Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Surat nikah bung karno

Ada kabar, surat nikah bung karno dengan inggit ganarsih akan dijual untuk membuat museum. ada baiknya bila negara membikin museum untuk sang proklamator yang keluarganya kekurangan dana itu.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TITO Zaini Armain, pegawai Pemda Jawa Barat, punya gagasan hebat: menjual surat nikah Bung Karno dengan Inggit Garnasih. Memang berjuta-juta orang punya surat nikah, tapi surat yang satu ini tentu menarik. Karena bukan saja menyangkut nama seorang pemimpin besar bangsa, melainkan juga soal umur pengantin perempuan -- saat itu 37 tahun tapi tercatat 23 tahun. Ini tidak ada maksud apa-apa, karena sudah biasa wanita di kolong langit sebisa-bisanya menyembunyikan usia yang sebenarnya. Bukan saja surat nikah itu yang dikantungi Tito, sang cucu, sejak neneknya masih hidup, tapi juga surat Bung Karno yang mau menjamin kehidupan Inggit Garnasih sesudah dicerai dengan saksi teman-teman dekat sang pemimpin. Cucu yang cerdik ini pernah membuka ihwal surat perjanjian yang terlupakan itu tak lama sesudah neneknya, Inggit Garnasih, wafat. Karena itu, Mas Agung, seorang teman dekat Almarhum Bung Karno, merasa punya kewajiban moril ikut membantu melunasinya. Tiap Mas Agung ke Bandung, pasti ada sedikit uang ditinggalkannya. Apa betul Bung Karno sama sekali melupakan Inggit Garnasih? Tidak. Setiap ke Bandung, ia pasti datang menjenguk. Dalam sebuah kunjungan ke Jalan Ciateul 8 bersama Ali Sastroamidjojo, di tahun 1960-an, Bung Karno merogoh kantung sebanyak 40 ribu rupiah untuk Inggit Garnasih, agar beli kacang hijau dan beras merah karena ia melihat jandanya itu lesu kurang vitamin. Kenapa 40 ribu? Karena itulah semua uang yang ada di kantungnya. Tentu saja bukan sang cucu, Tito, orang pertama yang punya pikiran bikin museum untuk Bung Karno lewat jual-menjual surat itu. Orang pertama yang punya pikiran itu justru Jusuf Hasyim, pemimpin Pesantren Tebuireng, Jombang, dan Ketua Syuriah PB NU, ketika upacara haul Bung Karno di Blitar, Juni lalu. Tahlilan yang diadakan malam hari di rumah Ibu Wardoyo itu ditambah lagi dengan tahlilan di alun-alun yang melibat puluhan ribu warga NU Blitar dan sekitarnya, diawali dengan pembacaan salawat badar oleh Rachmawati Sukarnoputri. Orang-orang itu tidak punya maksud apa-apa, kecuali mendoakan arwah pemimpin dan proklamator kemerdekaannya. Jusuf Hasyim tidak mengada-ada. Karena suatu bangsa akan tampak telanjang tanpa museum. Suatu bangsa tak akan jelas asal dan juntrungannya tanpa museum. Suatu bangsa bukan saja perlu stasiun, toserba, jembatan layang, dan disko, tapi juga perlu museum, agar jelas apa yang sudah dilakukannya, menghormati kesuksesan-kesuksesannya, dan belajar dari pengalaman supaya tidak kejeblos lagi. Karena tiap bangsa punya pemimpin, kaum semut dan kaum kera saja punya pemimpin, dengan sendirinya pribadi pemimpin itu bisa punya museum. Beethoven punya museum, Maxim Gorky punya museum, Senator Recto dari Filipina punya museum. Kalau mereka perlu, mengapa museum Bung Adam Malik tidak? Mengapa Pak Harto tidak? Dan mengapa Bung Karno tidak? Boleh jadi, yang sedikit ruwet: siapa yang bikin? Tentu negara. Keluarga Bung Karno tak bakalan sanggup membikinnya jangankan bikin museum, rumahnya bersama Inggit Garnasih di Jalan Ciateul saja begitu sederhana -- persis dengan keadaan 60 tahun lalu kecuali ada tambahan kamar mandi. Jangankan bikin museum, sang anak angkat, Ratna Djuami, biji mata yang dibawa ke mana dibuang, hingga sekarang masih menggantungkan hidupnya dari jualan jamu godokan dan bedak dingin merk Ningrum seharga Rp 1.000,00 per bungkus, ditambah honor Inggit Garnasih sebagai Perintis Kemerdekaan sebanyak 75 ribu rupiah sebulan, dan pensiun suaminya Almarhum Asmara Hadi, sebagai anggota DPA, yang entah sudah selesai terurus entah belum. Atas fakta keadaan ekonomi Bapak Republik seperti itu, tanpa mesti menjual surat nikah segala macam, apa salah jika negara membikinkan museum untuk seorang proklamator, seorang presiden pertama, seorang yang dari awal hingga akhir berdiri paling depan dalam perjuangan bangsa menuju kemerdekaan, seorang penggali falsafah Pancasila untuk jadi pegangan nasional yang besar ini? Sudah pasti museum itu tidak lebih mahal dari harga sebuah hotel berbintang empat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus