Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Dari Redaksi

Laput tentang NU

Tempo menyajikan laporan utama ke-7 tentang Nahdlatul Ulama. Kali ini menulis Muktamar NU ke-28. Sejumlah kiai dan ulama diminta membeberkan apa dan bagaimana NU sekarang ini.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESIBUKAN mempersiapkan Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-2 bukan cuma terlihat di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sejumlah wartawan TEMPO di Jakarta, Yogya, dan Surabaya juga sibuk menyambut muktamar yang akan berlangsung 25-28 November ini. Kami bukan sekadar melakukan serangkaian wawancara untuk mempersiapkan Laporan Utama yang diturunkan pekan ini. Langkah pertama, kami menimba "ilmu" dari berbagai kiai atau ulama NU sendiri. Yang pertama kami undang ke kantor TEMPO Jakarta adalah K.H.M. Yusuf Hasyim, pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, yang juga menjadi Rais Syuriah PB NU. Pak Ud, demikian panggilan akrab Yusuf Hasyim, secara blak-blakan membeberkan apa dan bagaimana NU sekarang ini, di depan tim wartawan TEMPO yang mempersiapkan Laporan Utama. Ia didampingi Sekretaris Jenderal PB NU H.M. Anwar Nurris dan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Iqbal Assegaf. Dari diskusi yang berlangsung sekitar 4 jam itu, kami menjadi lebih tahu "isi perut" NU. Dari soal hasil-hasil yang dicapai setelah NU kembali ke Khitah 1926, misalnya, hingga peta kekuatan NU menjelang muktamar kali ini. Sehari kemudian, pimpinan Pesantren Tebu Ireng itu datang lagi ke TEMPO untuk menambahkan informasi lebih lengkap mengenai persiapan muktamar. Tentu, bukan cuma itu upaya TEMPO menyambut muktamar NU. Wartawan TEMPO Ahmadie Thaha beberapa hari keluar-masuk rumah dan pesantren untuk menemui sejumlah kiai. Sampai akhirnya, Sabtu lalu, lulusan IAIN Syarif Hidayatul-lah, Jakarta itu berhasil membawa K.H. Ali Yafie, salah seorang Rais Syuriah NU, datang ke TEMPO. Juga didampingi Anwar Nurris, kiai asal Sulawesi yang berpembawaan tenang itu menjelaskan seluk-beluk ulama NU, yang sering sulit dipahami pihak luar. Setelah itu, di tempat yang sama, kami juga mengundang pengamat NU, Mahrus Irsam. Pengajar FISIP-UI yang pernah menulis buku mengenai NU itu lebih banyak membekali wartawan kami untuk bisa melihat masalah NU secara obyektif dari luar. Mencari "ilmu" dari para kiai bukan cuma dilakukan di Jakarta. Tim wartawan TEMPO di Biro Surabaya, Minggu pagi lalu, mengadakan diskusi dengan K.H. Wahid Zaini -- pimpinan Pondok Pesantren Nurrul Jadib, Paiton, Probolinggo. Ia disebut-sebut menjadi salah satu calon yang akan memperebutkan kursi Ketua Tanfiziah. Dalam kesempatan itu, juga hadir H. Tolchah Hasan, Rektor Universitas Islam Malang. Puncak kegiatan "muktamar" kami adalah pekan ini. Yakni menyajikan Laporan Utama yang ketujuh kalinya -- mengenai NU. Pengumpulan bahan dan penulisan Laporan Utama ini dikoordinasikan Amran Nasution, penanggung jawab rubrik Nasional. Amran, yang lahir dari keluarga "Islam kota", setelah diskusi dan melahap beberapa buku nengenai NU, akhirnya benar-benar memahami organisasi itu. "Dulunya saya anggap aneh," katanya. Selain oleh Amran, penulisan yang juga dibantu oleh Zaim Uchrowi dan Ahmadie Thaha. Redaktur Pelaksana Susanto Pudjomartono memoles Laporan Utama NU ini menjadi enak dibaca.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus