TERHADAP Sumitro Djojohadikusumo yang pernah menjadi salah seorang tokoh utama PSI (Partai Sosialis Indonesia) di tahun 1950-an itu, wajar orang bertanya: "Apa sih dari tokoh ini yang sosialis?" Ini jika kita melihat sikap politik dan pandangannya yang tak pernah menyimpang dari main stream pemikiran ekonomi. Sumitro sendiri malah tidak pernah menyatakan dirinya sosialis. Julukan sosialis terhadap Sumitro nampaknya berasal dari pengamat ekonomi Barat. Glassburner misalnya, pernah mengatakan, secara nominal Sumitro adalah seorang sosialis, walaupun secara esensial ia sebenarnya lebih tepat disebut pragmatis -- dua pengertian yang sering dipertentangkan. Suatu ketika, menurut sarjana Amerika itu, pemikiran Sumitro pernah bergerak "jauh ke kiri", tapi lebih jelas bersikap "nasionalistis". Ini dikaitkan dengan pandangannya mengenai pentingnya peranan negara melalui perencanaan dan intervensi langsung maupun tak langsung, guna mencairkan stagnasi, mencegah kemunduran ekonomi dalam investasi, dan membina kemampuan teknis-teknologis sumber daya manusia dalam produksi mengingat terbatasnya kelompok wiraswasta yang kreatif dari dalam negeri. Kecuali, katanya, "jika urusan pembangunan hendak diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan asing yang sekarang ini ada di negara kita." Kalau hanya nominal, maka Syafrudin Prawiranegara juga disebut sosialis, tokoh yang pendiriannya dilawankan dengan Sumitro. Padahal, pandangan tertulisnya mengkualifikasikan dirinya "sangat konservatif" dalam konteks Indonesia, walaupun pengertiannya yang rasional-pragmatis mengenal fungsi kapital menjadikannya tokoh yang dikagumi John O'Sutter dalam disertasinya. Syafrudin tidak ragu menganjurkan pengundangan modal asing. Baginya, kegiatan produksi melalui industri yang belum bisa dilakukan bangsa Indonesia dan membutuhkan modal besar lebih baik diserahkan kepada modal asing. Kalau tidak, pertumbuhan ekonomi akan cepat merosot. Pemerintah, yang hanya memiliki dana rupiah dan devisa terbatas, lebih baik mengonsentrasikan upayanya pada pembangunan pertanian, khususnya mencapai swasembada pangan, yang jelas menyerap tenaga kerja banyak dan meningkatkan pendapatan petani. Berbeda dengan Syafrudin, Sumitro secara tegas menganjurkan pembangunan industri, tapi dalam kontrol nasional. Arah pandangannya adalah membangun industri ringan dan dikaitkan dengan pembangunan sektor pertanian. Dalam konteks sekarang, Sumitro tidak akan begitu saja menerima industri teknologi tinggi. Ia pasti akan mempertimbangkan kendala pada struktur ekonomi, kesempatan kerja, dan neraca pembayaran. Ia tidak mau melihat sektor industri dikuasai modal asing. Kerangka pemikiran Sumitro sebenarnya mengandung kritik terhadap kebijaksanaan ekonomi Orde Baru. Dan kritik-kritik masyarakat yang kemudian dialokasikan dalam Repelita II dan GBHN sejak 1978 sejalan dengan garis pemikiran Sumitro. Strategi Industrialisasi substitusi impor tidak pas dengan kerangka gagasan Sumitro. Tapi ia juga tidak sepenuhnya melihat industrialisasi yang berorientasi ke ekspor sebagai jalan keluar. Ia tidak mau mempertentangkan dua strategi itu, karena ia melihat masalahnya secara lain. Obsesinya pada tahun 1950-an adalah memperkuat kemampuan produsen kecil di bidang pertanian maupun industri. Untuk tugas lebih besar, negara perlu melibat diri. Perbankan dan kebijaksanaan moneter (yang pada waktu itu menjadi sasaran kritiknya) harus bisa menjangkau ke situ. Berbeda dengan Syafrudin, yang tidak begitu percaya pada efisiensi dan produktivitas perusahaan negara untuk menjalankan industri, Sumitro ingin membangun sektor negara di bidang produksi dan membantu produsen kecil melalui pusat-pusat pengembangan di sentra-sentra industri rakyat. Hal Ini baru mendapat perhatian pemerintah Orde Baru pada 1978. Pada 1985, Sumitro melontarkan kritik kepada struktur industri sekarang yang nampaknya saja produktif, tapl rapuh, karena mengandung subsidi, proteksi, dan monopoli yang diberikan pemerintah. Apabila tata niaga bahan-bahan industri diatur supaya tidak mengakibatkan distorsi, industri yang dasar efisiensinya rapuh akan mengalami keguncangan. Pemilihan industri untuk dikembangkan, bagi Sumitro, perlu selektif, dengan ukuran-ukuran seperti keuntungan komparatif sebagai dasar melihat kemampuan menghasilkan nilai tambah, mengembangkan sumber daya manusia dan alam, serta mempertimbangkan kendala tersedianya devisa. Industri seperti itu bisa saJa berorientasi ke ekspor, tapi bisa pula memanfaatkan pasar dalam negeri sambil membangun daya beli masyarakat dan memperkuat pasar domestik. Disertasinya, Het Volkscrediet~ezen in de Depressie (1942), yang menyelidiki pengaruh depresi 1930-an terhadap perekonomian dan peranan perkreditan rakyat di Indonesia, senantiasa menjadi sumber orientasinya hingga sekarang. Ia kemudian membaca karya Clement Juglar, ekonom Prancis yang mengemukakan teori fluktuasi bisnis yang mengandung ritme dan gerak siklis dari masa kemakmuran, krisis, dan kemudian likuidasi karena pengaruh kredit perbankan. Dari Nikolai Kodratieff, ekonom Rusia, ia belajar tentang gelombang-gelombang perkembangan ekonomi jangka panjang. Sumitro juga membaca Marx dan Schumpeter. Ia terkesan oleh teori perkembangan ekonomi Schumpeter, terutama mengenai peranan entrepreneur. Mungkin karena pemahamannya tentang inovasi, ia menentang teori dualisme budaya Boeke, yang meremehkan rasionalitas pribumi. Sumitro percaya kepada kemampuan masyarakat melakukan respon terhadap struktur dan rangsangan ekonomi. Setelah membaca Frank Knight, ia bersikap kritis terhadap dunia bisnis, dan melihat perlunya intervensi negara. Kalau menganalisa mekanisme pasar dalam hubungan panawaran-permintaan, ia selalu bertanya, "Siapa yang mengontrol pasar?" Hal-hal terakhir itulah yang membentuk dirinya lebih sebagai political economist daripada sekadar ahli ekonomi teknis. Sumitro melihat persoalan ekonomi dari segi struktur, sistem, dan proses. Walau bidang studi akademisnya adalah moneter, ia menolak pandangan-pandangan moneteris. Pendekatannya lebih strukturalis. Sistem tata maga dan jalur-jalur pemasaran komoditi di pedesaan sudah menjadi perhatiannya sejak dulu. Sumitro memandang pembangunan pertanian dalam kerangka sistem agribisnis, yaitu dengan melihat kaitan ke bel~kang dan ke depan. Apakah ia seorang sosialis? Atau nasionalis? Atau pragmatis? Jawabannya lebih tepat kalau kita melihat fakta-fakta historis yang menjelaskan ciri-ciri pandangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini