DENGAN kepala mendongak dan tangan kiri terkepal, Pangeran
Diponegoro yang telah dilucuti itu dipersilakan Jenderal de
Kock masuk ke kereta. Seorang perempuan menangis, memeluk kaki
kanan sang Pangeran. Di halaman tampak tentara pengiringnya pun
telah tak bersenjata.
Itulah sebuah lukisan Raden Saleh Syarif Bustaman, Pangeran
Diponegoro ditangkap, karya tahun 1857 -- dua tahun setelah
Pangeran itu wafat.
Memang. Hanya dengan melihat lukian itu bisa timbul dua
penafsiran yang bertentangan. Kritikus Baharuddhin Marasutan,
misalnya, dalam ceramahnya Rabu pekan ini di Taman Ismail
Marzuki untuk memperingati 100 tahun meninggalnya R. Saleh,
cenderung menilai R. Saleh berpihak kepada Pangeran Diponegoro.
Tapi mengapa justru saat penangkapan itu yang dilukiskan? Dan
bukankah karya itu oleh pelukisnya dimaksudkan sebagai hadiah
untuk Raja Belanda?
Agaknya sebuah buku, Dua Raden Saleh, terbit 1951 dan ditulis
oleh dr. Soekanto, begitu mempengaruhi Bahar dalam melihat R.
Saleh. Buku tersebut tegas menyebut R. Saleh seorang patriot,
tanpa pengkajian mendalam.
Tapi Dr. Harsja Bachtiar, seorang sosiolog, dalam satu ceramah
di Negeri Belanda empat tahun lalu, berpendapat lain.
Harsja Bachtiar memang sempat membaca sejumlah arsip tentang R.
Saleh yang disimpan di Negeri Belanda. Karena itu dari sudut
sejarahlah bisa dipertanggungjawabkan.
Misalnya tentang kecurigaan Belanda bahwa R. Saleh, pelukis Raja
Beland itu, terlibat dalam pemberontakan di Tambun, kawasan
Bekasi, April 1869. Untuk mengusut itu R. Saleh diinterogasi,
setelah digeledah rumahnya. Tapi tak secuil bukti pun
diketemukan, R. Saleh tetap "bersih".
Tapi Belanda belum merasa yakin. Seorang mata-mata menyamar
sebagai tukang jahit dimasukkan ke rumah R. Saleh. Beberapa hari
kemudian R. Saleh tahu, bahwa penjahit wanita yang diterima
bekerja di rumahnya itu ternyata mata-mata. Toh, ia tak diusir.
Justru diberi keleluasaan di rumahnya, untuk membuktikan bahwa
dia memang bukan pemberontak.
Yang paling kuat memberikan bukri akan sikap R. Saleh, ialah
pengakuannya sendiri, yang dipublikasikan 4 tahun sesudah
pemberontakan Tambun, dalam Tijdschrift voor Nederlandsch --
Indie. Bagian terakhir pengakuan itu benar-benar menyatakan
kesedihannya karena ia dituduh tak punya rasa terima kasih
kepada bangsa yang memberinya pendidikan, pengalaman,
pengetahuan. Padahal ia bersedia "menyerahkan diri sampai titik
darah penghabisan" karena merasa "tak bisa membayar kembali"
segala sesuatu yang telah diterimanya.
Kata-kata penutupnya: "Mungkinkah saya, yang selama 23 tahun
hidup di Eropa di kalangan bangsawan merendahhan diri bergabung
dengan para bandit dan perusuh? . . . Tidak, sampai napas saya
yang penghabisan, sampai saya terbujur di ranjang kematian di
hadapan kursi pengadilan, motto saya tetap: Hormat kepada Tuhan
dan setia, patuh dan berterima kasih kepada Raja, pemerintah dan
bangsa Belanda."
Tapi Baharuddin -- yang dua tahun lalu membuat kopi sebuah
lukisan R. Saleh terkenal, Antara Hidup dan Mati -- memang lebih
mengkaji R. Saleh sebagai pelukis saja. "Ada sedikit sentimen
pada saya, karena dia pelukis yang pertama mengerti seni lukis
Barat dengan segala teknis dan manifestasinya," kata Bahar.
"Saya sedikit tak peduli apakah dia pro atau anti Belanda. Saya
melihatnya sebagai pelukis." Sebagai pelukis, dia memang
unggul.
Buku Verlaat Rapport Indie, (terbit 1968) misalnya, memasukkan
sejumlah reproduksi karya R. Saleh dan beberapa pelukis Belanda
yang pernah ke Indonesia. Bisa dibandingkan kualitas karya-karya
mereka.
Bahar menilai sebagian besar karya pelukis Belanda, bahkan karya
A.A.J. Payen, guru R. Saleh yang pertama, "lebih ilustratif" --
hanya menangkap keindahan fisik saja. Sementara itu karya R.
Saleh mengandung bobot lebih ada semacam simbolisme, ada
sesuatu yang bisa disebut misteri. Karya potretnya menampilkan
watak dengan kuat.
Mungkin di situlah nilai Raden Saleh, bukan dalam visi
politiknya. Memang kurang pas, menuntut seorang inlander yang
hidup di akhir abad XIX untuk bersemangat anti-penjajah. Ia
meninggal hampir 30 tahun sebelum Boedi Oetomo, gerakan
kebangsaan pertama, lahir. Cukup kita hargai kebaikan hati R.
Saleh terhadap orang-orang kecil di sekitarnya. Dari legenda
sekitar R. Saleh yang hidup di kalangan orang Jawa Tengah, yang
melihat pelukis itu mempunyai kemampuan luar biasa, bisa
disimpulkan bahwa rakyat memang mencintainya.
Fosil Binatang
Yang mungkin disayangkan dari sudut seni rupa, R. Saleh tak
menularkan kepandaiannya kepada orang pribumi. Mungkin karena ia
terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Ia hanya tercatat punya
seorang murid, bernama R. Koesoema Brata, yang kemudian menjadi
guru gambar di sekolah guru di Bandung. Dan tak diketahui
seperti apa karya-karya murid R. Saleh itu.
Melihat gaya hidupnya, ia memang seniman beruntung. Sempat
berjalan-jalan ke Eropa, bergaul di kalangan bangsawan tinggi
sana, dikagumi handai tolannya, diterima di istana-istana.
Satu hal yang jarang dibicarakan orang, ialah bahwa R. Saleh
ternyata punya perhatian juga kepada ilmu pengetahuan. Ia
diangkat sebagai anggota berbagai perkumpulan masyarakat ilmu
pengetahuan di Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda. Ia
sempat ikut andil dalam penemuan berbagai fosil binatang di
daerah Yogyakarta, tahun 1860-an, ketika dia mengadakan
perjalanan melihat-lihat pemandangan di Jawa.
Pada hari Jumat, 23 April 1880, pelukis itu meninggal di
rumahnya di Buitenzorg (Bogor sekarang). Ia merasa diracun salah
seorang pembantunya yang dimarahinya karena mencuri lukisannya.
Pemeriksaan dokter membuktikan R. Saleh menderita thrombosis. Di
kuburnya, di desa di belakang Hotel Bellevue, Bogor, tertulis:
"Raden Saleh, Djoerocgambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja
Wollanda, ...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini