MASALAH libur puasa teringat kembali, ketika Munas II Majelis
Ulama Indonesia satu setengah bulan lalu meminta kepada
pemerintah agar meliburkan sekolah di bulan Ramadhan. Alasan
masuk sekolah di bulan puasa ternyata tidak efisien, akibatnya
hanya membuang waktu, sementara keperluan pendidikan agama
secara lebih intensif dirugikan.
Tak lama kemudian Menteri Daoed Joesoef di DPR menegaskan tetap
membuka sekolah sambil berpuasa. Juga tetap mengenakan sanksi
terhadap lembaga pendidikan yang berhubungan dngan departemennya
yang tidak patuh agak mengejutkan, ketika kemudian harian
Pikiran Rakyat Bandung mengutil pidato Ketua Umum Golkar Amir
Murtono 28 Juni lalu di Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-7: bahwa
Majelis Dakwah Islamiyah (MDI-Golkar) mengusulkan kepada
pemerintah untuk melihurkan Sekolah Dasar ke bawah. Apa reaksi
pihak P&K?
Pekan lalu, Sekretaris Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah
mengatakan "Peraturan sekolah di bulan puasa tetap seperti tahun
lalu, hanya ada perubahan teknis sedikit" -- yakni adanya
ketentuan lebih jelas mengenai liburan sekitar Idul Fitri.
Jadinya: libur 3 hari di awal puasa, 3 hari menjelang Idul Fitri
dan 4 hari sesudahnya. Ketentuan tentang keringanan tetap sama:
jam pelajaran dikurangi, pelajaran praktek dan olahraga hanya
diberikan teorinya. Dan keputusan itu telah dikirimkan ke Kanwil
Dep. P&K seluruh Indonesia.
Libur Delapan Hari
Bagaimana dengan usul MDI? Sayangnya Sekjennya, Zainal Umar
Sidiki, tak bersedia menjelaskan apa-apa. Bahkan Menteri P&K,
sehabis membuka pameran lukisan di Balai Budaya pekan lalu,
kepada TEMPO mengatakan "tidak menerima keputusan MDI" tersebut
-yang memang kurang jelas apakah memang dikirimkan ke alamat
P&K. Sebaliknya Daoed Joesoef menyatakan perlunya sekolah buka
di bulan puasa itu untuk "mendidik kesadaran pada anak menaati
peraturan pemerintah," alias "mendidik warga negara yang patuh."
Bisa dipahami bila kemudian Muhammadiyah, yang tidak "patuh",
terkena tindakan. Rencana pengangkatan 4.500 guru swasta tahun
lalu sebagai pegawai negeri, halnya dilaksanakan terhadap 4.100
oran g saja. Sisa 400 itu ternyata guru-guru perguruan
Muhammadiyah. Dibatalkan? "Bukan. Tapi ditangguhkan dulu, kata
Kepala Biro Kepegawaian Dep. PBK.
Apakah Muhammadiyah lantas "jera"? Daoed Joesoef mengatakan:
"ada surat dari Muhammadiyah yang menyatakan akan menaati
peraturan pemerintah." Tapi H. Djarnawi Hadikusumo, Sekretaris
Pucuk Pimpinan Muhammadiyah, menyatakan tak tahu-menahu.
Sementara KH A.R. Fakhruddin, Ketua PP, kepada TEMPO mengatakan:
"Muhammadiyah tidak pernah memberikan keputusan bahwa
sekolah-sekolahnya tidak libur."
Memang, tahun ini PP Muhammadiyah akan mengisi juga bulan puasa
dengan kegiatan sekolah. Berdasar Pedoman Kalender Tahun Ajaran
1980/81, perguruan Muhammadiyah membuka sekolahnya di bulan
Ramadhan ini pada 16 - 24 Juli, alias 8 hari.
Maksudnya "menekankan segi keagamaan dan peribadatan," kata
Ketua PP. Tapi "bisa juga dipakai menambah pelajaran yang belum
terpenuhi, sesuai dengan kurikulum."
Zaman Belanda
Muhammadiyah adalah organisasi yang moderat. Bahkan sejak zaman
Belanda dulu, sekolah-sekolahnya selalu menerima subsidi
pemerintah. Dan berapa subsidi yang diterimanya dari Departemen
P&K, yang harus diimbangi dengan kepatuhan itu?
Tak besar. Tahun 1978/79, untuk sekitar 12 ribu sekolah
Muhammadiyah itu, hanya berjumlah Rp 62,8 juta. Tahun 1979/80
menurun menjadi Rp 51, 6 juta.
Tapi, memang pengangkatan guru Muhammadiyah menjadi pegawai
negeri, misalnya, sangat membantu. Baik bagi pihak organisasi,
karena tak perlu menyediakan guru tersebut, maupun bagi si guru
tentunya.
Bagi Prof. Kasman Singodimedjo, Wakil Ketua PP, penyetopan
subsidi "bisa berakibat jauh" -- meski tidak harus berarti dalam
hal "nasib" alias kemunduran. Sebab seperti pernah dikatakan
A.R. Fakhruddin, subsidi dari warga Muhammadiyah sendiri,
termasuk dari, misalnya, dokter-dokter mereka yang dibayar
sangat murah, sebenarnya sangat besar. Karena itu, kata Kasman,
"apa pun risikonya, Muhammadiyah akan tetap menyelenggarakan
pendidikan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini