Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN Abdul Hadi Djamal membuktikan Dewan Perwakilan Rakyat semakin korup dan kian sulit dibenahi. Para legislator itu seakan pekak, tak peduli, dan tak kenal kapok. Tertangkapnya Al Amin Nur Nasution, Bulyan Royan, atau Sarjan Taher lantaran suap sepertinya tak memberikan pelajaran sedikit pun.
Abdul Hadi ditangkap karena menerima suap Rp 1 miliar dari Hontjo Setiawan, pengusaha yang kerap mendapat proyek dari Direktorat Perhubungan Laut. Duit itu diduga sebagai uang muka untuk mengegolkan proyek pembangunan pelabuhan yang diincar Hontjo. Sebagai anggota Komisi Perhubungan merangkap Panitia Anggaran, peran Abdul Hadi penting. Proyek itu tak akan gol jika Panitia Anggaran—yang anggotanya dari berbagai komisi DPR— tidak setuju.
Dari sini saja jelas: Abdul Hadi, seperti pengakuannya, tidak bermain sendiri. Seperti sudah diungkapkan legislator dari Partai Amanat Nasional itu, ia menyerahkan duit Rp 1 miliar, antara lain, kepada anggota Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua Panitia Anggaran, Jhonny Allen Marbun. Pengakuan ini harus menjadi pintu masuk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membongkar tuntas kasus ini. Tapi KPK tak boleh berhenti sampai Abdul Hadi, Hontjo, atau pegawai Departemen Perhubungan yang menjadi perantara Abdul Hadi dan Hontjo. KPK—yang belakangan dianggap gamang ketika berhadapan dengan DPR—untuk kesekian kali mendapat tantangan membongkar kasus yang melibatkan wakil rakyat ini.
Sesungguhnya kasus ini tak terlalu sulit bagi KPK. Sudah terang-benderang, pangkal soalnya adalah Panitia Anggaran, yang memiliki hak bujet. Panitia itu perlu pengawasan ketat. Sebagai salah satu alat kelengkapan DPR yang tetap, lembaga ini jelas diperlukan. Panitia Anggaran memiliki kewenangan menyetujui atau menolak proyek-proyek yang diajukan departemen dan dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ini memang mekanisme demokrasi yang bagus. Sebagai wakil rakyat, DPR mestinya mengontrol proyek yang menggunakan duit rakyat.
Di tangan sebagian anggota Dewan yang kerang-keroh, celakanya kewenangan mengontrol itu berubah menjadi kesenangan menggerogoti duit rakyat. Terjadi kolusi antara wakil rakyat, pejabat departemen, dan pengusaha, untuk mengegolkan proyek tertentu. Akibatnya, rentetan penyelewengan tak terelakkan. Pembengkakan anggaran, pelolosan proyek yang sebenarnya tak diperlukan rakyat, sudah sering terjadi. Praktek curang ini celakanya terus berjalan. Tertangkapnya Abdul Hadi, menjelang masa tugas DPR berakhir tahun ini, merupakan bukti nyata.
Ada dua saran. Pertama, untuk kasus Abdul Hadi, KPK harus segera memeriksa semua anggota DPR dan pejabat Departemen Perhubungan yang diduga terlibat. KPK bahkan harus memeriksa kembali proyek-proyek Departemen Perhubungan yang selama ini ”dipegang” Hontjo. Bila terlambat, terbuka kesempatan bagi mereka yang tersangkut untuk menghilangkan barang bukti.
Kedua, mesti ada kontrol kuat terhadap kerja Panitia Anggaran. Mesti dibuat peraturan yang menutup semua celah yang berpotensi dimanfaatkan anggota Panitia Anggaran bermain mata dengan broker atau cukong. Sebaiknya anggota Panitia dilarang membahas proyek dengan pejabat atau pengusaha kecuali dalam rapat resmi yang terbuka. Mereka yang melanggar mesti dipecat.
Untuk keadaan DPR yang sudah begitu runyam, perlu aturan keras, dengan sanksi berat. Rakyat sama sekali tak perlu wakil bermental bobrok, seperti mereka yang doyan suap itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo