Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Film Indonesia tanpa LSF

Para sineas menuntut LSF dibubarkan dan diganti dengan lembaga klasifikasi film. LSF tak bisa menerima keragaman.

4 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesungguhnya yang digugat hanya satu: sebuah pasal dalam undang-undang. Yang mempersoalkan adalah serombongan sineas dan pencinta film yang menamakan diri Masyarakat Film Indonesia. Yang dipersoalkan di depan Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang menyebut tugas Lembaga Sensor Film (LSF).

Tapi tampaknya yang tersenggol hatinya banyak betul. Bukan hanya Dewan Perwakilan Rakyat yang harus membela diri sebagai lembaga yang meloloskan undang-undang itu, tapi juga LSF yang merasa bahwa lembaga penyensoran memang sebuah keharusan di negeri multietnik dan penganut berbagai agama ini. Tidak tanggung-tanggung, berbagai saksi ahli muncul membela, misalnya Persatuan Artis Film Indonesia, Persatuan Artis Sinetron Indonesia, Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, dan berbagai lembaga keagamaan, yang dalam kesaksiannya memberikan kesimpulan yang mirip satu sama lain: mereka yang ingin kebebasan bakal tersentuh tangan iblis; karena itu, lembaga sensor dibutuhkan untuk melindungi kita dari tangan iblis.

Sesungguhnya yang diinginkan oleh Masyarakat Film Indonesia sederhana: menguji pasal undang-undang yang menyebutkan tugas LSF yang memiliki wewenang penuh buat memotong atau bahkan menolak sebuah film untuk diedarkan. Bukan hanya karena film karya para sineas itu dicacah atau bahkan ditolak untuk diedarkan—dengan alasan soal moral sampai soal politis—perdebatan sampai pada soal yang paling penting: para sineas menganggap masyarakat Indonesia sudah cukup dewasa untuk mengetahui dan memahami apa yang baik atau buruk bagi dirinya.

Memotong adegan ciuman sekian detik atau melarang peredaran film dengan latar belakang kerusuhan Mei 1998 atau meminta seorang sutradara mengganti judul film dokumenter sebetulnya bukan untuk melindungi masyarakat dari ”tangan iblis”. Itu sebetulnya sebuah keputusan yang memperlihatkan LSF tak nyaman dengan keragaman pemikiran dan kreativitas yang dimiliki generasi masa kini. Keragaman penafsiran terhadap film-film yang kena golok itu tampaknya dikhawatirkan akan mencolek mereka yang masih berkuasa. Jadi ini persoalan politik, bukan persoalan ”tangan iblis”.

Pertanyaan paling penting yang harus dijawab oleh sembilan hakim Mahkamah Konstitusi: apakah masyarakat Indonesia memang belum bisa dianggap dewasa hingga membutuhkan sebuah lembaga yang kekuasaannya tanpa batas seperti LSF? Alasan yang sering diajukan oleh berbagai pihak, termasuk Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang mengatakan ”suatu hari LSF tidak diperlukan lagi, tapi sekarang kita masih membutuhkannya”, adalah alasan klise yang usianya sudah ratusan tahun. Ini pula alasan yang digunakan oleh pemerintah kolonial kepada negara yang dijajahnya, karena masyarakat belum siap memerintah dirinya sendiri.

Untuk melindungi anak-anak dari film dewasa yang belum boleh disaksikan mereka, Indonesia sudah bisa mendirikan apa yang biasa disebut sebagai Lembaga Klasifikasi, yang menentukan sebuah film layak ditonton oleh keluarga, anak-anak, atau termasuk film dewasa. Tentu saja pelaksanaan oleh bioskop harus diperketat dan diawasi, karena merekalah yang seharusnya memberikan pagar untuk anak-anak dan remaja yang ingin nyelonong menyaksikan film dewasa. Selain itu, dalam diskusi ini, pihak pemerintah dan para pakar pembelanya melupakan bahwa anak-anak itu juga tanggung jawab orang tua masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus