Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Keluar dari Garis Kawan

Memoar seorang yang memutuskan keluar dari anggota jaringan Hizbut Tahrir di Inggris. Potret kecupetan berpikir.

8 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matinya Semangat Jihad: Catatan Perjalanan Seorang Islamis
Penulis: Ed Husain
Penerbit: Alvabet, Agustus 2008
Tebal: 389 halaman.

PADA mulanya dia adalah pemuda kalem yang taat salat, mengaji, dan lembut tutur katanya kepada semua orang. Tapi, pada usia 16 tahun, ada sesuatu yang berubah: ia terlibat dalam jaringan Hizbut Tahrir di Inggris. Di matanya Islam juga ideologi yang harus mengatur semua soal, dari jenggot hingga boleh-tidaknya voting di parlemen.

Ed Husain berubah menjadi ”Islamis”. Islam ideal itu, bagi Ed Husain, tengah dikangkangi kapitalisme, sosialisme, dan ideologi sekuler lainnya, dan harus ditegakkan kembali lewat pembentukan khilafah. Dengan begitulah ”Islam sebagai solusi” bisa didesakkan ke ruang publik, termasuk dengan memanfaatkan berkah demokrasi Inggris.

Lewat buku The Islamist yang sudah diterjemahkan menjadi Matinya Semangat Jihad: Catatan Perjalanan Seorang Islamis (penerbit Alvabet) bulan lalu, Husain mengisahkan pengalamannya terpikat pada Hizbut Tahrir selama lima tahun. Ia menyelam, sebelum akhirnya memutuskan keluar dari organisasi yang mendapat ruang hidup di Inggris itu.

Lima tahun Husain dengan penuh gairah mempraktekkan dan mengkampanyekan Islam itu. Sekolahnya, juga hubungannya dengan keluarganya, imigran Indo-Pakistan yang tradisionalis dan penganut tarekat, terganggu. Tapi murabbi (mentor)-nya di Hizbut Tahrir berkata: bukankah itu ongkos yang harus ditanggung? Bukankah godaan terberat seorang Islamis adalah tantangan keluarga terdekat?

Lingkaran pergaulannya juga menyempit. Garis kawan dan lawan ditarik lebih tegas. Di dunia jahiliyah sekarang, seperti kata George Bush, yang ”ideologinya” menyerupai Hizbut Tahrir di Inggris, Anda with us atau against us. Tidak ada irisan, tak ada wilayah abu-abu yang membuka ruang untuk dialog.

Sumber informasi pun dibatasi. Di dunia yang penuh tipu daya, Anda wajib menelan bacaan ini, dan haram menyentuh bacaan itu. Dunia Husain kemudian menjadi bak kapsul yang makin kecil, menyempit ke dalam. Makin terbatas sumber ilhamnya, makin cupet dan radikal ia.

Kini Husain keluar dari Hizbut Tahrir dan balik menentangnya. Ia diselamatkan oleh kesediaannya untuk terus menggunakan akal sehat, yang memungkinkannya memperluas wawasan dan pengetahuan. Kesadarannya mulai terusik ketika seseorang wafat akibat radikalisme kelompoknya. Ia belajar sejarah dan menyimpulkan bahwa cerita kekhalifahan Islam bukanlah cerita yang mulus seperti sering diomongkan murabbi-nya.

Ia tak cocok dengan sikap mendua kelompoknya. Banyak aktivisnya hidup dari bantuan pemerintah Inggris, negara yang mau mereka hancurkan. Mereka mau melibas demokrasi, padahal karena demokrasilah mereka bisa hidup bebas di Inggris.

Kini, sambil sekolah S-3 di Universitas London, Husain mendirikan Yayasan Quilliam dengan misi menghambat ekstremisme Islam. Quilliam adalah pionir muslim Inggris yang tak mempertentangkan identitasnya sebagai warga Inggris dan muslim sekaligus.

Buku ini, yang dengan terperinci menuturkan pengalaman pribadinya, termasuk memoar langka. Butuh keberanian tertentu bagi Husain untuk mengungkap dapur yang cukup lama membesarkannya. Beberapa kalangan di Inggris, termasuk bekas teman dekatnya, mengecamnya sebagai ”jual diri”. Muslim lainnya menilai Husain ”terlalu membesar-besarkan kelompok radikal”. Lainnya lagi menyambut bukunya sebagai sumber informasi penting untuk mengenal lebih dekat Islamisme.

Kita tak perlu tahu detail yang mana yang benar untuk menghargai signifikansi buku ini dan belajar darinya. Ya, kisah Husain penting disimak karena ia menunjukkan sesuatu yang tak lagi pada tempatnya (baca: berbahaya) ketika militansi agama bertemu dengan, atau diakibatkan oleh, kecupetan berpikir. Ketika keyakinan tentang yang absolut, yang diisolasi dari kritisisme, menggerakkan orang untuk merasa boleh melakukan apa saja.

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus