DALAM pertikaian di tubuh Partai Persatuan Pembangunan antara
unsur NU dan MI, ada seorang tokoh yang "absen", yakni Rais Aam
NU Kiai Haji Ali Ma'shum. Ia terpilih menduduki jabatan puncak
itu dalam Munas Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta, awal
September lalu.
Kiai Ali, 66 tahun, pengasuh pondok pesantren Krapyak
Yogyakarta, sebetulnya menolak keras tatkala ia hendak
dicalonkan. Alasannya antara lain, ia merasa "tidak mampu" dan
"punya penyakit jantung". Namun tatkala seluruh peserta secara
aklamasi memilihnya, Kiai Ali tidak dapat menolak lagi. Kiai
kelahiran Lasem, Jawa Tengah itu terisak tatkala dibaiat sebagai
Rais Aam (Ketua Umum) Syuriah PB NU menggantikan almarhum KH
Bisri Syansuri.
Bersama Wakil Rais Aam Anwar Musaddad, Kiai Ali telah memecahkan
tradisi: mereka berdua tidak bersedia untuk duduk sebagai Rais
Aam dan Wakil Rais Aam PPP. Keduanya juga menolak dicalonkan
dalam DPR. Sikap ini telah disampaikan kepada Presiden Soeharto
oleh Presiden PPP Idham Chalid dan Wakil Ketua DPR KH Masjkur
yang menemui Kepala Negara di tempat kediamannya dua pekan lalu.
Pada Putu Setia dari TEMPO, Kiai Ali menjelaskan alasan
penolakannya. "Saya ingin membatasi diri dalam bidang politik.
Saya mengurusi agama dan bukan mengurusi politik," ujarnya.
Kemudian lebih dijelaskannya lagi: "Kalau saya menerima jabatan
Rais Aam PPP berarti saya dilibatkan langsung ke dalam PPP, dan
saya tak bisa lagi mengontrolnya. Dengan berada di luar PPP saya
lebih bisa melakukan kontrol."
Kiai Ali mengaku tidak mengenal betul pribadi-pribadi pimpinan
pusat PPP, terutama yang di luar NU. "Saya tak banyak mengenal
mereka. Kalau PPP harus punya Rais Aam, biarlah Pak Idham atau
Pak Masjkur-yang jadi. Jangan lantas otomatis saya. Rais Aam
bisa siapa saja, tidak harus d*angkap Rais Aam seperti dulu.
Saya sudah repot dengan agama saja," tuturnya.
Diselingi tertawa terbahak-bahak, Ali Ma'shum menyebut amat
janggal bagi orang setua dia untuk "bermain kotor dengan
politik". Orang seumurnya, kata Kiai Ali, sebaiknya tidak
mengurus lagi soal pencalonan atau perebutan kursi.
Status Quo
Apakah PPP perlu punya Rais Aam? Ali Ma'shum menganggap perlu,
terutama di saat PPP sedang "ramai" seperti saat ini. Terjadinya
konflik dalam PPP, disayangkannya. Karena itu diharapkannya
"kawan-kawan di NU segera menangani masalah Rais Aam di PPP."
Pemilu, menurut Kiai Ali, merupakan suatu peristiwa yang perlu
sekali. "Kalau ada unsur dalam PPP yang mogok karena tak puas
soal pembagian kursi, tinggalkan saja. Kalau yang mogok itu ada
juga yang dari kalangan kami (NU) juga ditinggalkan saja,"
ucapnya lagi masih diselingi tertawa.
Menurut suatu sumber TEMPO, PCnolakan Ali Ma'shum menjadi Rais
Aam PPP disebabkan pula oleh alasan lain. Kiai Ali rupanya
menyadari sifatnya yang "keras" dan tidak memiliki sifat "wali"
yang "pemaaf dan penuh toleransi seperti almarhum Kiai Bisri".
Kabarnya cukup banyak tokoh PPP, termasuk dari NU yang merasa
lega dengan penolakan Kiai Ma'shum, karena itu berarti
status-quo yang selama ini berlaku akan terus berlanjut. Agaknya
kursi Rais Aam PPP ini untuk sementara akan terus dikosongkan.
Ketidaksediaan Ali Ma'shum dicalonkan dalam DPR ternyata tidak
berarti dia seratus persen tidak mau tahu urusan politik. Itu
terlihat dari suratnya yang disampaikan dua pekan lalu kepada
K.H. Anwar Musaddad. Isi surat bertuliskan huruf Arab yang
dititipkan lewat K.H. Masjkur itu mengemukakan, Ali Ma'shum
bersedia dicalonkan sebagai anggota MPR "kalau ada jabatan PB
NU". Di samping itu juga meminta agar orang-orang yang tidak
tunduk pada keputusan Munas Kaliurang "supaya ditinjau kembali
pencalonannya".
Entah mengapa Masjkur tidak menyampaikan surat yang sudah
diterimanya itu pada Anwar Musaddad tatkala Musaddad memimpin
rapat Syuriah NU di Jakarta 24 September lalu. Hingga isi surat
tidak Sempat dibicarakan dalarn rapat tersebut.
Toh kesediaan Ali Ma'shum dicalonkan sebagai anggota MPR
mengejutkan kalangan NU karena keputusan tidak diduga. Anwar
Musaddad sendiri tetapmenolak dicalonkan untuk DPR maupun MPR.
"Politik praktis sudah ditangani oleh Tanfidziah (Eksekutif).
Kalau Syuriah ikut-ikutan dalam politik praktis bisa kacau.
Lagipula sebaiknya memberi kesempatan yang lebih luas kepada
generasi muda," kata Musaddad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini