Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tanpa Busana Rapi

Patung-patung yang ada di Indonesia selalu tanpa busana rapi, kecuali patung Sudirman dengan jas hujannya. Dalam kehidupan sehari-hari, uang banyak dibelikan untuk sandang, suatu tanda keborosan & kemewahan.

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAM-ZAM, teman saya, selalu punya fikiran paling kreatif di masanya Pada suatu hari setelah terlambat tidur malam berjam-jam, dan bersin keras di pagi hari, ia menghubungi saya dan minta tolong ia ingin menyelenggarakan pameran patung pria berbusana terbaik di Indonesia. Patung? Patung berbusana terbaik Zam-Zam mengangguk lalu mencari dana. Ia menyewa taksi gelap dan mendatangi sejumlah kantor majalah mode, majalah wanita, majalah arkeologi dan dinas kebudayaan. Lima hari kemudian ia kembali dan putus asa. Di suatu kantor -- entah yang mana -- ia bertemu seorang yang sinis sekali dan menunjukkan kenyataan patung pria di Indonesia tidak pernah berbusana secara beres. Adhityawarman di Museum Pusat nvaris telanjang. Budha di Borobudur montok, gemuk, lunak, tapi rupanya tak mengacuhkan pakaian. Di Prambanan Rama dan Leksmana seakan-akan hanya berselempang dan berpanah, dan nampaknya mereka tak memakai pantalon. Di Bali patung-patung Hanuman bahkan ditutupi kain hitam-putih, seakan-akan buat melindungi aurat mereka dari turis dan pejabat dari Jakarta. Juga patung-patung yang dibikin orang setelah kemerdekaan republik bukanlah contoh kenecisan. Di tengah Lapangan Banteng yang riuh dan sering becek itu menjulang sosok lelaki yang garang melepaskan rantai. Bombastis, tapi zaman ia dibikin memang zaman otot dikasih unjuk, dan karenanya tak diperlukan kesan tekstil. Di Jalan Senapati satu makhluk yang konon disebut pemuda dengan wajah mengerikan mengangkat tempat api dengan celana nyaris lepas ke kolam. "Anda seharusnya tahu bahwa patung memberi aksentuasi kepada bentuk tubuh, Zam-Zam. Dan bentuk tubuh menonjol justru tanpa selaput pakaian," itu adalah penjelasan yang saya coba berikan. "Tapi di sini saya kira ada sesuatu yang khas Indonesia," jawab Zam-Zam. "Waktu saya di Eropa, saya sering melihat di pelbagai sudut kota terdapat patung pria dengan busana yang gagah jenderal, senator, filosof." "Bagaimana dengan patung Jenderal Sudirman di Malioboro?" "Dia cuma pakai jas hujan. Ia tak mungkin meyakinkan sebagai patung dengan busana terbaik." Waktu itu di luar hari hujan, dan saya seolah merasakan betapa kedinginannya patung-patung di seluruh Indonesia - kecuali patung Pak Dirman. Mungkin perlu juga ditelaah kenapa kita menciptakan begitu banyak patung yang berpakaian begitu berantakan. Kita terlalu meniru Yunani atau India barangkali. Atau patung kita mungkin mencerminkan sesuatu yang primitif dalam diri kita idaman tentang manusia pada wujudnya yang paling bagus: telanjang. Bukankah kita jadi merasa aneh atau geli melihat sebuah replika Prajnyaparamita diberi jeans, Zam-Zam? Kebagusan di sana diganggu. "Tapi Pak Dirman mengenakan jas hujan," tukas Zam-Zam. "Kebagusan dalam Pak Dirman justru karena ia kedinginan, sakit paru-paru, tapi memimpin gerilya. Patung Sudirman itu lambang lain, sedang patung Hanuman memetik matahari adalah lambang lain." "Kalau begitu kebagusan lain-lain." Setelah berkata itu Zam-Zam menghilang beberapa hari. Mungkin ia kembali terlambat tidur malam berjam-jam dan bersin keras di pagi harinya. Semula saya kira ia akan sudah melupakan persoalan patung dan busana itu, tapi ternyata tidak. Ia menulis surat mencoba mendiskusikan mengapa manusia tidak memberi kenangan atau idealisasi kepada pakaian dalam patung atau relief, sementara dalam hidup sehari-hari begitu banyak uang dihabiskan untuk jas, pantalon, dasi, kemeja (dalam hal pria) dan banyak lagi (dalam hal wanita). Ia curiga bahwa manusia pada dasarnya tak ingin mengenangkan keborosan dan kemewahannya sendiri. "Lihatlah," kata Zam-Zam, "patung lambang perjuangan cenderung menyepelekan baju." Saya juga masih heran pejuang-pejuang, setidaknya dalam patung, cenderung menyepelekan baju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus