Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga karyawan sebuah perusahaan penerbitan surat kabar nasional asyik berbincang tentang insentif pajak penghasilan untuk pekerja. Maklum, ketiganya merasa masuk kriteria penerima fasilitas, meskipun belum tahu detailnya. ”Kita tunggu sajalah,” kata Ika kepada dua temannya. Lain lagi dengan Andi. Pekerja perusahaan ekspor rotan di Cirebon ini mengaku baru tahu soal itu. ”Ini bantuan langsung tunai ya?”
Rabu dua pekan lalu, pemerintah mengumumkan insentif PPh 21 bagi pekerja dengan penghasilan kotor di atas penghasilan tidak kena pajak (Rp 1,3 juta) dan tidak melebihi Rp 5 juta per bulan. Mereka adalah kelas pekerja yang membayar pajak dengan tarif lima persen. Kelompok ini dipilih karena dianggap memiliki tingkat konsumsi tinggi. Diharapkan, insentif akan mendorong daya beli masyarakat pada saat ekonomi lesu.
Tapi, dengan alasan terbatasnya dana pemerintah, hanya tiga sektor yang mendapatkannya. Ketiganya adalah sektor usaha pertanian—termasuk perkebunan, peternakan, perburuhan, dan kehutanan—usaha perikanan, dan industri pengolahan. Sektor penerima harus tergolong sektor padat karya, berorientasi ekspor, atau bidang usaha yang dianggap langsung terkena dampak krisis. Total jenderal ada 464 sektor usaha yang pajak penghasilan pekerjanya ditanggung pemerintah.
Dengan fasilitas itu, kata Direktur Peraturan Perpajakan Bidang PPh Departemen Keuangan, Djonifar Abdul Fatah, perusahaan wajib menambahkan komponen PPh 21 ke dalam gaji karyawan. Insentif ini akan dinikmati mulai April sampai Desember tahun ini. Untuk insentif ini, pemerintah menyiapkan dana Rp 6,5 triliun untuk 7-8 juta pekerja.
Djonifar mencontohkan, pekerja A berpenghasilan kotor Rp 5 juta per bulan dengan dua anak dan iuran pensiun Rp 25 ribu akan mendapat insentif Rp 153.750, nilai pajak yang dikembalikan. Sehingga setiap bulan pekerja A mendapat upah Rp 4.975.000. Untuk pekerja yang bergaji kotor Rp 2,5 juta per bulan dengan dua anak dan iuran pensiun Rp 25 ribu, potongan pajak yang dikembalikan sebagai insentif Rp 36.425. Insentif, kata Djonifar, tidak berlaku jika pada salah satu bulan, pekerja tersebut mendapat bonus, sehingga pendapatan kotornya melebihi Rp 5 juta.
Untuk mencegah penyimpangan—perusahaan tidak membayarkan pajak tersebut ke pekerjanya—Direktorat Jenderal Pajak sudah menyiapkan sistemnya. Setiap kali pembayaran, pemberi kerja wajib menyerahkan laporan bukti pemotongan dan memberikan daftar penerima insentif ke kantor pajak terdekat paling lambat tanggal 20 per bulannya. Bukti pemotongan juga harus diserahkan ke karyawan. Jika terbukti melanggar, perusahaan akan didenda pajak penghasilan 100 persen. ”Pekerja harus berteriak jika tak mendapat fasilitas ini,” kata Darmin.
Sumber Tempo yang terlibat dalam setiap rapat pembahasan stimulus membisikkan bahwa insentif ini sebenarnya lahir dadakan. Usulannya muncul belakangan dibandingkan komponen stimulus fiskal lainnya. Awalnya, dana Rp 6,5 triliun itu dialokasikan untuk insentif pajak pertambahan nilai (PPN) industri antara. Belakangan, pemerintah mengubahnya menjadi fasilitas pajak penghasilan ditanggung pemerintah. Alasannya, fasilitas ini dianggap lebih efektif mendorong perekonomian nasional dari sisi peningkatan konsumsi rumah tangga.
Dalam rapat pembahasan terakhir, kata sumber Tempo yang lain, kalangan pengusaha meminta insentif ini dianulir dan dikembalikan ke fasilitas PPN industri antara. Mereka mengeluh karena secara riil stimulus fiskal untuk membantu perusahaan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja hanya PPN dan bea masuk ditanggung pemerintah, nilainya masing-masing Rp 3,5 triliun dan Rp 2,5 triliun. Stimulus itu pun hanya berlaku terbatas. PPN untuk industri antara dianggap penting karena sektor itu sangat bergantung pada ekspor dan termasuk kategori usaha padat karya.
Pemerintah rupanya ngotot. Perusahaan dianggap sudah mendapat tambahan insentif PPh 25 tentang pengurangan setoran bagi wajib pajak yang mengalami perubahan atau keadaan usaha akibat imbas krisis. Pengusaha akhirnya menyerah. Namun mereka mewanti-wanti pemerintah supaya tidak menjadikan insentif ini sebagai alat kepentingan politik karena modelnya tidak beda dengan bantuan langsung tunai alias BLT. ”Cuma beda sasaran saja,” kata sumber Tempo itu.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Perpajakan Haryadi Budisantoso Sukamdani mengakui stimulus ini memang tidak efektif mengurangi dampak krisis karena hanya dinikmati pekerja. Perusahaan tidak diuntungkan sama sekali. Jika keadaan sulit datang, mau tak mau pemutusan hubungan kerja akan dilakukan. Faktor ini diabaikan pemerintah. Soal pengurangan pajak, katanya, Haryadi menganggapnya sebagai hal yang biasa. ”Kalau laba turun, ya pajaknya otomatis turun,” katanya.
Penilaian yang sama datang dari Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Yanuar Rizky. Menurut dia, seharusnya insentif ini ditujukan kepada kelas pekerja dengan penghasilan di bawah pendapatan tidak kena pajak, dengan pola subsidi silang. Kelompok ini mewakili 64 persen angkatan kerja di Indonesia. Di samping itu, golongan masyarakat ini juga memiliki model konsumsi yang menghasilkan multiplier effect karena menjadi konsumen tetap sektor usaha informal, yang menggerakkan 70 persen ekonomi nasional.
Yanuar menegaskan, ”Kalau tujuannya meningkatkan daya beli, insentif ini jelas salah sasaran.” Golongan pekerja ini akhirnya hanya menjadi kelompok menggantung, tidak mendapat BLT, tapi juga tidak memperoleh fasilitas PPh 21 itu. Ia menilai, pemerintah terlalu terburu-buru dan tidak memiliki tujuan jelas atas kebijakan ini. Tak aneh jika kalangan pekerja pun mencurigai bahwa insentif ini sangat kental dengan niat politik penguasa untuk memoles citra pada tahun pemilu ini.
Anggapan ini pun langsung dibantah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta. Menurut Paskah, insentif ini tidak ada kaitannya dengan upaya tebar pesona penguasa. Dalihnya, program bantuan langsung tunai senilai Rp 3,7 triliun untuk 19,1 juta penduduk pada awal 2009 pun belum dikucurkan karena pemerintah sedang mencari formula yang elok supaya tidak dimaknai politis. Insentif fiskal ini, kata Paskah, untuk mendorong masyarakat menggunakan dana itu untuk kegiatan produktif, sedangkan BLT untuk menolong masyarakat yang memiliki gap daya beli.
Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady menambahkan, insentif ini paling efektif untuk mendorong konsumsi karena pertumbuhan ekonomi saat krisis sangat mengandalkan daya beli masyarakat. Konsumsi, kata Edy, menyumbang hampir 65 persen pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi apa jadinya jika dunia usahanya melempem karena dibiarkan merana.
Anton Aprianto
Ini Dia Sektor Penerima Insentif PPh 21
Pertanian* (74 Sub sektor )
Tanaman pangan dan perkebunan, holtikultura, sayuran, bunga, rempah, jambu mete, pembibitan, dan budidaya ternak, jasa pertanian, perkebunan, dan peternakan, hutan tanaman, pengusahaan hutan alam,jasa kehutanan
Perikanan (19 Sub sektor)
Penangkapan dan budidaya biota laut, air tawar, dan payau; jasa perikanan
Industri Pengolahan (371 Sub sektor)
Pengawetan daging dan buah-buahan, minyak makan, susu, padi, tepung, minuman, tembakau, tekstil, pakaian jadi, kulit, alas kaki, kayu lapis, kertas, penerbitan, farmasi, jamu, dan pupuk.
*termasuk perkebunan, peternakan, perburuhan, dan kehutanan
Sumber : Peraturan Menkeu Nomor 43/PMK.03/2009
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo