Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kita Bukan Tukang Tampung

Diputuskan P. Rempang, di kep. Riau sebagai pusat pemrosesan pengungsi Vietnam. Banyak kritik dilontarkan, banyak masalah kemanusiaan yang lebih parah di dalam negeri. Mereka sebetulnya imigran gelap. (nas)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA pemerintah memutuskan memilih pulau Rempang di Kepulauan Riau sebagai pulau pusat pemrosesan pengungsi Vietnam. Sidang Kabinet terbatas bidang Politik dan Keamanan Rabu pekan lalu juga memutuskan menunjuk Departemen Hankam sebagai penanggung jawab tunggal untuk menangani para pengungsi itu di tempat penampungan sementaranya. "Terpilihnya Hankam karena pada hakekatnya persoalan pengungsi Indocina itu merupakan gangguan terhadap stabilitas," Menlu Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan seusai sidang. Dalam pelaksanaannya, Hankam akan dibantu beberapa departemen lain yang berkaitan dengan masalah itu. Terpilihnya Rempang agaknya karena jarak pulau itu yang dekat dengan pulau Bintan, hingga memudahkan komunikasi, pengangkutan serta pengawasan. Pulau seluas sekitar 375 kmÿFD ini terdiri dari 2 buah desa, Cate dan Sembulang dengan jumlah penduduk 3000 jiwa lebih yang hidup sebagai petani dan nelayan . 80% dari pulau ini maih berwujud hutan. Seusai Perang Dunia II, sekitar 27.000 serdadu Jepang pernah ditawan Sekutu di pulau ini. Beberapa tahun lalu, pulau yang secara administratif masuk kecamatan Bintan Selatan ini agak terlupakan. Tapi belakanan ini ada kemajuan. Sudah dibangun SD Inpres di 2 desa yang ada serta balai pengobatan di Cate. Juga dermaga kayu yang dulu hampir ambruk kini sudah diselamatkan lewat Bantuan Desa. Keputusan pemerintah itu diambil ketika makin banyak kritik dilontarkan mengecam kebijaksanaan pemerintah dalam penanganan masalah pengungsi ini. Anggota DPR dari fraksi PDI Sabam Sirait misalnya pekan lalu menganggap pemerintah kurang mempelajari masalah pengungsi ini, hingga terburu-buru menganggapnya sebagai masalah kemanusiaan dan menyediakan pulau untuk menampung mereka. "Banyak masalah kemanusiaan yang lebih parah di negeri ini yang harus diatasi," katanya. Anggota DPR yang lain, Imron Rosjadi cenderung menganggap para pengungsi ini imigran gelap sebab mereka punya uang dan harta, tapi masuk Indonesia tanpa ijin. Harian Merdeka pekan lalu malahan sempat menurunkan karikatur menggambarkan Menlu Mochtar menggendong monyet yang mengantongi emas dan uang dollar disertai komentar: Menimang anak monyet, anak sendiri dibuang. Menurut Mochtar, kecaman-kecaman ini "Jauh panggang dari api." Karena yang diributkan adalah tempat penampungan sedang yang ditawarkan Indonesia adalah pusat pemrosesan. Yang ditawarkan Indonesia sebetulnva suatu ide praktis. Adanya pusat pemrosesan baru ini tak berarti tempat pemrosesan di masing-masing negara yang sudah ada akan berhenti bekerja. Semua negara Asean saat ini memiliki tempat penampungan sementara. Muang Thai saat ini yang terbanyak dengan menampung lebih 150.000 pengungsi, kebanyakan dari Kamboja. Sedang Malaysia paling banyak menampung pengungsi yang datang lewat laut. Sejak awal 1975, sekitar 800.000 orang mengungsi ke luar Indocina (termasuk 150.000 pengungsi Kamboja di Muang Thai serta 160.000 pengungsi keturunan Cina dari Vietnam yang menyeberang ke Cina). Sekitar 300.000 kini sudah menetap, kebanyakan di negara-negara Barat. Hingga saat ini masih ada sekitar 210.000 pengungsi di Asia Tenggara yang harus ditampung dan dicarikan negara penerimanya. Dan jumlah ini masih terus bertambah. Atas desakan Asean serta Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR), Vietnam belum lama ini menyetujui untuk membatasi mengalirnya pengungsi secara teratur. Hanoi akan mengijinkan rakyatnya meningalkan Vietnam kecuali mereka yang masih dalam batas usia wajib militer, penjahat serta mereka yang memiliki rahasia negara. Tapi sumber-sumber Barat memperkirakan, nasionalisasi yang akan dijalankan di Vietnam Selatan akhir tahun ini diduga akan memperderas lagi arus pengungsi, terutama keturunan Cina, keluar Vietnam. Imigran Gelap Mengapa Indonesia seperti juga banyak negara lainnya tetap menganggap para pengungsi Indocina ini pengungsi, walau jelas banyak di antara mereka sebetulnya imigran gelap? "Menurut hukum internasional, kalau diperlakukan sebagai imigran, mereka akan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Imigrasi Indonesia," kata seorang pejabat tinggi pemerintah. Dengan begitu selamanya mereka akan menjadi tanggungjawab pemerintah dan ini jelas bukan suatu penyelesaian. Sebaliknya kalau mereka diperlakukan sebagai pelarian, itu akan menjadi tanggung jawab UNHCR dan Indonesia hanya akan bertindak sebagai negara penampung pertama (first asylum country). Menurut hukum internasional, sekalipun pengungsi itu kemudian diusir pergi, negara penampung berikutnya (second asylum country) berhak mengembalikannya pada negara penampung pertama. Agaknya ini alasannya mengapa Hongkong bersikeras menolak para pengungsi Huey Fong mendarat dan mengharuskan mereka tetap ada di kapal mereka. Alasan itu juga yang menyebabkan banyak kapal menolak menolong para pengungsi dan hanya bersedia memberi air dan makanan, karena khawatir negara mereka bisa dianggap negara penampung pertama. Asean jelas tidak bersedia menerima pengungsi itu menetap, hingga penyediaan pulau pusat pemrosesan sebetulnya adalah untuk memperlancar penyelesaian masalah ini. "Karena negara-negara arat selalu berdalih sulit menerima pengungsi ini karena tidak adanya tempat pemrosesan," kata sumber TEMPO. "Sekaligus tawaran salah satu pulau Indonesia ini bisa mengangkat nama Indonesia karena tawaran itu bersifat kemanusiaan," kata sumber yang sama. Diperkirakan pulau pusat pemrosesan itu akan dipergunakan antara 3 sampai 5 tahun. Untuk menjamin penyelesaian ini sampai pekan lalu Menlu Mochtar sudah memanggil 14 Dubes negara-negara penerima pengungsi serta penyumbang UNHCR. Amerika Serikat adalah negara yang terbanyak menerima pengungsi Indocina, sampai April depan diperkirakan akan menampung 224.000 orang. Perancis sekitar 60.000, Australia lebih 18.000 dan Canada 9.000. Dengan suatu undang-undang baru yang sedang diajukan ke Kongres yang memperluas siapa yang bisa digolongkan pengungsi, Presiden Amerika Serikat akan memiliki kekuasaan khusus untuk memperbesar Jumlah pengungsi yang bisa diterima di atas kwota tahunan 50.000 orang. Sampai pertengahan Maret lalu, pengungsi Indocina yang ditampung Indonesia yang sudah diterima menetap di AS berjumlah 733 orang. Keputusan apakah pulau Rempang diterima sebagai pusat pemrosesan pengungsi akan ditentukan dalam Konperensi UNHCR di Jenewa pekan ini. Operasi dan pembiayaan pusat ini akan sepenuhnya ditanggung UNHCR. Bagaimana sendainya nanti ada pengungsi yang tersisa yang tidak bisa diterima negara ketiga? Apakah Indonesia akhirnya akan terpaksa menerima mereka menetap? "Dalam konperensi Jenewa nanti kita akan mengajukan syarat apabila masih ada sisa, dalam sekian bulan mereka harus diangkut UNHCR keluar Indonesia," kata Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan. Ke mana? "Terserah UNHCR. Itu sudah bukan urusan kita," jawab Menlu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus