SELEMBUT BUNGA
Karya: Aryanti
Penerbit: Gaya Favorit Press, 1978
Tebal: 144 halaman
ADA kecenderungan kuat dalam perkembangan penulisan novel modern
menggunakan gaya akuan, untuk mengurus dunia bawah sadar manusia
seteliti-telitinya. Dalam novel semacam itu, si aku yang menjadi
pencerita adalah tokoh utama yang secara tajam menatap dirinya
sendiri dan sekaligus mencoba menganalisanya. Tokoh rekaan yang
demikian, jelas tidak diberi peluang cukup banyak untuk melihat
ke luar dirinya baginya kenyataan berpusat dalam gejolak
kehidupan batinnya.
Dalam novel-novel yang rendah mutunya, gaya akuan serupa itu
cenderung menghasilkan sentimentalitas. Si aku, yang dalam
banyak hal mencerminkan pengarang, tidak memiliki daya kritik
yang tinggi untuk menganalisa diri sendiri. Gaya demikian
memerlukan penguasaan teknik penulisan yang kuat, suatu hal yang
hanya dimiliki oleh beberapa novelis yang baik. Si pencerita
yang sekaligus menjadi tokoh utama itu, harus mampu memandang
dirinya sendiri sebagai subyek secara obyektif.
Pengumpul Informasi
Selembut Bunga tidak mempergunakan gaya akuan semacam itu. Si
aku, atau "saya", dalam novel ini tidak diciptakan pengarang
untuk mengorek dirinya sendiri. Pencerita itu hanyalah seorang
pelapor yang menceritakan tentang sederet peristiwa yang menimpa
beberapa tokoh rekaan lain.
Barangkali kata "hanyalah" tidak tepat, sebab si aku ini sangat
penting fungsinya dalam struktur keseluruhan novel ini. Ia
mendengar, melihat, dan kemudian melaporkan peristiwa demi
peristiwa di luar dirinya-- tanpa ada usaha untuk melibatkan
diri di dalamnya secara emosional. Ia bersikap seolah-olah yang
terjadi itu adalah tontonan yang menarik untuk diikuti, tidak
menegangkan, dan merupakan bahan pergunjingan ringan. Si aku
tidak berusaha menampilkan dirinya sebagai norma terhadap tokoh
utama dan peristiwa dalam novel ini. Ia adalah pengumpul
informasi.
Alur utama novel ini menyangkut sepasang tokoh suami istri,
Lewis dan Cynthia. Suami itu adalah seorang peneliti Australia,
yan sedang bertugas mengadakan penelitian di Jawa Tengah.
Cerita tentang mereka itu sangat\ringkas. Dalam mengerjakan
penelitiannya, Lewis dibantu seorang asisten, Harni, yang cakap
dan cakep. Hubungan antara peneliti dan asistennya membuahkan
hasil sampingan yang sama sekali tidak diharapkan Cynthia,
Elarni dihamili Lewis.
Krisis rumah tangga terjadi, tentu saja. Dan kemudian juga
menjalar ke keluarga Harni, "gadis" Jawa itu. Akhirnya: Harni
berketetapan untuk tinggal di sebuah kota kecil, mengurus bisnis
peternakan. Cynthia memutuskan untuk mengambil anak tirinya,
dalam usahanya untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga
Lewis sepakat saja.
Jelas bahwa fokus tertuju pada Cynthia dan krisisnya. Dalam
novel yang ditulis pengarang wanita ini sosok lakilaki memang
agak kabur. Lewis, yang sekilas tampak sebagai salah seorang
tokoh utama, ternyata adalah tokoh bawahan yang segi-seginya
sebagai manusia sedikit saja terungkapkan. Sebaliknya tokoh
Harni, yang hanya beberapa kali muncul -- dan kebanyakan hana
dalam gosip di antara ibu-ibu --memiliki sosok yang lebih tegas
Ini menunjukkan arah perhatian pengarang.
Konsep penokohan yang secara tegas membedakan antara tokoh utama
dan tokoh bawahan tidak jarang menimbulkan kesulitan. Dalam hal
Selembut Bunga, si aku yang melaporkan peristiwa, yang secara
teoritis adalah tokoh bawahan, dari segi teknis penulisan sangat
menentukan mutu novel ini. Si aku telah diciptakan sebagai
wanita yang memiliki watak khas, yakni rasa ingin tahu. Watak
inilah sebenarnya yang menjadi "penyebab" peristiwa demi
peristiwa yang terjadi dalam dunia rekaan ini. Si aku adalah
tipe ibu-ibu dari golongan menengah yang gemar melakukan
berbagai kegiatan sosial--yang berguna maupun yang tidak.
Laporan Dingin
Yang pantas dicatat dari novel ini, adalah bahwa si aku tidak
terbawa oleh emosinya. Ia tidak hanya bersikap kritis terhadap
sasaran rasa ingin tahunya, yakni krisis Lewis-Cynthia-Harni,
tetapi juga terhadap sumber informasinya.
Dengan demikian novel ini adalah semacam laporan yang
disampaikan secara "dingin". Dan ternyata cara ini telah
berhasil menghindarkannya dari sentimentalitas, suatu cacat yang
merusak sebagian besar novel yang ditulis di sini. Pembebasan
dari sentimentalitas ini antara lain dicapai dengan bahasa yang
tidak metaforis, namun berhasil menumbuhkan serangkaian citra
yang membantu unsur-unsur penting.
Kelemahan penggunaan bahasa metaforik tampak pada judul dan
bagian penutup Selembut Bunga. Penutup yang menjelaskan bahwa
cinta Cynthia yang "selembut bunga" itu "tidak jadi
terinjak-injak atau dibuang" dan bahwa cintanya lebih menyerupai
"gunung api" yang "meledak-meledak tetapi sanggup dan bersedia
kembali memikul segalagalanya," memang memberi kesan
sentimental. Penggunaan perbandingan serupa itu merupakan
perkecualian dalam novel ini, dan sekaligus juga membuhtikan
bahwa bahasa metaforis memerlukan penggarapan tersendiri.
Secara keseluruhan, novel Aryanti ini menunjukkan sesuatu yang
unik dalam gaya penceritaannya. Gaya itu telah menampilkan rasa
ingin tahu wanita, watak yang hampir sepenuhnya berfungsi
sebagai tokoh, yang menjadi sumber dan sekaligus pengikat latar,
peristiwa, dan tokoh-tokoh lain. Gaya yang "dingin" itu ternyata
dapat menjadi sumber juga bagi pandangan kita terhadap cinta
suami istri, masalah universal itu yang kali ini menimpa orang
asing.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini