KALAU ucapan di atas menimbulkan asosiasi yang tidak-tidak dalam
pikiran, ya pantas saja. Apalagi diucapkan seseorang yang di
waktu senggang senang berbincang-bincang tentang tanda-tanda
wanita cantik ('lihat dulu tumitnya'), atau 'ngalamat'nya wanita
hanyak anak (walud, menurut bahasa pesantren) dan banyak
bercerita tentang cara-cara 'menjinakkan' istri yang rewel dan
cerewet.
Tetapi ternyata bukan pengertian porno yang jadi arah ucapan
tersebut. Kiai Wahab Chasbullah menggunakannya sebagai motto
sikap hidupnya dalam menghadapi perkembangan politik semasa NU
masih jadi partai dahulu.
Dalam kasus pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Kiai Bisri
Syansuri sebagai waki]nya dalam PB Syuriah NU mati-matian
menolak tindakan poliLik mendiang Presiden Soekarno sehabis
mendekritkan kembalinya UUD 1945 di tahun 1959 itu. Tidak sah
membubarkan DPR hasil pilihan rakyat, katanya. Haram untuk ikut
dalam DPR-CR yang dibentuk secara tunjukan belaka sebagai
gantinya. Masjumi dihilangkan haknya di situ, berarti hak
seperempat jumlah rakyat pemilih, yaitu mereka yang nyoblos
tanda gambar Bintang Bulan dalam Pemilu 1955. Dan ini berarti
pencurian hak orang banyak, 'nggasab' menurut bahasa pesantren
diambilkan dari kata ghaslab yang berarti pengambilan hak orang
lain secara tidak sah.
Begitulah kurang lebih pendapat Kiai Bisri dalam perdebtan
sengit pada sidang Syuriah kala itu. Merah mukanyia suaranya
semakin lama semakin lantang, punggungnya semakin tegak dengan
ketahanan duduk bersila berjam-jam lamanya tanpa mengubah posisi
sama sekali. Tangannya juga berkali-kali memukul meja marmer
yang dijadikan meja sidang. Saur manuk, kata orang Jawa mengenai
prosedur rapat yang sudah kacau balau itu: saling bersahutan
antara dua lawan pendirian itu, tanpa mengindahkan lagi
wewenang mengatur lalu-lintas berbicara di tangan ketua sidang.
Bagaimana akan ditertibkan kalau yang berdebat begitu saja
adalah justru Ra'is 'Am Kiai Wahab dan Wakil Ra'is 'Am-nya, Kiai
Bisri?
Sampeyan seenaknya saja membuat keputusan hukum agama, terlalu
murah. Tidak memperkuat keyakinan agama, nanti orang terbiasa
memudahkan ajaran agama. Bagaimana jadinya umat kita nanti kalau
sudah begitu? Sampeyan yang menjadi sebab, begitulah kira-kira
rangkaian tuduhan Kiai Bisri kepada iparnya, Kiai Wahab.
Sampeyan sendiri yang main keras saja. Yang akan kita beri
keputusan ini adalah orang banyak, tidak seperti kita. Banyak
yang tidak kuat kalau pakai cara sampeyan ini. Antara yang
'berat' dan 'ringan' dalam soal agama, justru harus diambil
ringannya kalau menyangkut kcpentingan orang banyak. 'Kiai
populis' Wahab Chasbullah yang punya sedan Opel Kapitan model
terbaru tahun itu menudingkan 'tuduhan main keras' itu kepada
'Kiai elitis' Bisri Syansuri yang tidak pernah punya mobil
sebuah pun selama hidupnya.
Mari kita ambil yang ringan saja dalam masalah DPR-GR ini.
Gasaban atau tidaknya belum pasti. Yang jelas kalau tidak masuk,
bukan haknya Masjumi saja yang hilang. Umat Islam semuanya juga
kan kehilangan hak mereka. Ini satu-satunya peluang untuk
memperjuangkan hak di lembaga perwakilan rakyat di negeri kita
saat ini Sulit untuk masuk kalau kita tolak kali ini Kalau
memang sudah ternyata nanti bertentangan dengan keyakinan agama,
kita dapat kelual berssma-sama. Masuknya sulit, keluarnya
mudah.
Dan seperti biasa, Kiai Bisri tetap pada pendiriannyal sedangkan
Kiai Wahab jalan terus. NU mempersilakan yang setuju untuk
menerima keanggotaan DPR-GR itu. Pada yang berkeras,
dipersilakan agar menolak. Sedang kedua kiai tua yang ber-iparan
itu tetap saja berbeda pendapat dalam hampir semua persoalan,
sambil tetap menghargai satu sama lain dalam kehidupan pribadi
mereka.
Tidak heranlah jika lalu tejadi metamorfose pada waktu Kiai
Wahab wafat dan Kiai Bisri menggantikannya sebagai Ra'is 'Am
dalam tahun 1972. Kiai Bisri lalu lebih bersikap 'ngemong'
kepada cara berpikir seperti Kiai Wahab itu. seolah-olah ingin
menyatukan kedua kecenderungan itu dalam membuat keputusan.
Maklum, sejak waktu itu hingga saat kepulangannya ke rahmatullah
beberapa waktu yang lalu, Kiai Bisri harus sering mengambil
keputusan sendirian saja Lain-lainnya di PBNU dan kemudian di
DPP-PPP lebih berperan menyediakan bahan pertimbangan. Siapa
berani coba-coba adu pendapat dengan 'mBah Bisri', kalau tidak
punya 'senjata ajaib' seperti motto Kiai Wahab 'sulit masuknya
dan gampang keluarnya itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini