Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tanah Subur, Buah Impor

Sebuah ironi di negeri gemah ripah loh jinawi. Perlu solusi lain di luar pembatasan pintu masuk impor produk hortikultura.

25 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesuburan negeri ini sudah terkenal sejak zaman dulu. Pujangga masa lalu melukiskannya dengan "gemah ripah loh jinawi", artinya makmur serta sangat subur tanahnya. Ismail Marzuki menulis lagu dengan menyebutkan: "…tanah airku aman dan makmur, pulau kelapa yang amat subur…." Bahkan Koes Plus, grup musik yang lahir setelah kemerdekaan, masih menyanjung dengan lirik "…orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…."

Masihkah tanah kita subur? Nyatanya tanah subur ini tak menghasilkan buah dan sayur yang mencukupi kebutuhan penduduknya. Terbukti buah dan sayur yang dikonsumsi itu masih harus diimpor. Buah dan sayur kita kalah bersaing dengan produk impor. Lihatlah di pasar-pasar, baik pasar tradisional maupun modern. Apel bukan dari Malang, melainkan dari Amerika dan Selandia Baru. Jeruk bukan dari Kalimantan yang dulu dikenal dengan "jeruk Pontianak", juga bukan "jeruk Bali", melainkan dari Cina. Anggur dari cungkuo. Ladang anggur di Bali Utara sudah tak ada lagi. Pepaya, pisang, dan durian datang dari Thailand.

Di Tanjung Priok, Jakarta, 1.000-1.500 kontainer buah dan sayur datang setiap hari dari luar negeri. Jika bicara tentang angka, data statistik menunjukkan perkembangan impor buah dan sayur sangat drastis. Pada 2008, nilai impor produk ini baru US$ 881,6 juta, tapi pada 2011 sudah mencapai US$ 1,7 miliar. Dari Januari hingga April 2012, sebagaimana dipublikasikan Badan Pusat Statistik, ­realisasi impor buah mencapai US$ 298,2 juta atau Rp 2,6 triliun, yang setara dengan 292 ribu ton buah.

Pemerintah mencoba mengerem laju impor ini. Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Selain diperinci masalah keamanan konsumsi dan pelabelan, diatur pula pintu masuk impor. Pelabuhan Tanjung Priok tak lagi bisa digunakan untuk mengimpor buah dan sayur. Importir harus menurunkan barangnya di Pelabuhan Belawan Medan, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, dan Pelabuhan Makassar. Kalau ngotot mau turun di Jakarta, harus lewat Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Peraturan ini memaksa importir menambah biaya transportasi. Sebab, meskipun turun di Pelabuhan Tanjung Perak, misalnya, barang impor itu tak bisa didistribusikan dari sana. Tanjung Perak hanya untuk transit, bahkan Gubernur Jawa Timur Soekarwo sudah membentuk tim pemantau untuk mengawasi lalu lintas produk hortikultura itu. Dengan demikian, teorinya, harga buah dan sayur impor akan mahal dan diharapkan konsumen melirik buah dan sayur lokal.

Sayangnya, peraturan yang tadinya hendak diberlakukan mulai 15 Juni lalu itu dikoreksi lantaran menuai protes. Dengan alasan utama importir tidak siap, peraturan itu baru dijalankan pada 28 September 2012. Penundaan ini disayangkan karena semakin mendorong peningkatan impor produk pertanian. Buah dan sayur diperkirakan akan membanjiri pasar dalam negeri, justru pada saat kebutuhan makin tinggi menjelang Lebaran.

Peraturan menteri itu, meski belum dilaksanakan, hanya salah satu cara memproteksi para petani. Upaya lain harus terus dicari. Menteri Pertanian Suswono, misalnya, menganjurkan petani meninggalkan pupuk pestisida dan beralih ke pupuk organik. Kalau dikampanyekan buah dan sayur lokal lebih sehat karena memakai pupuk organik, kata Suswono, konsumen akan meliriknya. Belum tentu, Pak Menteri. Orang kita biasanya memilih yang kemasannya menarik, harganya murah, dan bergengsi luar negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus