesaat sebelum Jepang mendarat di Indonesia, dipindahkan ke
Sukabumi.
Tentara pendudukan Jepang mempersatukan mereka sembilan tahun
kemudian. Sejak itu mereka berjuang bahu membahu, bekerja sama
dengan pemerintah pendudukan Jepang. Bersama-sama mereka
memimpin Putera, Jawa Hokokai, ke Tokyo -- dan menerima Bintang
Ratna Suci dari Tenno Heika. Bersama pula mereka mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia, dan para tanggal 17 Agustus 145
memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.
Selama revolusi kemerdekaan, Dwitunggal Soekarno-Hatta telah
tumbuh menjadi mitos yang identik dengan perjuangan kemerdekaan
serta persatuan Indonesia. Peranan dan kesaktian dwitunggal
kelihatan menonjol di saat revolusi dan persatuan Indonesia
dalam keadan kritis:
Menjelang proklamasi terdapat berbagai pendapat yang berbeda
mengenai waktu dan caranya. Perbedaan telah memuncak menjadi
pertentangan penuh ketegangan. Tetapi semua golongan harus
menerima dan mengakui satu kenyataan: hanya Soekarno-Hatta yang
dapat melakukan proklamasi atas nama bangsa Indonesia.
Dalam "peristiwa 3 Juli 1946" revolusi Indonesia berada dalam
titik kritis yang membahayakan kesatuan bangsa. Perdana Menteri
Syahrir diculik dan kelompok Tan Malaka berusaha melakukan
kudeta. Untuk kedua kalinya pengaruh dan kewibawaan dwitunggal
dapat menyelamatkan bangsa Indonesia dari perpecahan.
Pada sidang KNIP di Malang bulan Maret 1947 terjadi konflik
antara pemerintah dengan KNIP. KNIP menolak meratifikasi
perjanjian Linggajati. Juga keputusan Presiden yang menambah
jumlah anggota KNIP dari 200 orang menjadi 514 orang mendapat
tantangan keras. Wakil Presiden Hatta dalam suatu pidato penuh
emosi mengancam, Soekarno-Hatta akan meletakkan jabatan kalau
KNIP tetap menolak. KNIP menyerah. Dwitunggal Soekarno-Hatta
masih mutlak diperlukan untuk memimpin Republik Indonesia.
Kesaktian dwitunggal sebagai pemersatu bangsa juga mendapat
ujian ketika PKI melakukan pemberontakan Madiun September 1948.
Rakyat harus memilih. Mereka memilih Soekarno-Hatta.
Dwitunggal sudah menjadi suatu mitos yang mempengaruhi jalan
pikiran bangsa kita. Dalam alam pikiran rakyat, segala kesulitan
akan dapat diatasi selama dwitunggal itu berada di atas pucuk
pimpinan negara. Karena itu ketika terjadi pemberontakan
PRRI/Permesta ada permintaan agar dwitunggal kembali guna
mempersatukan bangsa.
Kerjasama dan Kecurigaan
Tetapi bagaimana kenyataannya?
Perbedaan dan pertentangan antara Soekarno dengan Hatta dan
Syahrir tahun 1932 tetap saja mewarnai kerjasama mereka dalam
tahun-tahun perjuangan kemerdekaan. Suatu jalinan hubungan
kerjasama bercampur kecurigaan, suatu hubungan antara dua
pendirian yang berbeda satu sama lain yang diliputi suasana
tegang.
Mengenai proklamasi, dalam otobiografinya Soekarno mengecilkan
arti dan peranan Hatta. Kata Soekarno: "Peranannya yang
tersendiri selama masa perjuangan kami tidak ada. Hanya
Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Di dalam dua hari
yang memecahkan urat syaraf itu maka peranan Hatta dalam sejarah
tidak ada."
Di masa revolusi, pertentangan dan perbedaan itu mulai tampak
hanya 8 minggu setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Syahrir dengan mendapat dukungan penuh dari Hatta telah
memojokkan kekuasaan Soekarno.
Tanggal 16 Oktober 1945 dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No.
X yang memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP. Juga
dibentuk Badan Pekerja untuk menjalankan tugas KNIP sehari-hari.
Soekarno sedang di luar kota Jakarta waktu itu.
Peristiwa ini merupakan permulaan berakhirnya "kekuasaan
absolut" Soekarno. Sebab Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember
1945 yang ditandatangani Hatta, tentang diizinkannya mendirikan
partai-partai politik, makin menjauhkan sistem pemerintahan dari
sistem demokrasi yang diinginkan Soekarno.
Langkah selanjutnya, pertengahan Nopember 1945, Badan Pekerja
KNIP mengusulkan pembentukan kabinet yang bertanggung jawab
kepada KNIP. Saat itu Soekarno tidak ada di Jakarta. Hatta
menyetujui usul itu dan meminta Syahrir membentuk kabinet.
Kabinet lama menolak keputusan tersebut.
Selama satu dua hari Republik Indonesia mempunyai dua kelompok
menteri yang masing-masing mengaku sebagai pemerintah yang
resmi. Soekarno diminta keputusannya. Soekarno menerima dan
menyetujui Kabinet Syahrir . . .
Dalam waktu hanya 4 minggu Syahrir dengan dukungan Hatta telah
menurunkan Soekarno dari seorang presiden yang punya kekuasaan
absolut menjadi presiden pajangan saja. Soekarno membiarkan
perubahan kekuasaan dan hancurnya cita-citanya tanpa perlawanan,
karena keadaan yang amat kritis terhadap dirinya.
Ada ancaman ia ditangkap Sekutu sebagai kolaborator Jepang.
Belanda juga tidak mau berunding dengan dia. Soekarno mungkin
juga menyadari adanya golongan lain yang ingin menyingkirkannya
sama sekali dari jabatan presiden. Syahrir bagaimanapun juga
masih tetap menghendaki dia sebagai presiden. Semua pihak waktu
itu sepakat: yang harus didahulukan adalah keselamatan Republik
Indonesia.
Selama empat tahun perang kemerdekaan peranan terpenting baik
sebagai administrator maupun negotiator dikuasai sepenuhnya oleh
Hatta dan Syahrir. Pada waktu Konperensi Meja Bundar tahun 1949,
Hatta mewakili R.I. dan dengan terbentuknya RIS Hatta memegang
kekuasaan penuh sebagai Perdana Menteri.
Sesudah kembali ke negara kesatuan tahun 1950, walupun Soekarno,
Hatta tetap menjadi presiden dan wakil presiden, hubungan antara
keduanya sudah merenggang. Seperti dikatakan oleh Hatta, mulai
saat itu tamatlah pada hakekatnya sejarah dwitunggal dalam
politik Indonesia. Pengaruh Hatta berangsur-angsur surut
sedangkan kekuasaan Soekarno bertambah besar. Dengan Manifesto
Politik 1959, Soekarno kembali memegang tampuk pemerintahan
dengan kekuasaan tak terbatas.
Dalam risalahnya, Demokrasi Kita, Hatta memberikan penilaian:
"Bagi saya yang sudah lama bertengkar dengan Soekarno tentang
bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya
diberikan fair chance kepada Presiden Soekarno untuk mengalami
sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau
suatu kegagalan." Tanggal 1 Desember 1956 Hatta secara resmi
mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
Sekarang banyak suara yang ingin menghidupkan kembali nama
dwitunggal Soekarno-Hatta. Diusulkan diabadikan untuk nama
jalan, nama kota, nama lapangan terbang. Sebuah Yayasan
Soekarno-Hatta juga telah dibentuk. Mengapa mereka menginginkan
semua itu?
Adakah ini sekedar penghargaan, ataukah pertanda suatu kerinduan
kepada bentuk kepemimpinan mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini