Beberapa waktu yang lalu, ada berita kasus larangan berjilbab bagi para siswi muslim di sekolah umum di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kasus yang terjadi di Jakarta, Bandung, dan Bogor bahkan sempat berbuntut sampai ke meja hijau. Di luar itu masih banyak kasus sejenis. Rupanya, kasus seperti ini bukan cuma muncul di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Protes kaum berjilbab juga terjadi di Prancis (TEMPO, 28 Oktober 1989, Berita Singkat). Dari situ bisa disimpulkan bahwa anak-cucu Napoleon Bonaparte di sana telah lama ber-tepo seliro terhadap pemakai jilbab, khususnya di kalangan siswi muslim, walaupun dalam batas-batas tertentu. Namun, yang paling menarik dari kasus jilbab di Prancis itu justru pemerintah -- dalam hal ini Departemen Pendidikan Prancis, melalui menterinya Lional Yospin -- yang menganggap larangan memakai jilbab ini sebagai pengekangan hak asasi seseorang. Padahal, toleransi itu seyogyanya dimulai dari sekolah. Sikap ini didukung tokoh-tokoh agama termasuk Katolik, yakni Kardinal Albert Decourtay, juga Yahudi lewat pemukanya, Alain Goldmann. Bahkan Departemen Kehakiman sedang berupaya memperkarakan sekolah-sekolah yang tak mau menerima siswa asing yang berjilbab. Di sinilah letak keunikannya. Mengapa justru di sini, yang katanya menjunjung tinggi toleransi beragama, ada segelintir umat (Islam) yang ingin mengamalkan ajaran agamanya malah diperlakukan macam-macam? Apakah butir-butir sila pertama Pancasila itu sekadar merdu di ruang penataran P-4 saja? DRS. SAID HUSIN Jalan Pelita, RT 15 No. 15 Hilir Seper Buntok Kalimantan Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini