Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR baik hendaklah tetap disikapi dengan hati-hati. Petuah itu patut dicamkan menyambut minat Yawadwipa membeli Bank Mutiara seharga US$ 750 juta atau sekitar Rp 6,7 triliun. Jumlah sebesar itu akan melepas beban Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang harus mengembalikan dana talangan Rp 6,7 triliun ke kas pemerintah. Tapi sebaiknya kegembiraan disimpan dulu.
Menurut aturan, LPS harus melepas bank yang sebelumnya bernama Bank Century dan dimiliki Robert Tantular itu paling lambat pada 2014. Tahun lalu LPS telah berusaha menjual Bank Mutiara tapi gagal karena sembilan peminat dianggap tak memenuhi syarat, antara lain karena tak mau mengungkap the ultimate investor alias pembeli sesungguhnya.
Sesudah diambil alih pemerintah, Bank Mutiara sesungguhnya tumbuh mengesankan dalam tiga tahun terakhir. Labanya tahun lalu melonjak menjadi Rp 291 miliar. Total asetnya juga meroket menjadi Rp 13,13 triliun dari hanya Rp 5,6 triliun pada masa krisis 2008.
Seandainya tak diikat aturan untuk menjual bank itu, semestinya manajemen baru Bank Mutiara tak sulit mengembalikan duit Rp 6,7 triliun dalam beberapa tahun ke depan. Tapi Yawadwipa bersedia membayar sejumlah itu sekarang. Nilai Rp 6,7 triliun yang diajukan Yawadwipa—sesuai dengan angka yang dipatok Dewan Perwakilan Rakyat—itu artinya 4,5 kali lipat dari nilai buku Bank Mutiara yang Rp 1,57 triliun. Di pasar, harga jual yang wajar biasanya hanya 2-3 kali dari nilai buku atau sekitar Rp 4,5 triliun. Itu sebabnya tawaran Yawadwipa ini terlalu bagus untuk dipercaya, sekaligus menimbulkan kecurigaan.
Tak berlebihan bila muncul dugaan bahwa ada yang misterius di balik penawaran mahal Yawadwipa. Pengamat ekonomi Tony Prasetiantono, misalnya, menilai penawaran itu tak logis secara bisnis. Agar semua terang-benderang, pembeli sesungguhnya sangat perlu diketahui publik. Semua pihak yang menentukan penjualan bank itu harus mencegah urusan bank yang dulu bernama Bank Century itu menjadi komoditas politik, terutama di Dewan Perwakilan Rakyat. Beberapa waktu lalu, beberapa anggota DPR menganggap hasil audit forensik Badan Pemeriksa Keuangan dalam kasus Bank Century tak memuaskan. Malah ada anggota DPR yang mengusulkan audit dikerjakan lembaga internasional.
Tak ada cara bagi pemerintah menanggapi kecurigaan itu selain menggelar proses penjualan secara akuntabel dan transparan. Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS harus memeriksa rekam jejak C. Christopher Holm dan Prasetyo Singgih, yang tampil di muka sebagai eksekutif Yawadwipa—dalam bahasa Sanskerta berarti Jawa Mulia.
Sejauh ini hanya diketahui bahwa "Chad" Holm pernah bekerja di sejumlah lembaga keuangan papan atas dunia. Adapun Prasetyo tercatat sebagai pengurus Kadin. Dia juga pengacara dan politikus dari Partai Golkar. Tapi belum diketahui juragan sesungguhnya di balik mereka.
Syukurlah, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan LPS sejauh ini terlihat berusaha menjalankan prinsip penjualan yang berhati-hati. Kriteria calon investor telah ditetapkan, antara lain bukan pemegang saham lama atau tidak memiliki hubungan dengan keluarga dan pemegang saham lama.
Investor juga harus benar-benar bonafide sehingga memiliki kemampuan membeli saham sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Dan yang paling penting, LPS dan Bank Indonesia mesti berupaya sekeras-kerasnya membuka identitas penyandang dana alias ultimate investor Yawadwipa. Jangan sampai pemilik lama, atau pemilik kepentingan politik, dibiarkan membonceng penjualan Bank Mutiara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo