MEMANCING anggota-anggota suku terasing agar bermukim dengan
tetap, agaknya belum sepenuhnya berhasil di Sulawesi Tengah. Tak
sedikit di antaranya yang lari ke hutan lagi. Malahan beberapa
rumah yang disediakan bagi mereka di daerah-daerah pemukiman,
ditempati oleh orang-orang yang tak terasing lagi.
Desember 1979 berbondong-bondonglah 300 KK (kepala keluarga)
Suku Merui turun dari pegunungan. Mereka menempati proyek
pemukiman kembali (resettlement) Tongoa Kamarora, Palolo, di
Kecamatan Blro Maru, Kabupaten Donggala. Di sini sejak 1978
didirikan 500 buah rumah untuk 500 KK masing-masing berukuran 5
x 7 meter untuk orang-orang suku terasing itu. Beratap seng,
berdinding papan, tiap rumah dibangun dengan biaya Rp 247.000
sebagai proyek Dinas Kehutanan Prov. Sul-Teng.
Tapi ketika 96 KK siap diturunkan kembali -- sebagai tahap
berikutnya untuk menggenapkan jumlah 500 KK tadi -- ternyata
rumah-rumah di proyek pemukiman itu sudah penuh terisi. Waktu
diteliti penghuni yang berjumlah 200 KK itu bukan suku terasing.
Tak diketahui siapa mereka sebenarnya. Kepala Bidang
Perencanaan Dinas Kehutanan Sul-Teng? Ir. F. Paseru, bahkan
tidak tahu ada penghuni liar itu. Tapi akibatnya,
anggota-anggota suku terasing yang tadinya sudah bersiap-siap
turun, buru-buru kembali lagi ke tengah hutan.
Kejadian hampir sama terdapat pula di proyek pemukiman di Desa
Wataku, Kecamatan Banawa, Donggala. Proyek ini mulai disiapkan
pada 1976 untuk 280 KK suku terasing di atas tanah 370 hektar.
Tapi karena sampai proyek itu selesai seluruhnya hanya ada 74 KK
suku terasing yang mau dimukimkan, maka sisanya dihuni oleh
mereka yang ternyata tak terasing lagi -- antara lain
purnawirawan ABRI. "Pokoknya rumah-rumah itu terisi dan tanah
tergarap," kata Drs. S. Sarungu, kepala Direktorat Pembangunan
Desa Sul-Teng. Lebih-lebih lagi, tambahnya, agar anggota suku
terasing itu belajar cara-cara bertani kepada mereka yang lebih
berpengalaman.
Tapi masalah lain sewaktu-waktu masih dapat muncul dari para
anggota suku terasing yang kini telah menetap. Di Tongoa
Kamarora, misalnya, bantuan beras (70 kg), gula (1 liter) dan
ikan asin (2 kg) untuk tiap KK selama 9 bulan, kini tinggal 4
bulan lagi. Padahal tanah pertanian yang dijanjikan seluas 1 3/4
hektar belum selesai dibagikan. Lebih-lebih lagi, bantuan beras
yang pada bulan-bulan pertama 70 kg tiap KK. Bulan-bulan
berikutnya menjadi 70 liter dan sejak 2 bulan terakhir menjadi
50 liter.
Tentang hal itu diakui Alex Sibala, pemilik CV Bukit Kulawi Jaya
yang memborong proyek pemukiman itu dan sekaligus bertanggung
jawab terhadap penyediaan pangan penghuninya. Dia berjanji akan
mengganti kekurangan jatah beras tadi. Tapi apa pun yang
dijanjikan Alex, belum lama ini 80 KK suku terasing di Tongoa
kembali lagi ke hutan. Diduga karena mereka tidak puas terhadap
fasilitas yang ada di proyek pemukiman kembali itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini