Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Penolakan Itu Disambut Lega

Pertikaian di tubuh Partai Persatuan Pembangunan Rais Aam NU Kiai Haji Ali Ma'shum tidak bersedia untuk duduk sebagai rais aam PPP.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM pertikaian di tubuh Partai Persatuan Pembangunan antara unsur NU dan MI, ada seorang tokoh yang "absen", yakni Rais Aam NU Kiai Haji Ali Ma'shum. Ia terpilih menduduki jabatan puncak itu dalam Munas Ulama NU di Kaliurang, Yogyakarta, awal September lalu. Kiai Ali, 66 tahun, pengasuh pondok pesantren Krapyak Yogyakarta, sebetulnya menolak keras tatkala ia hendak dicalonkan. Alasannya antara lain, ia merasa "tidak mampu" dan "punya penyakit jantung". Namun tatkala seluruh peserta secara aklamasi memilihnya, Kiai Ali tidak dapat menolak lagi. Kiai kelahiran Lasem, Jawa Tengah itu terisak tatkala dibaiat sebagai Rais Aam (Ketua Umum) Syuriah PB NU menggantikan almarhum KH Bisri Syansuri. Bersama Wakil Rais Aam Anwar Musaddad, Kiai Ali telah memecahkan tradisi: mereka berdua tidak bersedia untuk duduk sebagai Rais Aam dan Wakil Rais Aam PPP. Keduanya juga menolak dicalonkan dalam DPR. Sikap ini telah disampaikan kepada Presiden Soeharto oleh Presiden PPP Idham Chalid dan Wakil Ketua DPR KH Masjkur yang menemui Kepala Negara di tempat kediamannya dua pekan lalu. Pada Putu Setia dari TEMPO, Kiai Ali menjelaskan alasan penolakannya. "Saya ingin membatasi diri dalam bidang politik. Saya mengurusi agama dan bukan mengurusi politik," ujarnya. Kemudian lebih dijelaskannya lagi: "Kalau saya menerima jabatan Rais Aam PPP berarti saya dilibatkan langsung ke dalam PPP, dan saya tak bisa lagi mengontrolnya. Dengan berada di luar PPP saya lebih bisa melakukan kontrol." Kiai Ali mengaku tidak mengenal betul pribadi-pribadi pimpinan pusat PPP, terutama yang di luar NU. "Saya tak banyak mengenal mereka. Kalau PPP harus punya Rais Aam, biarlah Pak Idham atau Pak Masjkur-yang jadi. Jangan lantas otomatis saya. Rais Aam bisa siapa saja, tidak harus d*angkap Rais Aam seperti dulu. Saya sudah repot dengan agama saja," tuturnya. Diselingi tertawa terbahak-bahak, Ali Ma'shum menyebut amat janggal bagi orang setua dia untuk "bermain kotor dengan politik". Orang seumurnya, kata Kiai Ali, sebaiknya tidak mengurus lagi soal pencalonan atau perebutan kursi. Status Quo Apakah PPP perlu punya Rais Aam? Ali Ma'shum menganggap perlu, terutama di saat PPP sedang "ramai" seperti saat ini. Terjadinya konflik dalam PPP, disayangkannya. Karena itu diharapkannya "kawan-kawan di NU segera menangani masalah Rais Aam di PPP." Pemilu, menurut Kiai Ali, merupakan suatu peristiwa yang perlu sekali. "Kalau ada unsur dalam PPP yang mogok karena tak puas soal pembagian kursi, tinggalkan saja. Kalau yang mogok itu ada juga yang dari kalangan kami (NU) juga ditinggalkan saja," ucapnya lagi masih diselingi tertawa. Menurut suatu sumber TEMPO, PCnolakan Ali Ma'shum menjadi Rais Aam PPP disebabkan pula oleh alasan lain. Kiai Ali rupanya menyadari sifatnya yang "keras" dan tidak memiliki sifat "wali" yang "pemaaf dan penuh toleransi seperti almarhum Kiai Bisri". Kabarnya cukup banyak tokoh PPP, termasuk dari NU yang merasa lega dengan penolakan Kiai Ma'shum, karena itu berarti status-quo yang selama ini berlaku akan terus berlanjut. Agaknya kursi Rais Aam PPP ini untuk sementara akan terus dikosongkan. Ketidaksediaan Ali Ma'shum dicalonkan dalam DPR ternyata tidak berarti dia seratus persen tidak mau tahu urusan politik. Itu terlihat dari suratnya yang disampaikan dua pekan lalu kepada K.H. Anwar Musaddad. Isi surat bertuliskan huruf Arab yang dititipkan lewat K.H. Masjkur itu mengemukakan, Ali Ma'shum bersedia dicalonkan sebagai anggota MPR "kalau ada jabatan PB NU". Di samping itu juga meminta agar orang-orang yang tidak tunduk pada keputusan Munas Kaliurang "supaya ditinjau kembali pencalonannya". Entah mengapa Masjkur tidak menyampaikan surat yang sudah diterimanya itu pada Anwar Musaddad tatkala Musaddad memimpin rapat Syuriah NU di Jakarta 24 September lalu. Hingga isi surat tidak Sempat dibicarakan dalarn rapat tersebut. Toh kesediaan Ali Ma'shum dicalonkan sebagai anggota MPR mengejutkan kalangan NU karena keputusan tidak diduga. Anwar Musaddad sendiri tetapmenolak dicalonkan untuk DPR maupun MPR. "Politik praktis sudah ditangani oleh Tanfidziah (Eksekutif). Kalau Syuriah ikut-ikutan dalam politik praktis bisa kacau. Lagipula sebaiknya memberi kesempatan yang lebih luas kepada generasi muda," kata Musaddad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus