Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka kasus penyelewengan dana bank sentral merupakan langkah maju. Ini bisa menepis kekhawatiran bahwa pengusutan hanya akan berujung pada dua petinggi BI di level pelaksana: Direktur Hukum Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur Rusli Simanjuntak.
Penetapan ketiganya sebagai tersangka memberi KPK peluang membongkar tuntas dugaan skandal suap ini. Dari Burhanuddinlah diharapkan benang kusut aliran dana gelap itu bisa terurai jelas. Dalam laporannya ke KPK, November tahun lalu, Badan Pemeriksa Keuangan mengindikasikan pada 2003 ada sekitar Rp 127,7 miliar dana yang dihambur-hamburkan dan diselewengkan bank sentral.
Sekitar Rp 96,2 miliar dikucurkan BI untuk membiayai ”bantuan hukum” bagi lima petinggi bank sentral yang terjerat kasus penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia satu dekade silam. Sisanya, Rp 31,5 miliar, diduga mengalir ke kantong belasan politikus di DPR. Dengan ”dana pelicin” inilah para anggota Komisi Keuangan dan Perbankan itu diharapkan menyokong suara bank sentral dalam proses penyelesaian kasus BLBI dan amendemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Kasus ini kian ganjil karena Rp 100 miliar kebutuhan dana itu dipasok dari Yayasan Pendidikan Perbankan Indonesia, unit bank sentral di bidang pendidikan. Dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ditandaskan bahwa dewan pengawas dan dewan pengurus dilarang menggunakan atau memindahkan kekayaan yayasan untuk kepentingan di luar tujuan lembaga itu. Badan Pemeriksa Keuangan kemudian mencium aroma tak sedap di balik pengucuran dana itu, yang jelas-jelas bukan untuk kepentingan pendidikan.
Burhanuddin tak bisa lari dari tanggung jawab. Sebab, dialah yang memimpin rapat Dewan Gubernur pada 3 Juni 2003, yang meminta Dewan Pengawas Yayasan menyediakan dana Rp 100 miliar. Namun alibinya bahwa keputusan itu bersifat kolegial patut didengar. Surat keputusan itu memang diteken oleh tiga anggota Dewan Gubernur lainnya, termasuk Aulia Pohan, yang juga anggota Dewan Pengawas Yayasan.
Aulia pula yang kemudian ditunjuk menjadi koordinator Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan. Dalam surat Keputusan Rapat Dewan Gubernur pada 22 Juli 2003, disebutkan bahwa tim ini bertugas menarik dan menggunakan dana dari brankas yayasan tersebut. Tak cuma Burhanuddin yang membubuhkan tanda tangan. Tujuh anggota Dewan Gubernur ikut meneken, termasuk Aulia dan Deputi Gubernur Senior Anwar Nasution, yang kini Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
Jelas tidak adil kalau KPK hanya menjadikan Burhanuddin sebagai tersangka. Orang curiga jangan-jangan langkah ”berani” itu sekadar untuk mengganjal Burhanuddin dalam proses pemilihan Gubernur BI yang dimulai bulan ini. Perlu bukti bahwa KPK tidak tebang pilih. Pengusutan harus dilakukan hingga ke akar-akarnya, termasuk kepada para penerima suap itu di gedung parlemen dan ruang pengadilan.
Tidak sepatutnya jika ”tiga serangkai” Burhanuddin, Aulia, dan Anwar kini beramai-ramai cuci tangan. Tanggung jawab harus dipikul bersama. Lebih elok lagi jika ketiganya menyatakan tak bersedia dicalonkan sebagai Gubernur BI yang baru. Tugas berat bank sentral menjaga stabilitas moneter membutuhkan citra lembaga yang benar-benar bersih dan berwibawa. Karena itu pula pengusutan KPK perlu diteruskan. Jangan sampai stabilisasi dibangun di atas riuhnya korupsi seperti di zaman Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo