Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Libur Puasa (Tak) Bersubsidi

Depdikbud telah mengirim ketentuan tentang masalah libur puasa ke seluruh kanwil. sekolah yang tak patuh dikenakan sanksi. muhammadiyah terancam subsidinya.

12 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH libur puasa teringat kembali, ketika Munas II Majelis Ulama Indonesia satu setengah bulan lalu meminta kepada pemerintah agar meliburkan sekolah di bulan Ramadhan. Alasan masuk sekolah di bulan puasa ternyata tidak efisien, akibatnya hanya membuang waktu, sementara keperluan pendidikan agama secara lebih intensif dirugikan. Tak lama kemudian Menteri Daoed Joesoef di DPR menegaskan tetap membuka sekolah sambil berpuasa. Juga tetap mengenakan sanksi terhadap lembaga pendidikan yang berhubungan dngan departemennya yang tidak patuh agak mengejutkan, ketika kemudian harian Pikiran Rakyat Bandung mengutil pidato Ketua Umum Golkar Amir Murtono 28 Juni lalu di Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-7: bahwa Majelis Dakwah Islamiyah (MDI-Golkar) mengusulkan kepada pemerintah untuk melihurkan Sekolah Dasar ke bawah. Apa reaksi pihak P&K? Pekan lalu, Sekretaris Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah mengatakan "Peraturan sekolah di bulan puasa tetap seperti tahun lalu, hanya ada perubahan teknis sedikit" -- yakni adanya ketentuan lebih jelas mengenai liburan sekitar Idul Fitri. Jadinya: libur 3 hari di awal puasa, 3 hari menjelang Idul Fitri dan 4 hari sesudahnya. Ketentuan tentang keringanan tetap sama: jam pelajaran dikurangi, pelajaran praktek dan olahraga hanya diberikan teorinya. Dan keputusan itu telah dikirimkan ke Kanwil Dep. P&K seluruh Indonesia. Libur Delapan Hari Bagaimana dengan usul MDI? Sayangnya Sekjennya, Zainal Umar Sidiki, tak bersedia menjelaskan apa-apa. Bahkan Menteri P&K, sehabis membuka pameran lukisan di Balai Budaya pekan lalu, kepada TEMPO mengatakan "tidak menerima keputusan MDI" tersebut -yang memang kurang jelas apakah memang dikirimkan ke alamat P&K. Sebaliknya Daoed Joesoef menyatakan perlunya sekolah buka di bulan puasa itu untuk "mendidik kesadaran pada anak menaati peraturan pemerintah," alias "mendidik warga negara yang patuh." Bisa dipahami bila kemudian Muhammadiyah, yang tidak "patuh", terkena tindakan. Rencana pengangkatan 4.500 guru swasta tahun lalu sebagai pegawai negeri, halnya dilaksanakan terhadap 4.100 oran g saja. Sisa 400 itu ternyata guru-guru perguruan Muhammadiyah. Dibatalkan? "Bukan. Tapi ditangguhkan dulu, kata Kepala Biro Kepegawaian Dep. PBK. Apakah Muhammadiyah lantas "jera"? Daoed Joesoef mengatakan: "ada surat dari Muhammadiyah yang menyatakan akan menaati peraturan pemerintah." Tapi H. Djarnawi Hadikusumo, Sekretaris Pucuk Pimpinan Muhammadiyah, menyatakan tak tahu-menahu. Sementara KH A.R. Fakhruddin, Ketua PP, kepada TEMPO mengatakan: "Muhammadiyah tidak pernah memberikan keputusan bahwa sekolah-sekolahnya tidak libur." Memang, tahun ini PP Muhammadiyah akan mengisi juga bulan puasa dengan kegiatan sekolah. Berdasar Pedoman Kalender Tahun Ajaran 1980/81, perguruan Muhammadiyah membuka sekolahnya di bulan Ramadhan ini pada 16 - 24 Juli, alias 8 hari. Maksudnya "menekankan segi keagamaan dan peribadatan," kata Ketua PP. Tapi "bisa juga dipakai menambah pelajaran yang belum terpenuhi, sesuai dengan kurikulum." Zaman Belanda Muhammadiyah adalah organisasi yang moderat. Bahkan sejak zaman Belanda dulu, sekolah-sekolahnya selalu menerima subsidi pemerintah. Dan berapa subsidi yang diterimanya dari Departemen P&K, yang harus diimbangi dengan kepatuhan itu? Tak besar. Tahun 1978/79, untuk sekitar 12 ribu sekolah Muhammadiyah itu, hanya berjumlah Rp 62,8 juta. Tahun 1979/80 menurun menjadi Rp 51, 6 juta. Tapi, memang pengangkatan guru Muhammadiyah menjadi pegawai negeri, misalnya, sangat membantu. Baik bagi pihak organisasi, karena tak perlu menyediakan guru tersebut, maupun bagi si guru tentunya. Bagi Prof. Kasman Singodimedjo, Wakil Ketua PP, penyetopan subsidi "bisa berakibat jauh" -- meski tidak harus berarti dalam hal "nasib" alias kemunduran. Sebab seperti pernah dikatakan A.R. Fakhruddin, subsidi dari warga Muhammadiyah sendiri, termasuk dari, misalnya, dokter-dokter mereka yang dibayar sangat murah, sebenarnya sangat besar. Karena itu, kata Kasman, "apa pun risikonya, Muhammadiyah akan tetap menyelenggarakan pendidikan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus