Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

100 tahun untuk seorang yang ...

Cerita untuk seorang yang berbakti dalam seni lukis barat namanya raden saleh. dia hidup antara th 1814-1880.

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN kepala mendongak dan tangan kiri terkepal, Pangeran Diponegoro yang telah dilucuti itu dipersilakan Jenderal de Kock masuk ke kereta. Seorang perempuan menangis, memeluk kaki kanan sang Pangeran. Di halaman tampak tentara pengiringnya pun telah tak bersenjata. Itulah sebuah lukisan Raden Saleh Syarif Bustaman, Pangeran Diponegoro ditangkap, karya tahun 1857 -- dua tahun setelah Pangeran itu wafat. Memang. Hanya dengan melihat lukian itu bisa timbul dua penafsiran yang bertentangan. Kritikus Baharuddhin Marasutan, misalnya, dalam ceramahnya Rabu pekan ini di Taman Ismail Marzuki untuk memperingati 100 tahun meninggalnya R. Saleh, cenderung menilai R. Saleh berpihak kepada Pangeran Diponegoro. Tapi mengapa justru saat penangkapan itu yang dilukiskan? Dan bukankah karya itu oleh pelukisnya dimaksudkan sebagai hadiah untuk Raja Belanda? Agaknya sebuah buku, Dua Raden Saleh, terbit 1951 dan ditulis oleh dr. Soekanto, begitu mempengaruhi Bahar dalam melihat R. Saleh. Buku tersebut tegas menyebut R. Saleh seorang patriot, tanpa pengkajian mendalam. Tapi Dr. Harsja Bachtiar, seorang sosiolog, dalam satu ceramah di Negeri Belanda empat tahun lalu, berpendapat lain. Harsja Bachtiar memang sempat membaca sejumlah arsip tentang R. Saleh yang disimpan di Negeri Belanda. Karena itu dari sudut sejarahlah bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya tentang kecurigaan Belanda bahwa R. Saleh, pelukis Raja Beland itu, terlibat dalam pemberontakan di Tambun, kawasan Bekasi, April 1869. Untuk mengusut itu R. Saleh diinterogasi, setelah digeledah rumahnya. Tapi tak secuil bukti pun diketemukan, R. Saleh tetap "bersih". Tapi Belanda belum merasa yakin. Seorang mata-mata menyamar sebagai tukang jahit dimasukkan ke rumah R. Saleh. Beberapa hari kemudian R. Saleh tahu, bahwa penjahit wanita yang diterima bekerja di rumahnya itu ternyata mata-mata. Toh, ia tak diusir. Justru diberi keleluasaan di rumahnya, untuk membuktikan bahwa dia memang bukan pemberontak. Yang paling kuat memberikan bukri akan sikap R. Saleh, ialah pengakuannya sendiri, yang dipublikasikan 4 tahun sesudah pemberontakan Tambun, dalam Tijdschrift voor Nederlandsch -- Indie. Bagian terakhir pengakuan itu benar-benar menyatakan kesedihannya karena ia dituduh tak punya rasa terima kasih kepada bangsa yang memberinya pendidikan, pengalaman, pengetahuan. Padahal ia bersedia "menyerahkan diri sampai titik darah penghabisan" karena merasa "tak bisa membayar kembali" segala sesuatu yang telah diterimanya. Kata-kata penutupnya: "Mungkinkah saya, yang selama 23 tahun hidup di Eropa di kalangan bangsawan merendahhan diri bergabung dengan para bandit dan perusuh? . . . Tidak, sampai napas saya yang penghabisan, sampai saya terbujur di ranjang kematian di hadapan kursi pengadilan, motto saya tetap: Hormat kepada Tuhan dan setia, patuh dan berterima kasih kepada Raja, pemerintah dan bangsa Belanda." Tapi Baharuddin -- yang dua tahun lalu membuat kopi sebuah lukisan R. Saleh terkenal, Antara Hidup dan Mati -- memang lebih mengkaji R. Saleh sebagai pelukis saja. "Ada sedikit sentimen pada saya, karena dia pelukis yang pertama mengerti seni lukis Barat dengan segala teknis dan manifestasinya," kata Bahar. "Saya sedikit tak peduli apakah dia pro atau anti Belanda. Saya melihatnya sebagai pelukis." Sebagai pelukis, dia memang unggul. Buku Verlaat Rapport Indie, (terbit 1968) misalnya, memasukkan sejumlah reproduksi karya R. Saleh dan beberapa pelukis Belanda yang pernah ke Indonesia. Bisa dibandingkan kualitas karya-karya mereka. Bahar menilai sebagian besar karya pelukis Belanda, bahkan karya A.A.J. Payen, guru R. Saleh yang pertama, "lebih ilustratif" -- hanya menangkap keindahan fisik saja. Sementara itu karya R. Saleh mengandung bobot lebih ada semacam simbolisme, ada sesuatu yang bisa disebut misteri. Karya potretnya menampilkan watak dengan kuat. Mungkin di situlah nilai Raden Saleh, bukan dalam visi politiknya. Memang kurang pas, menuntut seorang inlander yang hidup di akhir abad XIX untuk bersemangat anti-penjajah. Ia meninggal hampir 30 tahun sebelum Boedi Oetomo, gerakan kebangsaan pertama, lahir. Cukup kita hargai kebaikan hati R. Saleh terhadap orang-orang kecil di sekitarnya. Dari legenda sekitar R. Saleh yang hidup di kalangan orang Jawa Tengah, yang melihat pelukis itu mempunyai kemampuan luar biasa, bisa disimpulkan bahwa rakyat memang mencintainya. Fosil Binatang Yang mungkin disayangkan dari sudut seni rupa, R. Saleh tak menularkan kepandaiannya kepada orang pribumi. Mungkin karena ia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Ia hanya tercatat punya seorang murid, bernama R. Koesoema Brata, yang kemudian menjadi guru gambar di sekolah guru di Bandung. Dan tak diketahui seperti apa karya-karya murid R. Saleh itu. Melihat gaya hidupnya, ia memang seniman beruntung. Sempat berjalan-jalan ke Eropa, bergaul di kalangan bangsawan tinggi sana, dikagumi handai tolannya, diterima di istana-istana. Satu hal yang jarang dibicarakan orang, ialah bahwa R. Saleh ternyata punya perhatian juga kepada ilmu pengetahuan. Ia diangkat sebagai anggota berbagai perkumpulan masyarakat ilmu pengetahuan di Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda. Ia sempat ikut andil dalam penemuan berbagai fosil binatang di daerah Yogyakarta, tahun 1860-an, ketika dia mengadakan perjalanan melihat-lihat pemandangan di Jawa. Pada hari Jumat, 23 April 1880, pelukis itu meninggal di rumahnya di Buitenzorg (Bogor sekarang). Ia merasa diracun salah seorang pembantunya yang dimarahinya karena mencuri lukisannya. Pemeriksaan dokter membuktikan R. Saleh menderita thrombosis. Di kuburnya, di desa di belakang Hotel Bellevue, Bogor, tertulis: "Raden Saleh, Djoerocgambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wollanda, ...."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus