KRISSANTONO, 37 tahun. Sekjen DPP KNPI.
Namanya mulai mencuat di kalangan sementara orang muda setelah
diangkat menjadi Sekjen KNPI. Dalam Pemilu 1977, Kris
--panggilannya sehari-hari -- cuma kebagian kursi di MPR. Kali
ini ia masuk daftar calon DPR untuk daerah pemilihan Jawa
Tengah. "Saya sendiri belum tahu masuk urutan ke herapa,"
katanya di kantor KNPI Gelanggang Mahasiswa Kuningan pekan lalu.
Namun tokoh pemuda bertampang baby face itu merasa optimistis
bakal gol menjadi anggota DPR karena Golkar memprioritaskan
orang muda tampil di DPR. Dari 102 calon Golkar Ja-Teng,
kabarnya ia masuk urutan ke 27.
Mungkin itu yang membuatnya berhati-hati membuka mulut. "Baiknya
kita lihat nanti saja," katanya. Maksudnya menunggu pengumuman
LPU tiga minggu lagi, setelah lolos dari saringan tim peneliti
PPI. Menjelang pencalonan, ia cukup repot minta tandatangan ke
sana ke mari. "Kira-kira lima hari penuh saya mengurus sekitar
12 formulir yang harus diteken beberapa pejabat," tuturnya.
Bersama 28 rekannya dari pimpinan KNPI, Kris mencita-citakan
agar citra DPR 1982 nanti benar-benar diwarnai oleh semangat
orang muda. "Buat K Pl, tidak ada masalah apakah mereka
mewakili PPP, PDI atau Golkar," ucapnya. "Pokoknya, aspirasi
generasi muda benar-benar terwakili dalam lembaga legislatif
itu."
MH. ISNAENI, 60 tahun. Wakil Ketua DPR/MPR.
Tokoh kawakan PDI ini tidak lagi muncul sebagai calon anggota
DPR untuk Pemilu 1982. "Saya memang tidak bersedia lagi untuk
dicalonkan," katanya. Agaknya tokoh PNI yang dianggap tumbuh dan
bawah ini cukup puas dengan karirnya sebagai anggota DPR selama
25 tahun --16 tahun di antaranya menjabat wakll ketua.
Walau demikian, tidak berarti Ketua Vl DPP PDI ini mundur dari
gelanggang politik. "Pengabdian tidak harus lewat DPR," kata
ayah tujuh orang anak dan kakek sembilan cucu itu. Rencananya ia
akan lebih aktif di Yayasan 17 Agustus 1945 bersama Dr. Roeslan
Abdulgani. Kegiatan utama yayasan ini ialah peningkatan
pendidikan politik. "Saya akan menjadi pengamat. Mudah-mudahan
menjadi pengamat yang baik, bukan pemberontak," katanya tertawa
lebar.
Alasan utama ia tidak mencalonkan diri: karena perlu adanya
regenerasi. "Saya melihat antre calon dari generasi muda cukup
panjang," katanya. "Saya pikir, perlu kasih kesempatan pada
mereka saja." Isnaeni asal Ponorogo Jawa Timur itu merasa perlu
meyakinkan pendukungnya -- terutama di Ja-Tim, DKI Jakarta dan
Irian Jaya mengenai matanya itu.
Bagaimana kemungkinan buat dia masuk eksekutif? "Pertanyaan
semacam itu sudah beberapa kali saya dengar," katanya agak
rikuh. "Rasanya saya tidak punya tampang untuk jadi eksekutif.
Di DPR saja jabatan saya cuma pas sampai wakil ketua."
AHMAD BAGDJA, 36 tahun. Anggota Pengurus Bagian Kepemudaan PB
NU, bekas Ketua Umum PMII.
Perawakannya kecil, berkulit kuning dan berkumis. Bekas Ketua
Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini menduduki
urutan ke-8 dari 40 calon DPR dari unsur NU asal Jawa Barat.
"Melihat ranking-nya, mungkin saya masuk," katanya. Tapi kalau
nasibnya tidak beruntung, bisa saja ia terpental.
Sebenarnya, ia belum berniat menjadi anggota DPR. "Karena saya
merasa belum sanggup mengikuti liku-liku permainan politik,"
kata Bagdja, bekas Ketua DM-IKIP Jakarta itu. Berkat desakan
teman-teman dekatnya dari PMII, ia mencoba mencalonkan diri.
Langkah pertama ia menghubungi pimpinan NU Ja-Bar untuk
mendaftar sebagai calon. "Permintaan saya dikabulkan," kata
bekas Ketua Umum PMII kelahiran Kuningan Ja-Bar itu. Kebetulan
ia mendapat dukungan dari daerah pemilihan Cirebon dan Bogor.
Tokoh mahasiswa NU yang masih sibuk menyelesaikan skripsi itu
menilai, tokoh-tokoh tua dan lama masih terlalu sulit membuka
pintu bagi kalangan muda. "Kalau dilihat dari daftar calon unsur
NU, memang 50% orang muda. Tapi rata-rata mereka menduduki
ranking bawah," katanya. Berapa orang muda yang bakal masuk?
"Tidak akan lebih dari 10%," ucapnya.
Bagdja, yang menjadi komisaris sebuah perusahaan dan ayah tiga
anak itu, belum tahu persis apa yang akan dilakukan bila
terpilih menjadi anggota DPR. "Terus terang, saya belum tahu
banyak," katanya. "Ibarat masuk hutan, sementara ini saya cuma
tahu ada jalan kecil," tambahnya tertawa.
MASHURI SH, 56 tahun. Wakil Ketua DPR/MPR.
Menjelang Pemilu 1977, ketika masih menjadi Menteri Penerangan,
ia giat berkampanye di Jawa Tengah. Dengan penuh semangat ia
paparkan keberhasilan pembangunan berkat kemenangan Golkar. Kini
tampaknya ia lebih tenang walau namanya masih termasuk dalam
daftar calon Golkar dari Ja-Teng. Urutan ke berapa? "Saya tidak
tahu. Hanya terpaksa saya menerima," katanya pada TEMPO pekan
lalu sambil ngobrol, bersila di permadani di serambi dalam
rumahnya Jalan Agus Salim, Jakarta. Rupanya memang tidak terlalu
peduli karena, kabarnya cuma menjadi vote getter (pengumpul
suara) saja.
Walau tipis harapannya kembali ke DPR, bekas Menteri P&K dan
Menteri Penerangan ini masih tetap akan aktif berpolitik. "Duduk
dalam pemerintahan atau tidak, saya tetap ingin berpolitik,"
katanya. "Saya punya idealisme. Untuk itu, saya pertaruhkan
nyawa, " tambahnya. Di benaknya sudah terbayang akan membuat
suatu lembaga studi yang akan melakukan penelitian dan tinjauan
berbagai masalah.
Menghadapi Pemilu 1982, menutut dia, Golkar tidak akan gampang
meraih kemenangan seperti dua pemilu sebelumnya. "Golkar tidak
mudah menarik simpati terutama dari kalangan cendekiawan,"
katanya. Alasannya, Golkar sebagai pendukung pemerintah terikat
pada suatu program yang ditumbuhkan dalam pola pembangunan.
Namun secara keseluruhan, ia yakin Golkar akan unggul lagi.
"Organisasinya relatif lebih terkonsolidasi dibanding dua-
parpol lainnya," katanya. Tambah lagi, Golkar -- sebagai "alat"
pemerintah akan bisa memanfaatkan tingkah laku politik
masyarakat yang masih paternalistis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini