Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saidiman
SEBUAH teks berjalan di salah satu stasiun televisi menyatakan: ”Demonstrasi masif dilakukan oleh Forum Umat Islam….”
Permasalahan dalam kalimat ini bukan kata ”demonstrasi”, melainkan kata ”masif” dan ”umat”. Penulisan kata ”massif” menjadi ”masif” dan ”ummat” menjadi ”umat” terkait erat dengan lidah masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa menyebut pengulangan huruf dalam satu kata.
”Massif” berasal dari kata bahasa Inggris ”massive”. Huruf-huruf ”ve” di akhir kata itu biasa menjadi ”f” saja di dalam penyebutan, sehingga dalam bahasa Indonesia disebut saja ”massif”. Mengganti ”ve” menjadi ”f” tidak menjadi persoalan, namun mengurangi salah satu huruf ”s” akan mengubah susunan huruf pada kata itu sendiri.
Perubahan kata ”ummat” menjadi ”umat” juga mengandung persoalan yang sama. Kata ini berasal dari bahasa Arab ”ummah”. Pada dasarnya huruf ”h” pada kata asalnya adalah ”ta” atau ”t”, dalam gramatika bahasa Arab disebut ta marbuthah. Ketika huruf ”h” pada kata itu diganti menjadi ”t” dalam bahasa Indonesia, itu tak menjadi soal. Masalah timbul ketika terjadi pengurangan pada salah satu hurufnya, ”m” atau ”mim” dalam bahasa Arab.
Pengulangan huruf dalam bahasa Arab disebut-sebut sebagai tasydid. Tasydid sesungguhnya memberikan pengertian bahwa ada huruf yang berulang: dengan demikian ada dua huruf yang sama. Kedua huruf itu sangat penting karena merupakan komponen utama dalam pembentukan kata dalam bahasa Arab. Mengurangi salah satu huruf utamanya berarti mengubah makna secara keseluruhan. Mengurangi satu ”m” pada ”ummat” adalah sebuah kekeliruan besar.
Kata ”kuliah” yang biasa diartikan sebagai kegiatan belajar-mengajar mengalami nasib yang jauh lebih menyedihkan. Kata yang berasal dari bahasa Arab ”kulliyah” ini juga mengalami pelencengan makna karena pengurangan satu huruf ”l”. Selain itu, dalam bahasa Arab, kata asal ”kulliyah” berarti partikular sebagai lawan kata ”jami’ah” yang berarti menyeluruh. ”Al-jaami’ah” adalah kata bahasa Arab untuk menyebut universitas, sementara ”kulliyah” sepadan dengan fakultas (faculty). ”Kulliyah” yang seharusnya adalah komponen pendidikan di bawah ”al-jaami’ah” (universitas) ketika masuk ke bahasa Indonesia menjadi hanya kegiatan belajar-mengajar, itu pun ditambah dengan mengurangi satu huruf pentingnya, ”l”, menjadi ”kuliah”.
Makalah yang biasa dibuat oleh mahasiswa untuk dipresentasikan di depan kelas juga berasal dari penyimpangan makna asal. Kata ini berasal dari bahasa Arab ”maa qaala”, yang artinya terkait dengan perkataan. Jika ingin konsisten dengan asal katanya, yang seharusnya dikerjakan dan dipresentasikan oleh mahasiswa itu adalah ”makataba”, berasal dari bahasa Arab ”maa kataba”, yang artinya lebih dekat dengan tulis-menulis.
Perubahan makna dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia ini salah satunya disebabkan keengganan mengucapkan huruf-huruf tasydid secara akurat. Nama seperti Muhammad sangat banyak dijumpai pada masyarakat Indonesia. Tetapi keengganan mengucapkan tasydid menyebabkan nama ini menjadi ”Mohamad”. Di samping mengurangi satu ”m”, penggunaan ”o” pada kata itu juga bermasalah karena bahasa Arab sesungguhnya tidak memiliki padanan bunyi huruf vokal ”o”. Yang ada hanyalah ”a”, ”i”, ”u”, dan ”e” pada beberapa kasus spesifik. Nama seperti Abdul Wahhab dengan semena-mena ditulis menjadi ”Abdul Wahab”.
Sudah saatnya persoalan tasydid ini diangkat menjadi pembicaraan publik. Jika dibiarkan, akan ada banyak sekali kesimpang-siuran dalam penulisan kata bertasydid tersebut. Ibu kota Sulawesi Selatan kemudian akan menjadi Makasar, padahal yang benar adalah Makassar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo