Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang Puas & Yang Terpaksa

Komentar tokoh-tokoh politik yang dicalonkan sebagai anggota DPR maupun yang tidak dicalonkan lagi. Tokoh-tokoh itu a.l: Krissantono, Mh. Isnaeni, Ahmad Bagdja, Mashuri SH.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISSANTONO, 37 tahun. Sekjen DPP KNPI. Namanya mulai mencuat di kalangan sementara orang muda setelah diangkat menjadi Sekjen KNPI. Dalam Pemilu 1977, Kris --panggilannya sehari-hari -- cuma kebagian kursi di MPR. Kali ini ia masuk daftar calon DPR untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. "Saya sendiri belum tahu masuk urutan ke herapa," katanya di kantor KNPI Gelanggang Mahasiswa Kuningan pekan lalu. Namun tokoh pemuda bertampang baby face itu merasa optimistis bakal gol menjadi anggota DPR karena Golkar memprioritaskan orang muda tampil di DPR. Dari 102 calon Golkar Ja-Teng, kabarnya ia masuk urutan ke 27. Mungkin itu yang membuatnya berhati-hati membuka mulut. "Baiknya kita lihat nanti saja," katanya. Maksudnya menunggu pengumuman LPU tiga minggu lagi, setelah lolos dari saringan tim peneliti PPI. Menjelang pencalonan, ia cukup repot minta tandatangan ke sana ke mari. "Kira-kira lima hari penuh saya mengurus sekitar 12 formulir yang harus diteken beberapa pejabat," tuturnya. Bersama 28 rekannya dari pimpinan KNPI, Kris mencita-citakan agar citra DPR 1982 nanti benar-benar diwarnai oleh semangat orang muda. "Buat K Pl, tidak ada masalah apakah mereka mewakili PPP, PDI atau Golkar," ucapnya. "Pokoknya, aspirasi generasi muda benar-benar terwakili dalam lembaga legislatif itu." MH. ISNAENI, 60 tahun. Wakil Ketua DPR/MPR. Tokoh kawakan PDI ini tidak lagi muncul sebagai calon anggota DPR untuk Pemilu 1982. "Saya memang tidak bersedia lagi untuk dicalonkan," katanya. Agaknya tokoh PNI yang dianggap tumbuh dan bawah ini cukup puas dengan karirnya sebagai anggota DPR selama 25 tahun --16 tahun di antaranya menjabat wakll ketua. Walau demikian, tidak berarti Ketua Vl DPP PDI ini mundur dari gelanggang politik. "Pengabdian tidak harus lewat DPR," kata ayah tujuh orang anak dan kakek sembilan cucu itu. Rencananya ia akan lebih aktif di Yayasan 17 Agustus 1945 bersama Dr. Roeslan Abdulgani. Kegiatan utama yayasan ini ialah peningkatan pendidikan politik. "Saya akan menjadi pengamat. Mudah-mudahan menjadi pengamat yang baik, bukan pemberontak," katanya tertawa lebar. Alasan utama ia tidak mencalonkan diri: karena perlu adanya regenerasi. "Saya melihat antre calon dari generasi muda cukup panjang," katanya. "Saya pikir, perlu kasih kesempatan pada mereka saja." Isnaeni asal Ponorogo Jawa Timur itu merasa perlu meyakinkan pendukungnya -- terutama di Ja-Tim, DKI Jakarta dan Irian Jaya mengenai matanya itu. Bagaimana kemungkinan buat dia masuk eksekutif? "Pertanyaan semacam itu sudah beberapa kali saya dengar," katanya agak rikuh. "Rasanya saya tidak punya tampang untuk jadi eksekutif. Di DPR saja jabatan saya cuma pas sampai wakil ketua." AHMAD BAGDJA, 36 tahun. Anggota Pengurus Bagian Kepemudaan PB NU, bekas Ketua Umum PMII. Perawakannya kecil, berkulit kuning dan berkumis. Bekas Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini menduduki urutan ke-8 dari 40 calon DPR dari unsur NU asal Jawa Barat. "Melihat ranking-nya, mungkin saya masuk," katanya. Tapi kalau nasibnya tidak beruntung, bisa saja ia terpental. Sebenarnya, ia belum berniat menjadi anggota DPR. "Karena saya merasa belum sanggup mengikuti liku-liku permainan politik," kata Bagdja, bekas Ketua DM-IKIP Jakarta itu. Berkat desakan teman-teman dekatnya dari PMII, ia mencoba mencalonkan diri. Langkah pertama ia menghubungi pimpinan NU Ja-Bar untuk mendaftar sebagai calon. "Permintaan saya dikabulkan," kata bekas Ketua Umum PMII kelahiran Kuningan Ja-Bar itu. Kebetulan ia mendapat dukungan dari daerah pemilihan Cirebon dan Bogor. Tokoh mahasiswa NU yang masih sibuk menyelesaikan skripsi itu menilai, tokoh-tokoh tua dan lama masih terlalu sulit membuka pintu bagi kalangan muda. "Kalau dilihat dari daftar calon unsur NU, memang 50% orang muda. Tapi rata-rata mereka menduduki ranking bawah," katanya. Berapa orang muda yang bakal masuk? "Tidak akan lebih dari 10%," ucapnya. Bagdja, yang menjadi komisaris sebuah perusahaan dan ayah tiga anak itu, belum tahu persis apa yang akan dilakukan bila terpilih menjadi anggota DPR. "Terus terang, saya belum tahu banyak," katanya. "Ibarat masuk hutan, sementara ini saya cuma tahu ada jalan kecil," tambahnya tertawa. MASHURI SH, 56 tahun. Wakil Ketua DPR/MPR. Menjelang Pemilu 1977, ketika masih menjadi Menteri Penerangan, ia giat berkampanye di Jawa Tengah. Dengan penuh semangat ia paparkan keberhasilan pembangunan berkat kemenangan Golkar. Kini tampaknya ia lebih tenang walau namanya masih termasuk dalam daftar calon Golkar dari Ja-Teng. Urutan ke berapa? "Saya tidak tahu. Hanya terpaksa saya menerima," katanya pada TEMPO pekan lalu sambil ngobrol, bersila di permadani di serambi dalam rumahnya Jalan Agus Salim, Jakarta. Rupanya memang tidak terlalu peduli karena, kabarnya cuma menjadi vote getter (pengumpul suara) saja. Walau tipis harapannya kembali ke DPR, bekas Menteri P&K dan Menteri Penerangan ini masih tetap akan aktif berpolitik. "Duduk dalam pemerintahan atau tidak, saya tetap ingin berpolitik," katanya. "Saya punya idealisme. Untuk itu, saya pertaruhkan nyawa, " tambahnya. Di benaknya sudah terbayang akan membuat suatu lembaga studi yang akan melakukan penelitian dan tinjauan berbagai masalah. Menghadapi Pemilu 1982, menutut dia, Golkar tidak akan gampang meraih kemenangan seperti dua pemilu sebelumnya. "Golkar tidak mudah menarik simpati terutama dari kalangan cendekiawan," katanya. Alasannya, Golkar sebagai pendukung pemerintah terikat pada suatu program yang ditumbuhkan dalam pola pembangunan. Namun secara keseluruhan, ia yakin Golkar akan unggul lagi. "Organisasinya relatif lebih terkonsolidasi dibanding dua- parpol lainnya," katanya. Tambah lagi, Golkar -- sebagai "alat" pemerintah akan bisa memanfaatkan tingkah laku politik masyarakat yang masih paternalistis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus