Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sulit Masuknya Mudah Keluarnya

Terjadi adu argumentasi antara rais am NU kiai wahab dan wakilnya, kiai basri. yang menjadi masalah yaitu tentang masuk tidaknya nu ke dalam keanggotaan dpr-gr. hingga dalam th 1972 kiai basri wafat.

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU ucapan di atas menimbulkan asosiasi yang tidak-tidak dalam pikiran, ya pantas saja. Apalagi diucapkan seseorang yang di waktu senggang senang berbincang-bincang tentang tanda-tanda wanita cantik ('lihat dulu tumitnya'), atau 'ngalamat'nya wanita hanyak anak (walud, menurut bahasa pesantren) dan banyak bercerita tentang cara-cara 'menjinakkan' istri yang rewel dan cerewet. Tetapi ternyata bukan pengertian porno yang jadi arah ucapan tersebut. Kiai Wahab Chasbullah menggunakannya sebagai motto sikap hidupnya dalam menghadapi perkembangan politik semasa NU masih jadi partai dahulu. Dalam kasus pembubaran DPR hasil Pemilu 1955. Kiai Bisri Syansuri sebagai waki]nya dalam PB Syuriah NU mati-matian menolak tindakan poliLik mendiang Presiden Soekarno sehabis mendekritkan kembalinya UUD 1945 di tahun 1959 itu. Tidak sah membubarkan DPR hasil pilihan rakyat, katanya. Haram untuk ikut dalam DPR-CR yang dibentuk secara tunjukan belaka sebagai gantinya. Masjumi dihilangkan haknya di situ, berarti hak seperempat jumlah rakyat pemilih, yaitu mereka yang nyoblos tanda gambar Bintang Bulan dalam Pemilu 1955. Dan ini berarti pencurian hak orang banyak, 'nggasab' menurut bahasa pesantren diambilkan dari kata ghaslab yang berarti pengambilan hak orang lain secara tidak sah. Begitulah kurang lebih pendapat Kiai Bisri dalam perdebtan sengit pada sidang Syuriah kala itu. Merah mukanyia suaranya semakin lama semakin lantang, punggungnya semakin tegak dengan ketahanan duduk bersila berjam-jam lamanya tanpa mengubah posisi sama sekali. Tangannya juga berkali-kali memukul meja marmer yang dijadikan meja sidang. Saur manuk, kata orang Jawa mengenai prosedur rapat yang sudah kacau balau itu: saling bersahutan antara dua lawan pendirian itu, tanpa mengindahkan lagi wewenang mengatur lalu-lintas berbicara di tangan ketua sidang. Bagaimana akan ditertibkan kalau yang berdebat begitu saja adalah justru Ra'is 'Am Kiai Wahab dan Wakil Ra'is 'Am-nya, Kiai Bisri? Sampeyan seenaknya saja membuat keputusan hukum agama, terlalu murah. Tidak memperkuat keyakinan agama, nanti orang terbiasa memudahkan ajaran agama. Bagaimana jadinya umat kita nanti kalau sudah begitu? Sampeyan yang menjadi sebab, begitulah kira-kira rangkaian tuduhan Kiai Bisri kepada iparnya, Kiai Wahab. Sampeyan sendiri yang main keras saja. Yang akan kita beri keputusan ini adalah orang banyak, tidak seperti kita. Banyak yang tidak kuat kalau pakai cara sampeyan ini. Antara yang 'berat' dan 'ringan' dalam soal agama, justru harus diambil ringannya kalau menyangkut kcpentingan orang banyak. 'Kiai populis' Wahab Chasbullah yang punya sedan Opel Kapitan model terbaru tahun itu menudingkan 'tuduhan main keras' itu kepada 'Kiai elitis' Bisri Syansuri yang tidak pernah punya mobil sebuah pun selama hidupnya. Mari kita ambil yang ringan saja dalam masalah DPR-GR ini. Gasaban atau tidaknya belum pasti. Yang jelas kalau tidak masuk, bukan haknya Masjumi saja yang hilang. Umat Islam semuanya juga kan kehilangan hak mereka. Ini satu-satunya peluang untuk memperjuangkan hak di lembaga perwakilan rakyat di negeri kita saat ini Sulit untuk masuk kalau kita tolak kali ini Kalau memang sudah ternyata nanti bertentangan dengan keyakinan agama, kita dapat kelual berssma-sama. Masuknya sulit, keluarnya mudah. Dan seperti biasa, Kiai Bisri tetap pada pendiriannyal sedangkan Kiai Wahab jalan terus. NU mempersilakan yang setuju untuk menerima keanggotaan DPR-GR itu. Pada yang berkeras, dipersilakan agar menolak. Sedang kedua kiai tua yang ber-iparan itu tetap saja berbeda pendapat dalam hampir semua persoalan, sambil tetap menghargai satu sama lain dalam kehidupan pribadi mereka. Tidak heranlah jika lalu tejadi metamorfose pada waktu Kiai Wahab wafat dan Kiai Bisri menggantikannya sebagai Ra'is 'Am dalam tahun 1972. Kiai Bisri lalu lebih bersikap 'ngemong' kepada cara berpikir seperti Kiai Wahab itu. seolah-olah ingin menyatukan kedua kecenderungan itu dalam membuat keputusan. Maklum, sejak waktu itu hingga saat kepulangannya ke rahmatullah beberapa waktu yang lalu, Kiai Bisri harus sering mengambil keputusan sendirian saja Lain-lainnya di PBNU dan kemudian di DPP-PPP lebih berperan menyediakan bahan pertimbangan. Siapa berani coba-coba adu pendapat dengan 'mBah Bisri', kalau tidak punya 'senjata ajaib' seperti motto Kiai Wahab 'sulit masuknya dan gampang keluarnya itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus