Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mitra pengemudi dan merchant GoTo menghadapi kenaikan biaya aplikasi.
GoTo mengoptimalkan monetisasi semua segmen bisnis agar bisa mencetak laba.
Ada sinyal investor global bakal menarik dana dari perusahaan teknologi.
DUDUK santai di jok sepeda motor yang diparkir di dekat restoran ternama di Kota Bogor, Jawa Barat, Arif Prasetyo bolak-balik mengecek telepon selulernya. Pengemudi Gojek itu berharap ada pengunjung restoran yang nyangkut di aplikasi digitalnya. Dia resah karena penghasilannya belum meningkat dua bulan setelah kenaikan tarif ojek online berlaku. Bahkan Arif merasa tekor lantaran harga bahan bakar minyak naik dan pendapatannya dipotong oleh GoTo selaku penyedia aplikasi. "Ada potongan 20 persen," katanya kepada Tempo, Jumat, 4 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 667 Tahun 2022 tentang tarif baru untuk ojek online berlaku mulai 11 September lalu. Selain mengatur batas atas dan batas bawah tarif, pemerintah menurunkan biaya tidak langsung berupa sewa atas penggunaan aplikasi dari 20 persen menjadi maksimal 15 persen. Namun Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia Lily Pujiati mengatakan perusahaan pemilik aplikasi ojek online melanggar aturan tersebut. “Bahkan potongan mencapai 20 persen hingga hampir 40 persen,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di luar itu, masih ada potongan lain. Seorang pengemudi GoCar, Fajar, mengatakan penghasilannya masih dipotong lagi Rp 5.000 untuk perusahaan. Dia memberi contoh, ongkos Rp 30 ribu yang dibayar penumpang dipotong 20 persen dan dikurangi lagi Rp 5.000. “Jadi yang diterima driver bersihnya kurang-lebih Rp 19 ribu.”
Kisah mitra pedagang atau merchant GoFood lain lagi. Indra Aryadi, pengelola jaringan belasan kedai #ngopidirumah, menyebutkan pendapatan yang ia peroleh dari konsumen GoFood dipotong 20 persen. GoFood juga menawarkan berbagai fasilitas, seperti mesin kasir elektronik atau EDC Gopay Spots dan aplikasi GoKasir. “Ujung-ujungnya kami disuruh bayar.” Cerita-cerita seperti itu, menurut Indra, ramai diperbincangkan di grup WhatsApp merchant GoFood.
Mitra Gojek menunggu pesanan pelanggan di sebuah kedai kopi di Pasar Santa, Jakarta, 4 November 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Kenaikan tarif yang dirasakan para mitra Gojek dan GoFood terjadi saat PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk berupaya mendongkrak pendapatan. Dalam pengumuman kinerja kuartal II dan semester I 2022, emiten bursa efek berkode GOTO itu berupaya meningkatkan monetisasi layanan on-demand seperti ojek online dan e-commerce. Monetisasi yang dimaksud adalah pendapatan berbasis komisi dari mitra pengemudi dan merchant berupa potongan dari setiap transaksi.
GoTo menaikkan pungutan atau take rate mitra pengemudi dan merchant masing-masing 60 basis point dan 18 basis point menjadi 21,6 persen dan 3,1 persen. Perusahaan itu juga memperbarui skema take rate pedagang dalam bisnis e-commerce serta memberlakukan platform fee. Ada pula upaya mengurangi jumlah insentif sebagai persentase dari nilai transaksi bruto atau gross transaction value sebanyak 52 basis point dibanding pada kuartal sebelumnya. Upaya monetisasi itu diambil sebagai langkah menuju skala usaha yang menguntungkan.
Chief of Corporate Affairs GoTo Nila Marita optimistis, selepas penggabungan Gojek dan Tokopedia pada pertengahan 2021, perusahaannya bisa mempercepat pencapaian profitabilitas. “Kinerja kami pada beberapa kuartal terakhir menegaskan bahwa langkah kami sudah di jalur yang tepat,” tuturnya pada Jumat, 4 November lalu.
Nila mengungkapkan, dalam enam bulan pertama tahun ini, nilai transaksi bruto di GoTo sudah melampaui Rp 290 triliun atau 42 persen lebih tinggi dibanding pada tahun sebelumnya. Pendapatan bruto, dia menambahkan, naik 49 persen. Nila mengklaim pertumbuhan tersebut didukung kepercayaan jutaan mitra pengemudi, merchant, dan konsumen dalam ekosistem GoTo. “Bahwa kami menyediakan produk dan layanan terbaik yang memudahkan mereka,” katanya.
Selain mempercepat pencapaian profitabilitas, Nila melanjutkan, GoTo membuat berbagai inovasi produk dan layanan. Salah satunya PLUS by GoTo, yang diluncurkan pada 23 Agustus lalu. Ini adalah layanan pengiriman bebas ongkos kirim tanpa batas dengan waktu pemrosesan pesanan yang lebih cepat. Produk baru lain adalah GoPayLater Cicil, yakni fasilitas pembayaran beli sekarang bayar nanti atau paylater dengan skema cicilan. Dia yakin layanan baru itu bakal mengerek pendapatan GoTo.
Pada Agustus lalu, GoTo menyampaikan pedoman perseroan untuk mencapai break-even margin atau titik impas. Dalam pedoman itu, GoTo menetapkan komitmen untuk mencapai kinerja keuangan yang positif pada kuartal I 2024 dengan ditopang capaian berbagai lini bisnis. Karena itu, “Setiap langkah yang diambil perseroan saat ini berupaya mendukung pencapaian target profitabilitas,” Nila menambahkan.
Masalahnya, laporan keuangan konsolidasi interim GoTo masih mencatat rugi periode berjalan sebesar Rp 14,169 triliun pada Juni 2022. Angka tersebut meningkat jika dibanding kerugian pada periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat Rp 6,617 triliun.
Padahal GoTo membukukan peningkatan pendapatan bersih dari Rp 1,961 triliun pada Juni 2021 menjadi Rp 3,399 triliun per Juni 2022. Tapi beban operasinya melonjak, terutama dari pos beban penjualan dan pemasaran. Nilai beban meningkat dari Rp 1,892 triliun pada Juni 2021 menjadi Rp 6,347 triliun pada Juni 2022.
Di tengah upaya GoTo mencetak untung, ada sinyal waspada bagi semua perusahaan teknologi. The Straits Times melaporkan dalam sebuah pertemuan yang dihadiri petinggi perusahaan modal ventura dan perusahaan teknologi dunia pada pertengahan Oktober lalu di Singapura, terungkap kecenderungan balik arah investor. Para pemodal sebelumnya berlomba-lomba menggelontorkan dana ke perusahaan teknologi, tapi kini mereka mulai menarik diri.
Menurut CB Insights—lembaga penelitian modal ventura internasional—nilai modal ventura global merosot menjadi US$ 74,5 miliar dalam tiga bulan terakhir atau angka terendah dalam sembilan kuartal. Angka ini turun 34 persen dibanding pada triwulan sebelumnya dan disebut sebagai penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir. Fenomena penarikan modal ini terjadi di tengah ancaman resesi ekonomi dunia. Di tengah kondisi itu, investor menganggap uang tunai sebagai raja sekaligus ratu. Artinya, lebih baik menabung atau menahan dana untuk sementara ketimbang berinvestasi.
Toh, GoTo tidak ciut nyali menghadapi sinyal buruk itu. Nila mengatakan, meskipun dapat mengandalkan pendanaan eksternal sebagai pilihan, GoTo kini berkomitmen menjalankan operasinya secara mandiri. “Kami sudah memulai dengan efisiensi permodalan,” ujarnya.
FACHRI REZA NOVIAN, RIRI RAHAYU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo