Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BETAPA rawan keselamatan penerbangan sipil kita. Berulang kali kecelakaan pesawat terjadi. Yang lebih mencemaskan, pengawasan kelaikan pesawat dan kecakapan awak maskapai oleh Departemen Perhubungan pun terbilang buruk.
Tidak aneh jika frekuensi kecelakaan pesawat di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia. Di sini terjadi sembilan kecelakaan serius dalam setahun, tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Tahun ini, belum lagi triwulan pertama berakhir, telah terjadi tiga kecelakaan. Dua di antaranya dialami maskapai Lion Air.
Catatan ini jelas mengkhawatirkan. Kendati tiga kecelakaan itu tak menelan korban jiwa, jelas ada yang salah dengan perawatan pesawat. Buktinya, pesawat jenis MD-90 milik Lion Air yang tergelincir di Bandar Udara Soekarno-Hatta pekan lalu mengalami patah pada landing gear depan dan sayap kiri. Akhir Februari lalu, pesawat Lion Air dari jenis yang sama mendarat tanpa roda depan di Bandara Hang Nadim, Batam.
Seakan-akan peristiwa pendaratan keras, pecahnya roda pesawat, atau gangguan salah baca radar telah menjadi sesuatu yang biasa. Penumpang tidak mendapat petunjuk pengamanan yang menjadi standar baku dunia penerbangan. Dalam kecelakaan pekan lalu, sejumlah penumpang mengaku awak pesawat tak memberitahukan bahwa pesawat akan mendarat dengan keras.
Pemerintah memang telah melarang terbang sementara semua pesawat tipe MD-90 buatan McDonnell Douglas. Federasi penerbangan internasional (FAA) pernah pula mengeluarkan larangan terbang bagi 300 pesawat MD-90 di Eropa dan Amerika. Tapi, dalam kasus Lion Air, keputusan mengandangkan pesawat belumlah cukup. Keputusan itu perlu disertai penyelidikan mendalam terhadap kelayakan teknis pesawat sebelum diizinkan terbang.
Sudah bukan rahasia lagi, maskapai kerap mengabaikan kelaikan teknis pesawat dan kompetensi awak. Melonjaknya jumlah penumpang membuat maskapai menggunakan pesawat-pesawat cadangan mereka. MD-90 masuk kategori cadangan itu. Semestinya Departemen Perhubungan, yang berwenang memberikan sertifikat laik udara, tak meloloskan begitu saja pesawat yang tak memenuhi standar keamanan.
Dalam banyak kasus, sertifikat kelaikan tetap terbit meskipun kondisi pesawat tak memenuhi syarat. Tragedi fatal Adam Air, yang terjun ke laut pada 1 Januari 2007 dan menewaskan 102 penumpang, merupakan contoh betapa pesawat dengan sistem navigasi rusak dan pilot tak berpengalaman ternyata tetap dinyatakan layak terbang.
Pengawasan yang kedodoran inilah yang menyebabkan berulangnya kecelakaan pesawat di Indonesia. Pengawasan tentu tak akan optimal bila pengawas Departemen Perhubungan yang mempunyai klasifikasi penerbang, misalnya, ngobyek sebagai pilot swasta. Hubungan ”perselingkuhan” ini harus segera diakhiri.
Agar pengawasan efektif, sudah saatnya pemerintah mempercayakan pengurusan sertifikat kelaikan terbang dan pengoperasian pesawat udara kepada lembaga independen. Komite Nasional Keselamatan Transportasi bisa dipercaya untuk menjalankan fungsi itu. Sebab, Komite kini tak lagi berada di bawah Departemen Perhubungan.
Hanya lembaga dengan manajemen profesional yang bisa memperbaiki keselamatan penerbangan nasional. Tanpa perbaikan yang signifikan, percuma pemerintah melobi Uni Eropa agar mengizinkan pesawat sipil Indonesia terbang ke sana. Maskapai kita perlu lebih dulu menunjukkan bukti mereka sudah becus mengelola bisnis yang menomorsatukan keselamatan penumpang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo