Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jala PRT menerima 400 laporan kasus kekerasan majikan terhadap pembantu rumah tangga.
Pola hubungan kerja informal membuat PRT menjadi rentan.
RUU PPRT memberikan harapan perlindungan hak-hak PRT.
SUDAH hampir tiga bulan Siti Khotimah, seorang pekerja rumah tangga (PRT), terbaring di ranjang Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Pada Kamis, 2 Maret lalu, luka bakar di pergelangan kedua kakinya itu masih terlihat jelas. Perban tebal membebat kaki kanan, sementara luka bakar masih menganga di kaki kiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru sepekan belakangan perempuan 23 tahun itu mulai bisa berjalan. Menurut dokter yang merawatnya, ada kontraktur otot di kaki kanan Siti. Dua kali menjalani operasi, urat kakinya memendek. “Kalau berjalan masih sakit, jadi harus membungkuk,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luka itu didapat Siti karena ia disiram air panas oleh majikannya di Apartemen Simprug Indah, Jakarta Selatan, pada Mei 2022. Perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah, itu mengalami penyiksaan selama delapan bulan menjadi pekerja rumah tangga. Selain memukulnya, majikan Siti memborgol dan merantai tangannya ke kandang anjing. Bekas borgol itu masih terlihat menghitam.
Polisi menetapkan pasangan suami-istri serta anaknya menjadi tersangka penganiaya Siti. Polisi hanya menyebut mereka dengan inisial: MK, SK, dan JK. Juga lima pembantu lain di apartemen itu. Polisi menduga mereka terlibat dalam penyiksaan Siti Khotimah.
Kisah Siti Khotimah adalah cerita pilu menjadi pembantu rumah tangga di Indonesia. Kebutuhan ekonomi membuat ia nekat mencari penyalur pembantu rumah tangga secara acak di Facebook. Ia tiba di Jakarta pada April 2022 dan penyalurnya mengirimnya ke apartemen neraka itu, tanpa pelatihan, tanpa pembekalan, dua hari setelah tiba.
Penganiayaan terhadap Siti terungkap saat ia dipulangkan oleh penyalurnya memakai taksi online. Heri Irawan, kakak Siti, menyambut adiknya dengan miris. “Saat pulang, ia sudah seperti tengkorak. Kurus sekali dan hampir tak bisa berjalan,” ujarnya.
Heri lalu membawa adiknya ke Rumah Sakit Umum Daerah Pemalang dan melapor kepada ketua rukun tetangga setempat. Dari ketua RT, Heri melaporkannya ke Kepolisian Resor Pemalang, sebelum diambil alih Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
Tempo menghubungi nomor telepon dan mengirim pesan ke alamat surat elektronik kantor pengacara Arifin Umaternate pada Sabtu, 4 Maret lalu. Arifin adalah kuasa hukum majikan Siti, So dan Jane Kasander. Namun pertanyaan konfirmasi itu belum dibalas.
Kuasa hukum Siti dari Lembaga Bantuan Hukum APIK, Said Niam, menyebutkan majikan Siti sudah mengirim surat permintaan maaf pada Jumat, 17 Februari lalu. Surat beregistrasi SKK-AUP/005/II/2023 itu dikirim dengan kop AUP Law Firm dan isinya meminta agar kasus tak diperpanjang. "Kami tak merespons surat itu," ucap Said.
Kasus penganiayaan Siti mengingatkan kita pada kasus Toipah pada 2015. Bersama dua temannya, ia menjadi korban kekerasan dalam rumah oleh majikannya. Pelakunya adalah Fanny Safriansyah alias Ivan Haz, anak wakil presiden ke-9, Hamzah Haz.
Penyiksaan terhadap Toipah mencuat ketika ia kabur dari Apartemen Ascott, Jakarta Pusat, pada akhir September 2015. Di tengah pelariannya waktu itu, Toipah ketakutan meminta tolong karena jeri dibawa kembali ke apartemen majikannya. “Sampai sekarang saya takut kalau bertemu dengan orang baru,” katanya pada Jumat, 3 Maret lalu.
Luka akibat pukulan di telinga kiri perempuan 28 tahun itu pun belum benar-benar sembuh. Meski pemukulan terjadi delapan tahun silam, kepalanya kerap pusing mendadak tanpa sebab. Setahun dia mengadukan penyiksaan itu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Ivan Haz satu setengah tahun bui. Politikus Partai Persatuan Pembangunan itu juga dipecat dari posisinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Kasus Siti Khotimah dan Toipah hanya sedikit di antara sekian banyak kasus kekerasan terhadap para pembantu rumah tangga. Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, menyebutkan setidaknya ada 400 laporan masalah PRT yang masuk tiap tahun ke lembaganya. Angka ini naik hampir dua kali lipat saat masa pandemi Covid-19.
Menurut Lita, sebagian besar kasus kekerasan PRT dimulai saat para majikan membatasi akses komunikasi pembantunya. Sehari setelah bekerja, Siti dan Toipah dilarang memakai telepon seluler dan berbicara dengan tetangga. “Ini membuat mereka tak berdaya,” tutur Lita.
Selain itu, kontrak kerja tidak jelas. Bagi PRT yang direkrut secara langsung oleh pemberi kerja, umumnya negosiasi dan kesepakatan hanya dibicarakan secara lisan. Sedangkan untuk PRT yang direkrut secara tidak langsung, kontrak kerja dipegang oleh penyalurnya.
Karena itu, Jala PRT getol mengawal Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sejak 19 tahun lalu. Menurut Lita, aturan ini bisa menjadi payung hukum mencegah berbagai kasus yang dialami pekerja seperti Siti dan Toipah. “RUU ini akan mengatur bagaimana perekrutan sampai penempatan PRT berbasis perlindungan,” kata Lita.
RUU ini juga akan mengatur jaminan kesehatan para pembantu. Selama ini, situasi kerja tak layak salah satunya bersumber dari status PRT belum diakui sebagai pekerja pada umumnya. PRT tidak diakomodasi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Kekosongan hukum ini memunculkan kesulitan lain dalam pemenuhan hak dasar PRT. Yuli Maheni, PRT asal Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, harus menanggung sendiri pengobatan setelah mengalami kecelakaan kerja pada November 2022. Dia menderita luka bakar di wajah dan lengan setelah botol gas di rumah majikannya meledak saat ia membakar sampah. Biaya pengobatan di unit gawat darurat dibantu secara penuh oleh pemberi kerja, tapi luka itu membuat Yuli harus beristirahat selama 20 hari.
Toipah menjadi saksi dugaan penganiyaan yang dilakukan Ivan Haz, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Juni 2016. Dok. Tempo/M. Iqbal Ichsan
Di tempat majikannya itu, Yuli bekerja paruh waktu. Ia bekerja sehari penuh sebagai PRT di rumah majikannya yang lain dalam 15 tahun terakhir. Namun, karena izin sakit selama 20 hari, gaji Yuli Rp 1 juta per bulan dipotong menjadi Rp 200 ribu saja. “Padahal saya juga butuh biaya membeli salep luka bakar,” ucapnya.
Bagi Yuli, salep itu bukan barang murah. Harganya Rp 180 ribu per kemasan. Setidaknya Yuli sudah menghabiskan lima bungkus salep sebelum lukanya membaik. Biaya pengobatan ini akhirnya dibantu oleh urunan teman-teman Yuli di jaringan PRT Yogyakarta.
Yuli tidak banyak berharap pada jaminan kesehatan. Ia sadar menjadi PRT lewat jalur langsung dan tanpa kontrak kerja yang jelas membuatnya tak akan mendapatkan hak-hak dasar sebagai pekerja. Yuli menjadi pembantu rumah lewat informasi mulut ke mulut tetangganya.
Pola hubungan pembantu-majikan yang tak jelas seperti itu membuat para PRT sangat rentan. Ketika ada diskriminasi, mereka segan untuk menuntut secara perdata ataupun pidana. Dalam pasal 11 draf RUU PPRT, jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan dicantumkan menjadi hak bagi setiap PRT.
Tertunda selama 19 tahun, draf RUU PPRT sedang menunggu keputusan dari pimpinan DPR untuk disahkan. Para PRT menuntut DPR segera mengesahkan rancangan itu agar hak-hak mereka terlindungi. Pada Rabu, 1 Maret lalu, para PRT memajang 20 surat di gerbang DPR untuk Ketua DPR Puan Maharani.
Surat-surat itu berasal dari para PRT yang terampas haknya dan tak dipayungi aturan yang melindungi mereka. "Banyak perjalanan pahit saya sebagai PRT. Saya tidak ingin teman-teman mengalami hal yang sama dengan apa yang saya alami," kata satu pembuat surat, Ria Restiyana. Seperti dialami Siti Khotimah. Bukan hanya luka bakar yang ia dapat, selama delapan bulan bekerja ia cuma menerima bayaran Rp 1,5 juta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo