Tulisan TEMPO, 4 November 1989, Ekonomi & Bisnis, tentang kenaikan pajak ekspor kayu yang berjudul "Mereka Setengah Bangkrut", menurut saya kurang informatif. TEMPO memberitakan seolah-olah pajak ekspor dikenakan untuk jenis kayunya. Walau di situ disebut kayu gergajian. Tentunya harus dipahami bahwa Indonesia sudah lama melarang ekspor kayu jenis apa pun yang berbentuk log. Yang dibolehkan adalah ekspor kayu berbentuk gergajian, moulding, plywood, dan kayu olahan lainnya. Untuk lebih jelasnya, silakan menengok SK Menteri Perdagangan No. 252A/Kp/X/89 tanggal 10 Oktober 1989 dan SK Menteri Keuangan No. 1134/KMK.013/89 tanggal 10 Oktober 1989 tentang pajak ekspor yang dikenakan untuk beberapa jenis kayu, di antaranya kayu meranti yang berbentuk kayu gergajian dan kayu olahan (KGKO). Kayu olahan yang dikenai pajak ekspor US$ 250/m3 ialah kayu gergajian yang dibentuk sepanjang tep atau permukaannya diketam atau tidak, diamplas atau tidak, kecuali finger jointed dan decorative moulding. Jadi, hanya kayu yang mempunyai bentuk (sortimen) dari hasil proses produksi macam di atas bisa dikenai Pajak Ekspor US$ 250/m3. Yang dikecualikan adalah hasil proses produksi yang bersortimen (bentuk) finger jointed dan decorative moulding dengan ukuran dan jenis kayu tertentu. Itu tak dikenai pajak ekspor sebesar itu. Bahkan mungkin dapat dibebaskan dari pajak ekspor. Salah satu latar belakang dari kenaikan pajak ekspor kayu gergajian adalah global issue yang berkembang di beberapa negara konsumen. Akibat kerusakan hutan tropis Indonesia yang merupakan paru-paru dunia, maka lapisan ozon di kutub utara telah jebol. Yang dikhawatirkan adalah kemungkinan mencairnya gunung es di kutub, sehingga air laut naik dan dunia tenggelam. Akibat dari global issue, maka para pemakai kayu gergajian di negara-negara konsumen tersebut takut membeli kayu gergajian asal Indonesia. Kebijaksanaan yang tadinya berlaku mulai 1 November 1989 sempat mengejutkan pengusaha kilang kayu. Memang agak melegakan karena diundur menjadi tanggal 31 Desember 1989 (TEMPO, 11 November 1989, Ekonomi & Bisnis). Korban bukan hanya di pihak pengusaha kilang kayu, tapi menimpa pula karyawan perkayuan yang baru serta yang sudah berpengalaman dan ahli. Contoh, seorang timber grader dan saw doctor (ahli merawat pita gergaji) yang berpengalaman bisa memperoleh gaji minimal Rp 500.000 per bulan. Kalau mereka pindah kerja di bidang lain, umpamanya pabrik roti, elektronik, pakaian jadi, maka mereka akan memperoleh gaji jauh di bawah perusahaan perkayuan. Bagaimanapun, kebijaksanaan ini adalah untuk kepentingan nasional. Sebab, hutan kita perlu dimanfaatkan dan sekaligus dilestarikan. SUMITRO Jalan Sadewa III/144 Depok II Tengah Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini