Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMBROLNYA investasi PT Telkom Indonesia Tbk (Telkom) di PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk tidak semestinya terjadi jika aksi korporasi itu sepenuhnya taat pada kalkulasi bisnis. Terbukti, masuk lewat anak usahanya, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), nilai saham perusahaan layanan teknologi itu terus merosot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melepas saham perdana (initial public offering/IPO) pada harga Rp 338 per lembar, 11 April lalu, harga saham GoTo tinggal Rp 200 pada penutupan perdagangan Jumat, 4 November lalu. Penurunan tajam ini dipicu kabar sejumlah pemegang saham akan hengkang, setelah periode larangan menjual saham (lock-up) dibuka pada 22 November mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Situasi ini membuat pening manajemen Telkom. Sebab, investasi di GoTo mencapai Rp 10,2 triliun, lebih besar dari suntikan dana awal pada 2020 dan 2021 yang hanya senilai Rp 6,4 triliun dalam bentuk obligasi konversi. Menilik laporan keuangan Telkom, per Juni 2022, Telkomsel ternyata telah mengucurkan dana mencapai Rp 9,2 triliun. Selain itu, ada kucuran dana lewat MDI Ventures—anak usaha Telkom yang bergerak di bidang modal ventura—sebesar Rp 1,03 triliun.
Masuknya Telkomsel menjadi salah satu pemegang saham GoTo ditengarai bukanlah transaksi bisnis biasa, melainkan “mengandung” unsur benturan kepentingan. Saham GoTo sebagian dimiliki Garibaldi alias Boy Thohir, kakak kandung Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Apalagi saat itu banyak kalangan mewanti-wanti potensi ambyar investasi Telkomsel, karena melihat performa buruk PT Bukalapak Tbk, unicorn pertama yang mencatatkan sahamnya di bursa Indonesia pada Agustus 2021. Alih-alih meraih cuan, banyak investor yang gigit jari karena harga saham Bukalapak ambles, bahkan sempat di bawah harga IPO.
Kekhawatiran itu sekarang menjadi kenyataan. Harga saham GoTo terus turun, bersamaan dengan memburuknya kinerja perseroan. Pada semester pertama 2022, GoTo mencatat rugi periode berjalan sebesar Rp 14,169 triliun, meningkat dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang minus Rp 6,617 triliun.
Wajar jika kemudian para pemegang saham ramai-ramai mencari “pintu keluar” untuk menekan kerugian alias cut loss. Tren seperti ini memang sedang terjadi di banyak negara. Para pemodal berbalik arah, dari sebelumnya berlomba-lomba menggelontorkan dana ke perusahaan rintisan (startup) berpindah ke sektor lain.
Ini tentu menjadi kabar buruk bagi perusahaan sejenis di Tanah Air, termasuk GoTo. Apalagi perusahaan itu memiliki jaringan ekosistem bisnis digital dari pelapak di marketplace Tokopedia, restoran yang menjadi mitra GoFood, hingga mitra pengemudi Gojek dan Gocar. Artinya guncangan di industri startup bakal berimbas pada sektor-sektor lain.
Pemerintah perlu mengantisipasi dampak buruk yang bisa terjadi di masa mendatang dengan melahirkan kebijakan ramah investasi, bukan turun tangan melakukan langkah penyelamatan. Cukup Telkom yang menanggung beban karena aksi korporasi yang kental dengan benturan kepentingan dalam membeli saham GoTo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo