NATAL, Tahun Baru, Imlek, dan Lebaran kali ini tiba dalam waktu yang tidak terlalu berjauhan. Semua hari besar itu susul-menyusul hanya dalam 3,5 bulan. Tak heran bila sale, obral besar, cuci gudang, dan pesta diskon muncul hampir bersamaan. Gilagilaan lagi. Ada yang hanya memasang diskon biasabiasa saja (10-30%), tapi ada yang berani potong harga 30%-70%. Masyarakat sampai bertanyatanya, berapa sebenarnya modal untuk membuat celana panjang, gaun wanita, dan T shirt jika potongan harganya 70%? Pertanyaan seperti itu rupanya tak memerlukan jawaban. Seperti biasa, ada diskon ada pengunjung. Tidak percaya? Tengok saja suasana di 30 toko milik Grup Ramayana-Robinson yang tersebar di delapan kota. Semuanya ramai pengunjung. Memang, tidak semua pegunjung main borong. Mereka ingin tahu dulu, barang apa yang didiskon hingga 70% itu. "Para pembeli tampaknya sangat hati-hati, mungkin karena menghadapi keperluan anak sekolah Juni depan," kata Haryo Praseno, manajer promosi Ramayana-Robinson. Itulah sebabnya, kendati mengadakan obral besar, Haryo tidak memasang target besar. "Kalaupun terjadi kenaikan omzet, tahun ini tidak akan terlalu banyak," katanya. Padahal, diskon besar-besaran juga merupakan jurus pamungkas bagi departement store untuk meraup laba tambahan sekalian cuci gudang. Mungkin karena kompetisi yang semakin ketat, obral besar saja tidak cukup. Grup Ramayana juga giat menjaring pembeli. Mengapa? Untuk kawasan kota pinggiran, seperti Bekasi dalam jarak puluhan meter ada dua Ramayana Departement Store plus satu Robinson (dua di antaranya dibuka dalam waktu kurang dari tiga bulan). Padahal, di sekitarnya banyak toko kecil yang juga menjual komoditi serupa. Ada kesan, Ramayana memilih jurus "mengepung desa". Haryo secara tak langsung membenarkan. "Di pusat kota sudah terlalu banyak saingan," katanya. Kiat serupa, tapi tanpa obral jor-joran, digunakan pula oleh Grup Matahari. Tahun ini Matahari akan membuka dua cabang baru -- padahal tiga bulan terakhir ini ia baru meresmikan empat cabang, yaitu di Jember, Palembang, Bandung, dan Malang. Targetnya, dalam waktu kurang dari lima tahun, Matahari harus sudah memiliki 100 cabang. Ini berarti, ratarata setahun harus dibuka paling sedikit 13 cabang. Menurut Hidayat, manajer Grup Matahari, sikap agresif seperti ini sengaja diambil karena sesuai dengan filosofi bisnis eceran. Katanya, sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis ini memberikan keuntungan yang sangat tipis. Maka, jika menginginkan laba yang tinggi, omzetnya harus didongkrak. Menurut Hidayat, satu-satunya jalan untuk mendongkrak penjualan ialah, "Membuka toko sebanyakbanyaknya." Dengan 40 cabang, tahun lalu, Matahari berhasil memperoleh omzet Rp 400 milyar. Di bisnis retail, Matahari jelas yang terbesar. Tapi, Matahari tak tertarik dengan sistim obral yang kini sedang seru. Hidayat pun mengakui bahwa sebagian besar pembeli cenderung terpengaruh oleh keringanan harga. Namun, karena banyak sekali yang memberikan diskon, "Sistim ini menjadi tidak efektif untuk menaikkan penjualan," ujarnya. Pendapat Hidayat tak seluruhnya benar. Soalnya, obral juga tidak semata-mata untuk mengejar omzet. Seperti dituturkan Haryo, potongan harga bertujuan untuk menghabiskan stok lama yang tersisa. Kalau tidak, "Diskon besar hanya kami berikan pada barang yang ukuran dan pilihan warnanya tak lengkap lagi," kata Boedi Siswanto, pemilik Yogya Department Store, yang telah memiliki 10 cabang. Namun, konsumen tak perlu kesal karena ditawari barang-barang hasil cuci gudang. Toh, masih ada tempat-tempat yang menawarkan busana trendy dengan harga miring. Misalnya, Lotus Department Store, yang dikenal sebagai tempat berbelanja kalangan menegah atas. Di sini, kendati menyediakan diskon sampai 70%, tak seluruhnya berupa barang yang sulit dijual. Potongan harga yang besar bisa diberikan, "Karena kami juga sudah mendapatkan diskon sampai 30% dari para pemasok," kata Eko Soeroso, bagian promosi Lotus. Dari acara pesta diskon ini, kata Eko, pihaknya berhasil menaikan penjualan sampai 30%. Lumayan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa suasana uang ketat tidak besar pengaruhnya terhadap bisnis eceran. Menurut H.Y.A. Sinungan, ketua Asosiasi Pusat Pertokoan dan Perdagangan Indonesia, maju mundurnya bisnis department store hanya dipengaruhi jumlah penduduk dan tingkat pendidikan. Maksudnya, semakin banyak penduduk dan semakin tinggi pendidikan mereka, semakin besar peluang bagi bisnis eceran untuk berkembang. Menurut Sinungan, kedua syarat itu sudah dimiliki konsumen Indonesia. Dan jangan lupa, "Masyarakat kita tergolong masyarakat yang konsumtif," ujarnya dengan yakin. Bertolak dari pandangan semacam itu, 50 department store yang ada berikut 300 cabangnya, belum terhitung banyak untuk ukuran Indonesia. Begini perhitungannya. DKI Jakarta, misalnya. Menurut Pemda DKI, idealnya setiap 5.000 penduduk dilayani oleh department store seluas 1.500 meter. Jadi, untuk Jakarta, yang berpenduduk delapan juta jiwa, dibutuhkan sarana belanja seluas 240 hektare. Kalau rumus itu benar, Jakarta masih memerlukan lebih banyak department store. Setidaknya, itulah yang diyakini oleh Sinungan. Sejalan dengan itu, Sinungan setuju dengan sikap agresif yang diperlihatkan para pengusaha dalam membuka cabang. Ia hanya kurang setuju dengan sistim obral besar-besaran seperti yang terjadi saat ini. Alasannya? Sistim seperti ini akan mematikan toko-toko kecil, yang selain kalah pamor juga kalah bersaing dalam harga. Untuk itu, asosiasi yang dipimpinnya akan mengatur sistim obral. Diskon, misalnya, hanya boleh dilakukan pada saat-saat tertentu saja. Sebuah ide bagus, kendati sedikit berbau regulasi. Jika dilihat dari sisi lain, ide Sinungan jelas kurang memperhatikan kepentingan konsumen. Bukankah semakin jor-joran toko mengobral, semakin keras harga dibanting, dan semakin terpenuhi aspirasi para konsumen? Budi Kusumah, Liston Siregar, Bina Bektiati, dan Sri Wahyuni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini