Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tata niaga menjelang panen raya

Ada kesepakatan antara insa dengan PT Bima Citra Mandiri tentang pengangkutan jeruk oleh kapal anggota insa. BKPTJ diharapkan dapat menyangga harga jeruk. Tata niaga jeruk akan dipertahankan.

11 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JERUK Pontianak masih kalah manis dibanding jeruk Medan ataupun jeruk Garut. Harganya memang paling murah, Rp 3.000 per kg. Namun, jeruk ini tampaknya membawa peruntungan tersendiri. Setidaknya, kisruh jeruk Pontianak ikut dipermasalahkan oleh Presiden Soeharto dalam pertemuan dengan Gubernur Kalimantan Barat, Pardjoko Suryokusumo, Senin pekan ini. Seperti yang diutarakan oleh Pardjoko, Presiden meminta, tata niaga jeruk yang kini berlaku agar terus dilaksanakan. Sebelum ini memang pernah diberitakan, tata niaga yang digelindingkan oleh Badan Koordinasi Pelaksana Tata Niaga Jeruk (BKPTJ), dengan motornya PT Bima Citra Mandiri (BCM), sudah dua kali diprotes petani dan pedagang jeruk. Pihak pengunjuk rasa itu memang cuma segelintir, tapi tetap terkesan ada hal yang tidak beres. Kedatangan Gubernur Pardjoko ke Jakarta agaknya tak lepas dari kenyataan itu. Kendati ia mengatakan bahwa masalah jeruk itu kecil, Gubernur sempat menyebut-nyebut adanya tiga orang eks-PKI (bekas tapol) yang terlibat dalam kelompok 20 petani dan pedagang jeruk. Mereka ini, menurut Pardjoko, selalu membuat onar, dan terakhir menuntut agar tata niaga jeruk dihapuskan dan dikembalikan ke mekanisme pasar. Padahal, Pardjoko yakin, bila tuntutan itu dipenuhi, ketika panen raya April ini, harga jeruk bisa jatuh sampai Rp 100 per kg. Agar nasib petani jeruk tidak sampai seburuk itu, Pemda berusaha mengatasi berbagai kekurangan yang menyangkut tata niaga jeruk. Dalam upaya ini, Sabtu pekan lalu telah dicapai kesepakatan antara Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia (INSA) dan PT Bima Citra Mandiri (BCM). Kesepakatan itu pada intinya menyebutkan, pengangkutan jeruk milik BCM dari Pontianak akan selalu menggunakan kapal-kapal yang terdaftar sebagai anggota INSA. Atau paling tidak, kapal-kapal yang telah direkomendasi oleh asosiasi pelayaran itu. Mendengar ini, para pemilik kapal di Kalimantan Barat merasa lega. Mereka tak perlu takut kapalnya tak beroleh muatan, seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir ini. "Saya berharap, pernyataan BCM bukan hanya asal bunyi," kata seorang pengusaha di Pontianak yang memiliki dua kapal. Ia benar-benar mengharapkan agar BCM merealisasi janjinya. Kalau tidak, ia sudah siap menjual kapalnya -- seperti yang telah dilakukan beberapa rekannya. "Bagaimana tidak menjual kapal, kalau dalam empat bulan ini kami hanya mendapat order mengangkut jeruk dua kali," katanya. Kemelut angkutan ini bermula dari munculnya BCM sebagai pemimpin dari Badan Koordinasi Pelaksana Tata Niaga Jeruk, yang beranggotakan para pedagang besar. Konon, sejak saat itulah jeruk dari Pontianak hanya diangkut oleh kapal-kapal milik pedagang besar yang menjadi anggota BKPTJ. Perusahaan lain yang sebelumnya biasa mengangkut jeruk otomatis tidak kebagian order. Ada beberapa alasan yang dikemukakan BCM tentang ini. Pertama, kapal anggota INSA tidak dipakai lantaran tak memenuhi syarat. Banyak kapal yang sudah tua, sehingga (untuk jarak Pontianak-Jakarta) dibutuhkan waktu 80 jam. Sedangkan armada milik pedagang yang tergabung dalam BCM mampu memangkas masa perjalanan menjadi 50 jam saja. Kedua, sistem pendingin kurang memadai, sehingga ketika tiba di Jakarta, banyak jeruk yang rusak. "Bagi kami, memakai kapal siapa pun tidak masalah. Tapi jangan merusak jeruk sampai 20%, dong," kata seorang manajer BCM yang mengkoordinasi penjualan jeruk Pontianak di Jakarta. Kerusakan sebanyak 20% ini (berdasarkan pembelian November 1991-Februari 1992) meliputi 120 ribu peti atau setara dengan 3 juta kilo. Jeruk-jeruk yang rusak itu akhirnya terpaksa dijual dengan harga sepersepuluh dari harga normal. Sekalipun begitu, tidak berarti BKPTJ tidak lagi memakai kapalkapal INSA. Menurut Harun Ngadimin, Presdir BCM, dari 27 kapal yang selama ini digunakan, 19 di antaranya merupakan kapal milik anggota INSA. "Jadi tidak benar kalau ada yang menyebutkan bahwa kami hanya memakai kapal milik anggota BKPTJ," katanya. Diakuinya, tiga pedagang besar yang menjadi anggota BKPTJ memiliki sekitar 30 unit kapal pengangkut. Tapi armada itu digunakan menurut jadwal. Gubernur Kal-Bar Pardjoko Suryokusumo mengemukakan hal yang sama. Katanya, selama ini, sebagian besar jeruk Pontianak tetap diangkut oleh kapalkapal INSA. Bahkan Gubernur, yang mengharuskan setiap angkutan jeruk memakai surat jalan ini, sempat menyalahkan anggota INSA. "Seharusnya, kalau mau mendapat muatan, pengusaha pelayaran itu jangan bersikap seperti toko yang menunggu pembeli. Dia yang harus agresif," tandasnya kepada Linda Djalil dari TEMPO. Lain kata Pardjoko, lain pula suara Hartoto Hardikusumo, Ketua Umum INSA. Menurut Hartoto, tak satu pun kapal INSA yang dipakai mengangkut jeruk. Bahwa kapalnya sudah tua dan tidak memiliki sistem pendingin yang sempurna, "Itu bohong semua," sergahnya. Hartoto malah menyalahkan tata niaga jeruk yang berlaku kini. Dulu, ketika perdagangan jeruk dibebaskan, secara rutin anggota INSA tetap memperoleh muatan. "Kenapa sekarang tiba-tiba ribut soal kapal yang sudah tua dan pendingin yang tak sempurna? Padahal, sebelumnya tanpa pendingin pun jalan terus," tuturnya. Berpedoman pada pengalaman, Hartoto malah mengusulkan solusi yang mungkin tidak disukai Gubernur Pradjoko. "Seandainya dengan tata niaga masih banyak masalah, kembalikan saja jeruk ke pasar bebas," ujarnya. Lalu ditambahkannya, "Sebagai pembina BKPTJ, Bambang Trihatmodjo itu sudah betul. Yang tidak benar adalah pelaksana-pelaksananya yang cuma cari untung sendiri." Terlepas dari pihak mana yang akan mengangkut, tata niaga jeruk kini menghadapi masa ujian. Paling tidak, jalan-tidaknya tata niaga ini akan dibuktikan dalam tiga bulan di muka, yakni ketika panen raya (April, Mei, Juni). Panen raya ini diperkirakan menghasilkan 120 ribu ton jeruk, jumlah yang cukup besar, hingga belum tentu bisa diserap pasar. Kenyataan tidak terserap itulah yang dicoba dihadapi oleh tata niaga BKPTJ. Sementara itu, Presiden Soeharto melihat adanya berbagai keuntungan dari tata niaga tersebut. Keuntungan pertama adalah naiknya penerimaan retribusi oleh Pemda dari Rp 150 juta-Rp 250 juta per tahun menjadi Rp 800 juta pada tahun 1992. Bahkan, Pardjoko menargetkan retribusi jeruk sebesar Rp 1,4 milyar. Selain itu, 28 ribu petani petani jeruk di Kal-Bar juga diuntungkan. Kata Pardjoko, harga patokan jeruk yang kini berlaku (Rp 600, Rp 400, Rp 200, Rp 100, dan Rp 50 untuk jeruk kualias A, B, C, D, E, dan F) sangat menolong petani di masa panen. Entah bagaimana cara menghitungnya, tapi dengan harga tersebut Pardjoko memperkirakan, laba yang akan dipetik petani tak akan kurang dari Rp 28 milyar. Sebaliknya, jika tanpa tata niaga, kemalangan masa lampau akan berulang menimpa petani. Sesuai dengan hukum pasar, begitu panen berlangsung, harga pun limbung. "Kalau panen, biasanya jeruk kelas A pun hanya laku Rp 300 per kilo," kata seorang petani di Kabupaten Sambas. Namun, di luar dua keuntungan itu, memang ada pihak yang dirugikan. Mereka adalah pedagang, yang biasa membeli dan mengantarpulaukan jeruknya sendiri. Dengan adanya tata niaga ini, para pedagang "merugi" karena labanya turun dari Rp 15.000 menjadi Rp 6.000 per peti. Kabarnya, faktor itu pula yang memicu tuntutan kembali ke pasar bebas, seperti disebutkan pada awal cerita ini. Adapun 20 petani yang merangkap sebagai pedagang itu menuduh tata niaga BKPTJ sebagai monopoli swasta. Tuduhan ini tidak terlalu ngawur memang, apalagi kalau diingat BKPTJ mengatur jeruk dari hulu hingga ke hilir, dari harga beli, pengangkutan, hingga ke pemasaran. Namun Gubernur Pardjoko tidak melihatnya demikian. BKPTJ dipandangnya sebagai penyangga jeruk murni yang patut dipertahankan. Bayangkan, kalau panen terjadi -- yang membutuhkan dana puluhan milyar rupiah -- sasta mana yang sanggup menyediakan dananya. Jeruk membutuhkan bapak angkat, katanya. Monopoli? "Itu tidak benar. Yang membeli dari petani kan KUD. Dan di sebuah desa, KUD bukan hanya satu,"jawabnya tegas. Yang perlu ditunggu adalah keberhasilan BKPTJ menampung panen sebanyak 120 ribu ton. Kalau sukses, mungkin tata niaga jeruk BKPTJ memang pantas dipertahankan. Dan untuk itu, BCM -- seperti diungkapkan oleh seorang direkturnya -- menyiapkan dana tidak kurang dari Rp 20 milyar. Memang, harga total dari hasil panen diperkirakan mencapai Rp 72 milyar. "Tapi kan uang yang Rp 20 milyar itu berputar," katanya optimistis. Jadi, baiklah ditunggu panen sepanjang tiga bulan mendatang. Sementara itu, masih ada saja pihak yang menggerutu. Di luar kelompok 20, ada petani yang setuju tata niaga, tapi menyesalkan pihak Pemda Kal-Bar yang bersama-sama BKPTJ menetapkan harga beli Rp 600 per kilo untuk jeruk kelas A. Padahal, biaya untuk setiap kilogram saja telah mencapai Rp 650. Lalu? Kalau melihat harga jual BKPTJ yang Rp 25.000 per peti 117 25 kilogram, harga beli itu masih bisa dinaikkan. "Saya kira mereka masih bisa untung banyak jika membeli dari kami dengan harga Rp 700 sekilo," kata seorang petani. Meskipun kalkulasi ini tidak cocok dengan kalkulasi BKPTJ, toh appeal Rp 700 per kg bisa merupakan tantangan baru bagi lembaga yang menyangga tata niaga itu. Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus