YANG cepat bisa ditangkap dari pameran lukisan Uni Soviet:
wajah-wajah kosong, tanpa ekspresi.
Di Pusat Kebudayaan Soviet, Jakarta, pekan lalu, 27 lukisan
tahun 70-an --karya 27 pelukis yang sebagian besar lahir tahun
40-an--susah dinilai istimewakah itu atau biasa, dilihat dari
konteks negerinya. Perkembangan seni rupa di negeri itu memang
tak terkabarkan ke luar. Berbeda misalnya dengan negeri Eropa
Timur lainnya, seperti Polandia atau Cekoslowakia yang betapapun
terasa lebih bebas.
Yang jelas pada pameran ini terlihat terbatasnya pilihan. Semua
saja masih figuratif -- itu pun hanya melukiskan hal-hal
terbatas pula: potret orang, pemandangan, alam benda atau buruh
lagi bekerja.
Dan nyaris semuanya bak poster. Satu situasi atau suasana khusus
yang menjadi milik lukisan itu, tak ada. Sebuah potret Gadis
Memegang Buah Jeruk karya Ann Mikk, 34 tahun, sama sekali tanpa
ekspresi. Kosong. Suara pribadi, agaknya, dengan hati-hati,
berhasil ditiadakan.
Ini tentu saja agak ironis, bagi yang tak kenal Rusia. Di thun
20-an, ketika dunia seni rupa mengalami perkembangan yang
membuka segala kemungkinan yang kemudian melahiirkan seni
nonfiguratif, pop art, op art, bappening dan lain-lain,
senirupawan Soviet waktu itu ambil bagian. Kasimir Malevich,
Naum Gabo antara lain, dikenal sebagai pelpor yang disebut
kontruktivisme. Ianpa lewat kubisme, Malevich langsung
menyusun bentuk dan berakhir pada satu lukisan yang terkenal,
Putih diatas Putih.
Tubuh Berkeringat
Tapi di tahun 30 $ampai 40-an, Stalin menutup semua hubungan
dengan dunia luar dan menegakkan Realisme Sosialis dengan ketat,
Rumus seni macam itu harus mencerminkan semangat partai. Dan
ketika Stalin meninggal, 1953, praktis Rusia tak mengenal
perkembangan senirupa dunia. Yang dirintis Malevich dan
kawan-kawannya lenyap tanpa jejak.
Toh, meski tak sesering dan sepopuler penangkapan atau
pengusiran sastrawan di negeri beruang itu, ternyata senirupawan
yang ingin melepaskan diri dari garis partai ada juga. September
1974, di sebuah kota di distrik Moskow sekelompok pelukis
memamerkan karya. Sementara para wartawan memotret mereka,
sebuah buldoser dan truk sampah siap menggusur. Peristiwa
berakhir dengan pembakaran sejumlah karya dan penahanan 4
pelukis.
Memang agak susah berkarya di sana, kecuali bagi yang tunduk
pada garis partai dan bergabung dalam Persatuan Seniman Soviet.
Tanpa jalan itu, berbagai tantangan harus dihadapi bagaimana
mendapat material, mencari kesempatan pameran, dan publikasi.
Maklum, siapa yang punya cita-cita bekerja paksa di padang salju
Siberia.
Maka terasa sia-sia, kalau tidak satu kebohongan rutin, tulisan
di brosur yang menyertai pameran di Jakarta ini. Misalnya para
pelukis Rusia "berusaha mengungkapkan ciri-ciri utama dalam diri
manusia, batin-batinnya yang dalam." Padahal bahkan baju lusuh
dan tubuh berkeringat sangat dihindari meski itu baju dan tubuh
"para buruh perkasa" yang lai kerja keras. Seperti suasana
sebuah "surga" yang mati. Bukan dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini