Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang menyangkal pentingnya pemberian stimulus untuk menangkal dampak krisis finansial dunia. Program yang direncanakan pemerintah mulai bulan April nanti harus didukung penuh. Tapi, selain tepat waktu dan sasaran, stimulus fiskal yang tahun ini dijatah Rp 73 triliun mestilah mencapai tujuannya, yaitu menggerakkan ekonomi kita.
Tantangan terberat adalah soal jadwal. Implementasi program stimulus diragukan tepat waktu. Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mewanti-wanti agar stimulus cair bulan April tidak mengurangi keragu-raguan itu.
Alasannya jelas. Selama ini realisasi anggaran selalu molor. Pemerintah baru sibuk membelanjakan uangnya setelah kuartal kedua, malah sering mulai pada kuartal ketiga. Tak ada kemajuan berarti soal ini. Tahun lalu, misalnya, sampai bulan Oktober realisasi anggaran masih di kisaran 65 persen. Perilaku ini mesti diubah, tapi rasanya butuh waktu lama. Maka, perlu usaha ekstrakeras untuk mengucurkan dana stimulus yang tak sedikit itu, agar masyarakat dan dunia usaha tidak semakin berdarah-darah.
Kalau tujuan stimulus adalah meningkatkan daya beli, program ini diragukan efektivitasnya. Pemerintah berencana mengembalikan pajak penghasilan untuk pekerja sektor formal yang bergaji di bawah Rp 5 juta sejak April sampai Desember tahun ini. Tapi jumlah stimulus itu terlalu sedikit untuk memompa daya beli. Harga bahan kebutuhan pokok sudah jauh di atas tahun lalu. Biaya pendidikan melonjak, hanya biaya transportasi yang turun. Itu pun hanya di kota-kota besar. Boleh jadi, tambahan dana stimulus akan habis untuk menambal kenaikan harga kebutuhan pokok.
Lagi pula kelompok penghasilan di bawah Rp 5 juta ini bukan penggerak utama ekonomi kita. Kelas pekerja dengan penghasilan di bawah pendapatan kena pajak, jumlahnya 64 persen angkatan kerja, malah tak mendapat stimulus. Padahal kelas pekerja itu merupakan konsumen tetap sektor informal, yang menggerakkan 70 persen ekonomi kita. Sialnya, kelompok terakhir ini agaknya juga tak kebagian dana stimulus melalui proyek infrastruktur, karena mereka bekerja di industri. Seandainya pun kelompok ini nyambi bekerja di proyek infrastruktur, tambahan penghasilan yang mereka peroleh juga terlalu sedikit.
Stimulus untuk dunia usaha jauh dari memadai. Tambahan insentif PPh 25 berupa pengurangan pajak bila perusahaan turun kinerjanya akibat krisis jelas tak banyak mengurangi beban. Pembebasan sementara pajak dan bea masuk mungkin sedikit membantu. Tapi persoalan utama, terutama bagi produsen yang bahan bakunya impor, adalah kenaikan ongkos produksi akibat nilai tukar rupiah yang terus melemah. Di pasar ada masalah besar: penjualan anjlok.
Lebih baik pemerintah ikut menekan suku bunga. Sejak Desember lalu, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sudah turun menjadi 7,75 persen. Tapi suku bunga pinjaman tetap bertengger tinggi. Kredit modal kerja sulit didapat. Pemerintah sebagai pemegang saham terbesar tiga bank pelat merah mestinya bisa mengupayakan penurunan bunga pinjaman. Tahun ini pemerintah harus rela dividen bank miliknya berkurang, demi menggerakkan ekonomi.
Pemberian stimulus, tanpa penurunan suku bunga dan penguatan rupiah, tak banyak berarti untuk perbaikan ekonomi kita. Malah, bisa-bisa pemerintah dituding sedang berkampanye, mengingat stimulus diberikan sekitar masa-masa tiga kali pemilu tahun ini. Kalau sudah berbau politik, program yang baik saja bisa dipertanyakan rakyat, apalagi yang meragukan seperti stimulus ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo