ZAM-ZAM, teman saya, selalu punya fikiran paling kreatif di
masanya Pada suatu hari setelah terlambat tidur malam
berjam-jam, dan bersin keras di pagi hari, ia menghubungi saya
dan minta tolong ia ingin menyelenggarakan pameran patung pria
berbusana terbaik di Indonesia.
Patung? Patung berbusana terbaik
Zam-Zam mengangguk lalu mencari dana. Ia menyewa taksi gelap dan
mendatangi sejumlah kantor majalah mode, majalah wanita, majalah
arkeologi dan dinas kebudayaan. Lima hari kemudian ia kembali
dan putus asa. Di suatu kantor -- entah yang mana -- ia bertemu
seorang yang sinis sekali dan menunjukkan kenyataan patung pria
di Indonesia tidak pernah berbusana secara beres.
Adhityawarman di Museum Pusat nvaris telanjang. Budha di
Borobudur montok, gemuk, lunak, tapi rupanya tak mengacuhkan
pakaian. Di Prambanan Rama dan Leksmana seakan-akan hanya
berselempang dan berpanah, dan nampaknya mereka tak memakai
pantalon. Di Bali patung-patung Hanuman bahkan ditutupi kain
hitam-putih, seakan-akan buat melindungi aurat mereka dari turis
dan pejabat dari Jakarta.
Juga patung-patung yang dibikin orang setelah kemerdekaan
republik bukanlah contoh kenecisan. Di tengah Lapangan Banteng
yang riuh dan sering becek itu menjulang sosok lelaki yang
garang melepaskan rantai. Bombastis, tapi zaman ia dibikin
memang zaman otot dikasih unjuk, dan karenanya tak diperlukan
kesan tekstil. Di Jalan Senapati satu makhluk yang konon disebut
pemuda dengan wajah mengerikan mengangkat tempat api dengan
celana nyaris lepas ke kolam.
"Anda seharusnya tahu bahwa patung memberi aksentuasi kepada
bentuk tubuh, Zam-Zam. Dan bentuk tubuh menonjol justru tanpa
selaput pakaian," itu adalah penjelasan yang saya coba berikan.
"Tapi di sini saya kira ada sesuatu yang khas Indonesia," jawab
Zam-Zam. "Waktu saya di Eropa, saya sering melihat di pelbagai
sudut kota terdapat patung pria dengan busana yang gagah
jenderal, senator, filosof."
"Bagaimana dengan patung Jenderal Sudirman di Malioboro?"
"Dia cuma pakai jas hujan. Ia tak mungkin meyakinkan sebagai
patung dengan busana terbaik."
Waktu itu di luar hari hujan, dan saya seolah merasakan betapa
kedinginannya patung-patung di seluruh Indonesia - kecuali
patung Pak Dirman. Mungkin perlu juga ditelaah kenapa kita
menciptakan begitu banyak patung yang berpakaian begitu
berantakan.
Kita terlalu meniru Yunani atau India barangkali.
Atau patung kita mungkin mencerminkan sesuatu yang primitif
dalam diri kita idaman tentang manusia pada wujudnya yang paling
bagus: telanjang. Bukankah kita jadi merasa aneh atau geli
melihat sebuah replika Prajnyaparamita diberi jeans, Zam-Zam?
Kebagusan di sana diganggu.
"Tapi Pak Dirman mengenakan jas hujan," tukas Zam-Zam.
"Kebagusan dalam Pak Dirman justru karena ia kedinginan, sakit
paru-paru, tapi memimpin gerilya. Patung Sudirman itu lambang
lain, sedang patung Hanuman memetik matahari adalah lambang
lain."
"Kalau begitu kebagusan lain-lain."
Setelah berkata itu Zam-Zam menghilang beberapa hari. Mungkin ia
kembali terlambat tidur malam berjam-jam dan bersin keras di
pagi harinya. Semula saya kira ia akan sudah melupakan persoalan
patung dan busana itu, tapi ternyata tidak.
Ia menulis surat mencoba mendiskusikan mengapa manusia tidak
memberi kenangan atau idealisasi kepada pakaian dalam patung
atau relief, sementara dalam hidup sehari-hari begitu banyak
uang dihabiskan untuk jas, pantalon, dasi, kemeja (dalam hal
pria) dan banyak lagi (dalam hal wanita). Ia curiga bahwa
manusia pada dasarnya tak ingin mengenangkan keborosan dan
kemewahannya sendiri.
"Lihatlah," kata Zam-Zam, "patung lambang perjuangan cenderung
menyepelekan baju."
Saya juga masih heran pejuang-pejuang, setidaknya dalam patung,
cenderung menyepelekan baju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini