Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA aslinya Hercules Rozario Marshal. Banyak orang masih mengenalnya sebagai "preman Tanah Abang". Lahir di Timor Timur, atau kini Timor Leste, ia lama malang-melintang di dunia kekerasan Jakarta. Pria 44 tahun itu kini punya gelar mentereng: Kanjeng Raden Haryo Yudhopranoto—kesatria penata perang.
Tersebutlah kedatangan Kanjeng Raden Haryo Tumenggung Sumodiningrat Agus Irianto, kerabat Keraton Surakarta, ke kantor Gerakan Rakyat untuk Indonesia Baru di Kemanggisan, Jakarta Barat, akhir Mei lalu. Kepada Hercules, yang sehari-hari berkantor di situ, Agus menghaturkan, "Kami mengundang Pak Hercules menjadi kerabat Keraton Surakarta."
Kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu, Hercules mengatakan sempat mempertanyakan undangan itu. Sebab, ia bukan orang Jawa. Ia juga sadar memiliki latar belakang "gelap". "Saya kan dikenal di dunia yang sangat tidak disukai," katanya. Tapi, menurut dia, Agus berusaha meyakinkan. "Kanjeng Agus waktu itu bilang: semua sudah diatur Allah."
Gerakan Rakyat untuk Indonesia Baru merupakan organisasi tempat Prabowo Subianto, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, menjadi ketua dewan pembina. Kepada tamunya, Hercules mengklaim organisasi yang ia pimpin sejak April lalu itu sering memberi santunan untuk korban bencana.
Agus menceritakan, ketika itu, ia bertanya kepada Hercules: mengapa sering memberi santunan? "Dia menjawab: karena raja-raja Jawa kalau ke luar keraton sering memberi ke orang tak berpunya," kata Agus. Ia juga menilai Hercules "memiliki pengetahuan yang bagus tentang Jawa".
Jadwal pun diatur. Hercules bersama sepuluh anggota rombongannya berangkat ke Surakarta pada 4 Juni. Mereka menginap di Hotel Sunan. Esoknya, mulai pukul 10 pagi, Hercules menjalani serangkaian upacara. Dimulai dari selawatan, pembacaan doa, sampai pengukuhan di Istana Badran, kediaman Panembahan Agung Tedjowulan. Sejak itulah ia resmi menjadi bagian dari Keraton Surakarta.
Ditanya apakah dimintai sumbangan untuk memperoleh gelar itu, Hercules mengatakan tak pernah memberi uang sepeser pun kepada Agus atau keraton. "Malahan hotel dan makanan saya di sana dibiayai mereka," tuturnya. Lalu ia menambahkan, "Tapi, kalau keraton butuh, saya siap dan ikhlas memberi bantuan. Keraton kan bagian dari rumah saya juga."
Toh, gelar bangsawan bisa menjadi sumber niaga. Misalnya tawaran yang disampaikan Lembaga Pengelola Keraton SuraÂkarta Hadiningrat Malaysia. Berkantor di Jalan Ampang, Selangor, lembaga ini berdiri di bawah bendera Yayasan Sasana Narindra. Menurut seorang warga setempat yang pernah bekerja di yayasan itu, gelar bisa didapatkan siapa pun dengan memberi sumbangan ke yayasan. Lalu, dana itu disalurkan ke Keraton Surakarta. "Berapa jumlahnya, saya tak tahu. Soal keuangan, langsung dengan Mr Alex Ong," katanya.
Alex Ong adalah pemilik Yayasan Sasana Narindra. Tak setiap hari ia masuk kantor. Ruangan di lantai tiga rumah toko di belakang pusat belanja Jusco di daerah Maluri, Ampang, itu hanya dijadikan tempat pertemuan. "Itu pun tak terjadwal," ujar sang mantan karyawan.
Tawaran gelar Keraton Surakarta juga dibuka di situs Internet www.rajasurakarta.com. Situs yang mengatasnamakan Istana Surakarta Hadiningrat itu berbahasa Melayu, kecuali pada menu "Sejarah Istana Surakarta" dan "Generasi Raja-Raja".
Dalam situs itu disebutkan pemberian gelar oleh Keraton Surakarta Hadiningrat terbuka untuk semua orang di seluruh dunia. "Tidak mengira warna kulit juga bangsa dan dikategorikan dalam pemberian gelar kepada warga asing," demikian tertulis. Ada delapan gelar yang ditawarkan, di antaranya Darjah Dato’ Kanjeng Raden Tumenggung. Peminat gelar, menurut menu "Syarat Pencalonan Darjah", mesti mengisi formulir.
Alex Ong Yeok Leng dalam situs itu tercatat sebagai Setiausaha Sulit Khas. Tempo berusaha meminta konfirmasi kepada Ong. Dua kali didatangi di kantornya, Ong tak bisa ditemui. "Kantor hanya buka jika ada kegiatan kunjungan ke Surakarta," kata satu sumber.
Dihubungi Jumat pekan lalu, Ketua Lembaga Hukum Keraton Kanjeng Pangeran Eddy Wirabhumi membantah Keraton Surakarta memiliki perwakilan di Malaysia. "Keraton juga tak kenal dengan orang yang namanya Ong," ujar Wirabhumi. Namun ia mengaku Alex Ong bukan nama asing. "Dalam tiga tahun ini, kami menerima seratusan laporan orang yang merasa ditipu."
Keraton Surakarta, Wirabhumi menjelaskan, memang sedang mendalami laporan-laporan tersebut, termasuk soal "orang dalam" yang menjadi penghubung Alex Ong. Pihak keraton enggan membawa kasus ini ke ranah hukum. "Bisa jadi memang praktek percaloan itu melibatkan oknum dari dalam keraton," katanya.
Seorang pejabat dalam keraton menyebutkan pemberian gelar kebangsawanan memiliki berbagai motif. "Memang ada motif ekonomi, baik untuk pribadi maupun kepentingan pembiayaan keraton," ujarnya. Namun tidak jarang gelar kebangsawanan diberikan untuk kepentingan politik, dengan tujuan mempertahankan eksistensi keraton di tengah modernisasi.
Pemberian gelar juga penting saat konflik mendera keraton. Dua putra Paku Buwono XII, Hangabehi dan Tedjowulan, sama-sama menobatkan diri sebagai Paku Buwono XIII. Mereka mencari pengaruh dengan memberi gelar kebangsawanan kepada para tokoh masyarakat. Konflik delapan tahun itu baru selesai dua pekan lalu.
Selain Hercules, banyak pesohor memperoleh gelar bangsawan dari Keraton Surakarta, antara lain Julia Perez, Syahrini, dan Manohara Odelia Pinot. Julia Perez, 32 tahun, mengaku bangga dengan gelar Nyi Mas Ayu Tumenggung—sejak Juli dua tahun lalu. Ia membantah memperoleh gelar itu dengan membeli. "Kalau ada jual-beli, aku enggak mau dong gelar Nyi Mas, aku mintanya ratu sekalian," ia berseloroh ketika dihubungi Kamis pekan lalu.
Menurut Eddy Wirabhumi, dugaan jual-beli gelar Keraton Surakarta bukan sekali ini terdengar. "Kami banyak mendapat laporan adanya calo. Mereka berjanji bisa menguruskan pemberian gelar," katanya. "Para calo itu bergentayangan hingga di luar negeri."
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti mengatakan tak tahu adanya jual-beli gelar keraton. Tapi ia menyayangkan keraton yang dinilainya mengobral murah gelar ke banyak orang. Semestinya, menurut dia, gelar diberikan kepada orang yang memiliki garis keturunan keraton dan mereka yang berprestasi. "Kalau diobral, jadi kehilangan makna."
Fanny Febiana (Jakarta), Ahmad Rafiq (Surakarta), Masrur (Selangor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo