Sabtu 21 Maret 1992, seorang remaja putri kelas II SMP merayakan ulang tahunnya di Executive Club, Hilton Hotel. Dalam pesta itu ikut juga nimbrung orang dewasa sehingga minuman beralkohol pun turut terhidangkan. Sayangnya, tidak ada yang mengawasi acara tersebut sehingga remaja-remaja putra ikut menenggak minuman beralkohol dan beberapa di antaranya jadi teler, mabuk. Lalu siapa yang bertanggung jawab? Para waiters di hotel tersebut sebenarnya dapat melarang remaja putra tadi agar tidak minum beralkohol. Sebab, sebagai waiter mereka sudah diajari, tamu usia berapa yang boleh disuguhi minuman beralkohol. Di Indonesia, soal tanggung jawab terhadap minuman keras ini sungguh memprihatinkan. Coba perhatikan diskotik-diskotik di Indonesia, adakah pembatasan usia dilaksanakan? Padahal di Amerika Serikat yang liberal itu remaja di atas 21 tahun baru boleh masuk diskotik. Maksudnya, untuk usia itu baru dibebaskan memesan minuman beralkohol. Toko swalayan 24 jam juga bebas menjual iliquerr kepada siapa saja tanpa melihat siapa pembelinya. Beberapa kali saya memergoki remaja-remaja membeli bir berkaleng-kaleng di tengah malam. Kios-kios rokok di depan sekolah tak sedikit yang menjual alkohol. Bebasnya penjualan minuman beralkohol di negeri ini dibiarkan begitu saja. Mungkin kalau semua remaja nantinya menjadi pecandu alkohol, baru ada yang kebakaran jenggot. Di negara Barat, peraturan tegas dicanangkan untuk mencegah penjualan minuman beralkohol secara bebas. Hanya toko-toko yang mempunyai lisensi saja yang boleh menjual alkohol. Dan tulisan yang melarang remaja di bawah usia 18 tahun membeli minuman tertera di toko, pub, restoran, hotel, diskotik, dan sebagainya. Nah, di Indonesia siapa yang mengaturnya? Psikolog alumni UI Nama dan Alamat pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini