REPOTNYA sosialisme, kata penyair Oscar Wilde, ialah terlalu
banyak malam.
Sosialisme memang memustikan kerja tambahan. Kapitalisme boleh
tidur-atau iseng--setelah pukul 21: sistem ini percaya, bahwa
jika tiap orang mengejar kepentingannya sendiri, suatu "tangan
yang tak terlihat" akan Insya Allah membangun masyarakat yang
sejahtera.
Tapi bagi kaum sosialis, "tangan yang tak terlihat" itu cuma
sebuah takh.yul. Karena itulah mereka, dengan api di hati dan
asap di rokok, merancang. Pembangunan sosialis--seperti kita
ketahui sejak di bangku kuliah -- ialah pembangunan dengan
rencana.
Itu berarti orang perlu berdiskusi, berapat, pungut suara,
gebrak meja, bikin program, mengetik makalah dan lain-lain.
Sosialisme memang nampaknya membutuhkan lebih banyak kata.
Ketika Engels menengok Marx di Paris di tahun 1844, dia
sebenarnya cuma mau manmpir sebentar ternyata kedua bapak
sosialisme itu ngomong sampai 10 hari. Beratus tahun kemudian,
Mao mensosialiskan Cina. Sejak itu para buruh harus banyak ikut
rapat penataran dan indoktrinasi sepulang kerja sore hari.
Agaknya memang teramat sulit untuk mempertahankan anggapan,
bahwa manusia --juga kaum proletariat yang helat itu--bisa
dengan sendirinya melangkah ke "jalan yang benar". Pikiran hrus
selalu dikoreksi. Ideologi diajarkan.
Contohnya setelah Mao mangkat. Deng Xiao-ping muncul. Deng
Xiao-ping menggantikan puritanisme ideologi dengan pragmatisme.
Deng Xiao-ping menggantikan rapat indoktrinasi dengan sistem
bonus untuk buruh. Artinya, bila si Liu atau si Chen dan regunya
berhasil meningkatkan produktivitas di pabrik tempat mereka
bekerja, mereka akan dapa uang tambahan--bukan cuma pujian
sebagai pengabdi sosialisme.
Tapi akibatnya mencemaskan. Harian Rakyat, koran resmi di
Beijing itu, sekitar Maret yang lalu memuat satu tulisan yang
memperingatkan: semangat mengejar bonus itu telah "menggerogoti
ideologi orang-orang," dan "menggalakkan segelintir oknum untuk
jadi mata duitan."
Peringatan dalam Harian Rakyat juga tertuju ke sudut lain yang
tak kurang pentingnya. Semangat mengejar bonus, begitulah di
sana dikatakan, telah "merintangi persatuan intern antara
tetangga dan pekerja." Sebab, siapa pun mafhum: sistem bonus
pada akhirnya memang sistem yang menggarisbawahi semangat untuk
mementingkan diri sendiri. Dan jika begitulah jadinya apa
bedalniya sistem sosialis dengan sistem kapitalis?
Sosialisme sudah tentu satu hal dan kapitalisme hal lain. Tapi
yang menyedihkan ialah bahwa sosialisme juga ternyata--dengan
atau sonder sistem bonus--melahirkan sejumlah Ivanko.
Ivanko bernama lengkap Sergei Sergeevich Ivanko. Dia tokoh novel
The Ivankiad dari Vladimir Voinovich, pengarang lucu yang suka
merepotkan pemerintahnya itu. Adapun Ivanko adalah sebuah
bantahan terhadap anggapan orang Barat: tak benar bahwa Uni
Soviet kini diperintah oleh orangorang yang ortodoks
pandangannya dalam faham komunisme. Karena Ivanko, bukanlah
tokoh seperti itu yang "memegangijenggot Marx dengan satu
tangan, dan membuka-buka halaman Das Kapital dengan tangan lain
. . . "
Ivanko adalah "satu tokoh tipe baru". Tokoh tipe lama, orang
ortodoks dan dogmatis itu, "telah mati diam-diam dan dikuburkan
tanpa penghormatan". Penggantinya sebaliknya adalah dia, sang
birokrat tulen. "Satu-satunya ideologi yang dia puja adalah
kepuasan maksimum kebutuhan pribadinya . . ."
Jadi apa artinya dia bagi sebuah negeri sosialis Artinya besar.
Sosialisme sebagai sistem toh membutuhkan para birokrat. Bahkan
lebih dari sistem yang percaya kepada "tangan yang tak
terlihat," sosialisme amat tergantung pada mereka. Voinovich
mengatakan bahwa Ivanko itulah 'yang membutuhkan sistem Uni
Soviet, tapi agaknya pendapat itu tak lengkap.
Sebab semua pemerinuh, sosialis ataupun kapitalis, melayani
baik-baik kelompok yang dukungannya dianggap paling penting
untuk menjaga diri tetap berkuasa. Kelompok itu mungkin para
intel, atau para birokrat, para pengusaha, atau para ulama. Bagi
merekalah bagian kue yang terbesar:
Apa boleh buat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini